KRL, penumpang KRL, Manggarai, kereta

Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Para perempuan anak kereta (anker) ngeluarin uneg-unegnya soal transit KRL utamanya stasiun transit di Manggarai dan Tanah Abang. Pengalaman saat desak-desakan pernah kegencet dan sesak napas, nyeri banget pas haid, sampai repotnya ketika bawa anak.

Hidup di Jakarta itu capek. Udah pusing sama tuntutan kerja. Gaji kejar-kejaran sama cicilan. Bukan cuman jadi kerumunan “tua di jalan”, tapi juga kegencet pas KRL-an. 

Begitulah, perempuan pekerja ibu kota, Ina (28), mengeluarkan celetukannya soal sistem transportasi publik di Jakarta. Terlebih, Kereta Rel Listrik (KRL) yang paling sering dia gunakan. 

Mau tidak mau, KRL masih yang termurah dan bisa diprediksi kedatangannya. Meski sebetulnya, dia juga masih tetap harus menyambung moda transportasi lain untuk bisa sampai kantor. Seperti, angkot ataupun ojek online. 

Langsung ojol mahal, angkot atau bus trans makin-makin gak bisa diprediksi kapan nyampenya. Makanya setiap hari, Ia menempuh rute stasiun Pondok Cina ke Palmerah. Di aturan KRL sekarang, dia harus melewati dua kali transit yaitu stasiun Manggarai dan Tanah Abang. 

“Gila ya, itu kayak udah mau ‘perang’. Mesti siapin fisik dan mental buat ngelewatin rute itu di jam-jam berangkat dan pulang kerja,” cerita Ina kepada Konde.co beberapa waktu lalu.

Nyeri Haid Bikin Melilit

Ina lantas menceritakan pengalamannya soal transit Manggarai. Stasiun sentral kereta yang luas dan berlantai-lantai. Betapa beratnya berdesak-desakan naik turun tangga, pas nyeri haid terasa lebih sakit.

“Perpaduan sesak napas, sama nyeri kram di perut dan migrain gitu. Untung gak sampai pingsan tuh. Padahal masih jalan di sepanjang koridor itu, belum masuk KRL,” katanya.

(Para penumpang KRL di stasiun transit berdesak-desakan. Dok. Konde.co)

Berada di jam-jam padat pekerja berjubel di stasiun Manggarai, Ina bilang, sulit juga untuk meminta bantuan petugas. Menurutnya, tidak semua petugas sensitif kalau perempuan muda seperti dirinya, meski tak sedang hamil atau bawa anak, bisa dalam kondisi “nyeri haid” yang gak mudah. 

“Naik lift suka ngantri panjang dan umpel-umpel-an juga. Mau lewat jalur prioritas yang gak harus naik turun tangga, itu biasanya gak semua bisa karena dilihatnya masih muda,” imbuhnya. 

(Antrian penumpang KRL di stasiun Tanah Abang. Dok. Konde.co)

Ina mengakui, saat momen kayak gitu, dia suka ngomel-ngomel sendiri. Soal, gimana perhitungannya stasiun transit bikin makin berjubel dan bikin males naik KRL? Pejabatnya yang bikin kebijakan publik pernah gak sih naik transportasi umum di Jakarta? 

“Mana? Aku gak pernah lihat pejabat yang bikin kebijakan transportasi gini naik KRL, coba deh tiap hari jadi kita-kita, anker,” katanya menggebu. 

(Kereta rel listrik melaju dengan penumpang padat di stasiun transit Manggarai. Dok. Konde.co)

Setelah nyaris setahun “berdamai” dengan rute transit itu, Ina beberapa bulan lalu akhirnya menyerah. Dia memutuskan untuk cari kos yang lebih dekat dengan kantornya.

“Padahal udah enak banget, udah di sana lama karena dekat sama teman-teman. Tapi harus pindah, karena udah gak sanggup transit-transit,” kata perempuan yang paling tidak tiga kali seminggu ke kantor itu. 

