Bagaimana Liburanmu? Sekarang Waktunya Pisah dengan Keluargamu 

Libur Lebaran adalah cara untuk ketemu keluarga, tapi juga sedih saat liburan selesai dan kita harus balik lagi.

Kemarin, pembahasan soal liburanku sudah. Sekarang, aku tanya tiga teman di sekitarku bagaimana mereka melewati libur Lebaran-nya. Ada yang terdengar menyenangkan, ada yang bikin iri, ada juga yang malahan miris-miris lucu.

Berbagai cara merayakan libur Lebaran kutemui di sekitarku. Entah dari celotehan saat berkumpul, ataupun postingan story sumringah seorang lainnya. Tentu libur adalah waktu yang dinanti–adalah momen melepas beban jiwa yang selama ini dibawa dari lembaga pendidikan atau tempat kerja. 

Namun, momen liburan ini tidak dapat sepenuhnya dinikmati setiap orang. Lagi-lagi, tidak semua sesuai ekspektasi manusia melulu. Mari kita buka dengan cerita salah seorang teman perempuan yang menyenangkan, ya

Jilid Satu: Perempuan yang Menghabiskan Waktu Bareng Keluarga Kecil dengan Wisata

Ellena adalah seorang kawan yang semester ini sedang bermagang di luar kota. Tahun ini jadi kala pertama ia berpisah “lama” dengan keluarga intinya. Biasanya selalu bersama, makan dan tidur di bawah atap yang sama. Maka dari itu, Ellena menyempatkan waktu untuk pulang beberapa hari selama libur Lebaran. Mengambil jatah cuti libur yang disimpannya, ia pulang ke Jakarta. Ellena dan keluarga pergi ke Jawa Timur selama lima hari.

“Dari sebelum pandemi, keluarga jarang ada rencana ke mana-mana. Tapi kemarin papa aku planYuk, ke Bromo.’ Langsung deh, semuanya juga ikut serta mau.”

Ellena mengakui bahwa sudah lama sekali keluarganya tidak berwisata bersama. Terlebih, pada pandemi, ia menuturkan bahwa keluarganya sempat waswas untuk bepergian kembali. Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah daripada mengambil risiko yang mungkin saja berbahaya jangka panjang.

Saat ditanya apa tujuan yang paling berkesan dalam perjalanan kemarin, Ellena dengan lantang menyebut, “Ke Bromo!”

Ia mendeskripsikan pengalamannya di sana secara gamblang. Bagaimana Ellena sampai pada titik menemukan bahwa dirinya begitu menikmati pemandangan alam, seperti pegunungan atau lautan. Suatu yang baru ia tahu ada dalam dirinya akhir-akhir ini. 

Pemandangan dari Bromo. (Dok pribadi/Ellena)

Ellena bercerita bahwa keluarganya berangkat ke Bromo tengah malam dari tempat bersinggah. Menaiki mobil ke kaki gunung, berhenti sejenak untuk sekadar membeli camilan. Lalu melanjutkan perjalanan ke atas gunung dengan menaiki mobil Jeep yang jedag-jedug

Bukan. Bukan bak mobil mikrolet yang supirnya menyetel lagu Dangdut dengan dua pengeras suara–di sisi depan dan ujung belakang mobil. Namun, bak perjalanan mobil dengan tanah bergelombang. Pengalaman ini membuat Ellena berkali-kali terbangun karena kepalanya menyundul atap-atap mobil.

Ellena menjelaskan bahwa ia sampai di atas gunung sekitar pukul 4.30 subuh. Ia dan keluarganya menikmati munculnya matahari pagi ke cakrawala. Suasana Bromo yang dingin, ditambah tampak pemandangan yang menyenangkan mata mungkin akan menjadi pengalaman bersama keluarga yang ada di dalam daftar core memory-nya. Ditambah lagi, ada paduan perasaan bahwa keluarganya aman dan juga merasa utuh layaknya ia.

BACA JUGA: Dari Utara ke Selatan: Menikmati Suasana Sepi Jakarta Saat Lebaran

Jilid Dua: Perempuan yang Temu Kangen dengan Keluarga Besarnya

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indah membuka hari pertama Lebaran dengan salat Id di masjid terdekat dari rumahnya. 

“Di sana, kami salat sunnah 2 rakaat dan dengerin ceramah. Setelahnya, kami langsung bermaaf-maafan. Aku sama ibuku, tanteku, dan sepupuku. Kami minta maaf lahir batin jika sempat berbuat salah.”

Sepulangnya, Indah dan keluarga menjamu para tamu yang datang. Selama ini selalu begitu karena ada Kakek yang dituakan di rumahnya. Mereka menghidangkan aneka macam makanan untuk keluarga yang berdatangan.

“Masakan pasti ada opor ayam, semur daging, semur lidah, sambal goreng kentang, sama sayur pepaya–sayur untuk menyiram ketupat. Sela-sela ngobrol, kita makan kue kering. Yang wajib ada di sini itu nastar, kastengel, dan kue semprit coklat.”

Kue kering yang disajikan selama Lebaran. (Dok. Pribadi/Indah)

Selain menjamu tamu, keluarga yang datang juga saling temu kangen. Dibuka dengan salam-salaman, maaf-maafan, lalu saling cerita tentang hidupnya. Ada yang membahas progres pendidikan dan karier, ada yang berkeluh sehabis berkeliling rumah ke rumah, ada juga yang sekadar bercerita santai. Baru membeli Tamagotchi, misalnya.

Indah bercerita bahwa momen paling penting dalam hari itu adalah bagi-bagi THR. Namun, ada yang berbeda dari tahun ini. Menurutnya, tahun ini lebih menyenangkan karena ada kuis yang dilontarkan beberapa tante ke anak yang hendak menerima uang.

“Jadi kita ada games kecil-kecilan. Sebenarnya pasti dikasih, tapi kita ngetes dulu dengan pertanyaan umum.”

Setelahnya, keluarga Indah menutup acara hari pertama dengan foto bersama. Foto dimulai dari keluarga kecil, saudara seumur, sampai keluarga besar secara utuh. Di penghujung hari, tante Indah memesan kopi jadi sembari ia turut serta membersihkan rumah.

Saat ditanya tentang apa yang signifikan beda, perempuan yang baru menjadi sarjana setahun lalu ini bercerita setengah bercanda soal apa yang dialaminya.

“Mungkin THR-ku lebih kecil, ya, karena aku lebih besar dan expected juga sudah kerja, hehe.”

Walau begitu, Indah menuturkan bahwa suasana Lebaran selalu sama setiap tahunnya. Selalu menekankan “kebersamaan dan kehangatan” kumpul keluarga. Ia juga bersyukur atas keutuhan keluarganya sehingga Lebaran tahun ini lagi-lagi disambut dengan sukacita.

“Menghabiskan day-1 Eid al-Fitr dengan bahagia, alhamdulillah. Alhamdulillah, masih sama. Alhamdulillah, masih utuh,” ucapnya.

BACA JUGA: Dear Ortu, Mudik Ini Aku Gak Bisa Penuhi Keinginanmu untuk Nikah dan Punya Anak 

Jilid Tiga: Perempuan yang Ditinggal ke Eropa Karena Jadwal Kampus yang Misterius

“Chelle, kok kamu bisa ditinggal keluarga jalan-jalan? Eh… mereka ke mana, sih?”

“Switzerland, Fi,” sahut Michelle dengan tawa renyah.

Ditinggal. Ke. Switzerland.

Betul lulusan Kedokteran satu ini menunjukkan ekspresi yang legowo. Namun, jika jadi dia, aku tidak akan baik-baik sama sekali. Kenapa? Begini kisah mirisnya.

Michelle kini sedang melanjutkan pendidikannya dengan menjalani koas untuk mendapat gelar profesi pertama “dr.”. 

“Aku kira aku nggak dapet libur Lebaran.”

Sayangnya, di universitas tempat ia meraih pendidikan, jadwal lulusan Kedokteran untuk melakukan stase minor dan mayor tidak tentu. Belajar dari pengalaman tingkatan atasnya, Michelle menjelaskan bahwa biasanya lulusan Kedokteran nonmuslim akan dijadwalkan “berjaga malam” pada bulan Lebaran, lalu sebaliknya yang muslim pada bulan Natal.

“Stase mayor ada jaga malam, tidak pulang dan jaga di rumah sakit–UGD. Aku pikir aku jaga Lebaran ini, ternyata nggak.”

Orang tuanya yang merencanakan perjalanan sejak awal tahun terpaksa tidak mengikutsertakan salah satu anaknya. Juga Michelle yang terpaksa sejak awal tahun merelakan kesempatannya mencicip berbagai varian keju di negara yang terkenal akan itu. Mungkin Michelle akan lebih menerima kenyataan jika benar-benar ia harus terjaga pada bulan Lebaran.

Mirisnya, tidak.

“Mereka berangkat tanggal 19. Bahkan aku sudah libur dari Jumat-nya [tanggal 14]. Tiba-tiba, hari itu dikasih ujian terus dikasih tau ternyata nggak usah masuk lagi. Jadwalnya mendadak banget”

Sayangnya, keputusan keluarga mengambil tur sejak akhir tahun lalu membuat Michelle tidak bisa menyusul perjalanan keluarganya. 

“Soalnya perginya lumayan jauh. Semua sudah diatur, pake tur, sudah dibayar, dan nggak bisa tambah orang.”

Dari pengalamannya ini, ia berkeluh akan sistem kampus yang menurutnya dapat merugikan. Contoh terdekatnya adalah apa yang dialami ia. Terlebih lagi, Michelle bercerita, semasa pandemi ini keluarganya belum pernah bepergian bersama lagi.

Mochi, anjing Michelle. (Dok. Pribadi/Michelle)

“[Sempet] nangis setitik, ya. Aku di rumah jagain anjingku yang nakal, sendirian. Setiap mereka video call lihat pemandangan kayak pegunungan, aku di rumah… Mana rumah banyak nyamuk lagi.”

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!