Ancaman Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Soal potensi pelecehan dan kekerasan seksual di KRL, Ina bilang, sebetulnya kondisi saat ini sudah lebih aman. Meskipun beberapa waktu lalu, masih ada kasus-kasus pelecehan yang viral di sosmed. 

Dia mengingat pelecehan KRL yang pernah dia alami beberapa tahun lalu, saat desak-desakan di dalam KRL, ada yang sengaja menggesek-gesekkan kelamin dan menyentuh bagian sensitifnya. Namun saat itu, dia tidak bisa berbuat banyak: antara bingung, takut dan sekitar belum begitu aware

“Aturan KRL sekarang sudah lebih proaktif ya. Selalu ada kan, peringatan pencegahan terus udah lumayan sigap sekitar kalau ada pelecehan atau KS. Jadi kita sebagai penumpang sudah lebih tau mau ngapain kalau mit amit kena (pelecehan), ” katanya. 

Baca juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

Berdasarkan pernyataan pihak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), sepanjang 2022 ada setidaknya 70 kasus pelecehan seksual terjadi di KRL. Mayoritas kasus pelecehan terjadi di jurusan Jakarta Kota- Bogor, kemudian Tanah Abang- Rangkasbitung, Jakarta Kota-Bekasi, serta Jakarta Kota-Tangerang. 

Dua tahun sebelumnya, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2019 pernah menyebut, sebanyak 46,8% dari 62.224 responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Termasuk di KRL. 

(Situasi di dalam KRL di Manggarai. Dok. Konde.co)

Kondisi serupa juga dialami Laura (27). Perempuan pekerja di ibukota yang sering melintasi jalur KRL Kebayoran-Tanjung Barat. Sama halnya dengan Ina, Laura juga harus transit di stasiun Tanah Abang dan Manggarai. 

“Jujur, aku udah menghindari stasiun Manggarai, karena nggak kondusif banget ya. Kayaknya Lo mau pakai cara apapun, di jam berapapun, menurutku itu sangat ramai. Apalagi di jam-jam kerja, parah banget sih. Loe kayak ikutan demo,” kata Laura. 

Dia bercerita pernah hampir pingsan saat di dalam KRL. Sebabnya, dia kehabisan oksigen saat berdesak-desakan. Saking padat dan sumpeknya. 

“Gue bawa tas berisi laptop kan di depan itu sulitnya (ketimpa). bener-bener kanan-kiri-belakang (desak-desakan). Gue kehabisan oksigen, mau ngeluarin minum aja susah,” katanya. 

(Penumpang KRL transit dari stasiun Tanah Abang di jam kerja. Dok. Konde.co)

Selain itu, potensi pelecehan dan kekerasan seksual di KRL ketika desak-desakan itu memang sangat mungkin terjadi. Ditambah Ia juga termasuk perempuan yang ketika haid itu rasanya sakit banget. 

Sejak saat itu, Laura memutuskan ogah naik KRL –yang transit Manggarai— lagi. Dia lebih memilih buat mengganti ke moda transportasi lainnya. Seperti ojol. Walaupun, ongkos yang harus dikeluarkan lebih mahal. 

Baca Juga: Perempuan Lebay Ketika Haid? Mungkin Kamu Yang Tidak Sensitif

Perempuan asal Kota Bogor, Jawa Barat, itu pun mendesak agar pemerintah pembuat kebijakan, bisa lebih peduli soal ini. Dia berharap, ada penambahan kapasitas KRL agar bisa lebih layak memuat jumlah penumpang. 

“Khususnya kalau di jam-jam kerja itu ditambah lagi armadanya untuk KRL,” imbuh dia. 

Kerepotan Saat Bawa Anak

Saya pun, sempat menjajal (kembali) melakukan perjalanan KRL lewat dua stasiun transit yaitu Manggarai ke Tanah Abang, pada Rabu (24/5) pukul 06.00-08.00 WIB. 

Usai 6 bulan ini, saya telah pindah tempat tinggal di kawasan Tangsel dengan kantor di Kebayoran Lama. Jadi, tidak lagi perlu transit. 

Di stasiun Manggarai, saya bisa merasakan apa yang diceritakan Ina dan Laura. 

Penumpang berpindah kereta dan berjalan dari lantai ke lantai. Kemudian berdesak-desakan, ada yang saling dorong tak sabaran menuju pintu-pintu KRL. Beberapa lainnya, berusaha mendorong tubuhnya masuk ke KRL, agar bisa muat.

(Penumpang berhimpitan di tangga stasiun Tanah Abang. Dok. Konde.co)

Pada jam kerja di transit Manggarai, Saya tak melihat ada yang membawa anak. Adanya dua perempuan muda yang tengah hamil. Mereka tampak sedikit ngos-ngosan, dengan langkah jalan yang pelan dan tampak hati-hati. 

Di stasiun Tanah Abang, seorang perempuan usia 30 awal dengan kedua anaknya. Anak pertama laki-laki usia 4 tahun dan anak perempuan usia 1,5 tahun. 

Ngos-ngosan, bawa anak repot. Ini bawaannya bocah banyak juga,” ujar Tini saat berbincang dengan Konde.co.

Baca juga: Transportasi yang Ramah Perempuan

Tini baru saja duduk di kursi KRL bersama kedua anaknya. Dia bilang habis berdesak-desakan dengan penumpang KRL Lain. Ia menuruni tangga turun menuju transit stasiun Tanah Abang. Ibu Rumah Tangga (IRT) itu hendak pergi ke arah Parung Panjang. 

“Tadi turun tangga. Soalnya kalau naik lift antri banget,” kata dia. 

Saat mengobrol dengan Tini, tampak di jendela ada pula seorang ibu yang sedang membopong anaknya menuruni tangga. Dia tampak berdesakan dengan para penumpang lain yang saling berebut turun. Sedangkan di arah berlawanannya melangkah cepat untuk transit. 

“Saya sendiri pernah sampai sesak kalau pas ramai gini. Tapi ya mau gimana, KRL yang paling terjangkau. Semoga sih makin diatur lebih baik,” katanya. 

(Penumpang bergelantungan di pintu KRL di Manggarai. Dok. Konde.co)

Dilansir dari Dephub, infrastruktur angkutan massal berbasis rel memang menjadi salah satu solusi di tengah problematika kemacetan Jakarta. Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), ada lebih dari 336,27 juta komuter keluar masuk Jakarta setiap harinya. Meski jumlah itu sempat menurun signifikan akibat pandemi Covid-19 yakni 154,59 juta per hari, tapi ini bukanlah jumlah sedikit. 

Sebelumnya, pada tahun 2016, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub memang telah mulai melakukan pengembangan Stasiun Manggarai. Stasiun ini mulai direnovasi dengan penambahan bangunan baru sebanyak tiga lantai. Menurut rencana Kemenhub itu, stasiun Manggarai akan menjadi stasiun sentral pertama di Indonesia dengan target pelayanan penumpang lebih dari 2 juta penumpang per hari. 

Baca Juga: Jangan Remehkan Gerbong Perempuan Kereta Commuter Line

Stasiun Manggarai menjadi stasiun hub untuk tujuh persimpangan jalur kereta api seperti yang mengarah ke Jatinegara, arah ke Jakarta Kota, arah ke Tanah Abang, arah ke Bogor, arah ke depo KRL Bukit Duri, arah ke Pusat Gudang Persediaan, serta mengarah ke Balai Yasa Manggarai. Hal ini membuat Stasiun Manggarai menjadi stasiun tersibuk yang melayani lebih dari 20.000 penumpang dan 616 perjalanan KRL setiap hari sebelum pandemi.

Kamu-kamu yang juga ‘Anker’ alias anak kereta (KRL), gimana pendapatmu soal pelayanan KRL di Jabodetabek ini?

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!