Eksploitasi buruh perempuan

Buruh Perempuan Dipaksa ‘Staycation’: Kontrak Kerja Jadi Celah Eksploitasi

Tuntutan ‘staycation’ atau menginap bersama di sebuah hotel sebagai syarat perpanjangan kontrak menyebabkan buruh perempuan banyak terkena kekerasan seksual dan pemerasan di tempat kerja.

Kasus eksploitasi buruh perempuan yang terjadi di Cikarang membuka mata kita bahwa eksploitasi terhadap buruh perempuan semakin terungkap dalam praktik yang memanfaatkan ketidakpastian kontrak kerja.

Seorang perempuan bernama AD mengungkapkan bahwa dia mengalami pelecehan seksual di tempat kerjanya yang berada di Kabupaten Bekasi. AD mengatakan bahwa manajer di perusahaan tempatnya bekerja memintanya untuk melakukan ‘staycation’ atau menginap bersama di sebuah hotel sebagai syarat agar kontrak kerjanya diperpanjang. Cerita tentang tuntutan ‘staycation’ ini sebagai syarat perpanjangan kontrak menjadi viral terlebih dahulu di media sosial. Setelah mengalami kejadian tersebut, AD melaporkan atasannya ke kepolisian.

Dalam penuturannya ke media pada Sabtu, (06/05) AD bercerita bahwa tiap dirinya bertemu dengan atasannya itu, selalu ada ajakan untuk ‘jalan berdua’. “Beliau selalu tanya ayo kapan jalan, kapan ketemu gitu, kapan jalan berdua. Karena saya masih butuh pekerjaan ya, saya alasan, entar-entar. Maunya saya bareng-bareng teman, tapi dia nggak mau selalu pengen berdua. Aku kan lama-lama risih ya, kayak nagih-nagih terus. Lama-lama dia (manager) kayak kesal lalu berkata, ya udah kamu habis kontrak kerja aja udah nggak usah diperpanjang soalnya janji kamu palsu. Maaf pak saya nggak bisa kalau jalan berdua, dia langsung marah dan nomor saya diblokir padahal saya kan masih kerja di situ.” AD menyebut bahwa kontraknya jatuh di Tanggal 13 Mei 2023 ini.

BACA JUGA: Apa itu Staycation? Stop Staycation Jadi Syarat Kontrak Kerja Karyawan

Kontrak Kerja yang Pendek Menjadi Celah Memanfaatkan Buruh Perempuan

Vivi Widyawati selaku Koordinator Departemen Politik dan Advokasi Kebijakan Perempuan Mahardhika menjelaskan kepada Konde.co, Rabu (10/5), bahwa kontrak kerja dalam perusahaan manufaktur seperti ini dibuat antara HRD atau manajer dengan buruh. Dalam pengalaman, kontrak kerja sangat pendek yaitu 6 bulan sekali atau setahun sekali, sehingga hal ini dimanfaatkan sebagai celah melakukan eksploitasi terhadap buruh perempuan.

“Perempuan Mahardhika pernah membuat penelitian tentang kontrak kerja yang disalahgunakan oleh atasan kepada buruh perempuan dan dimanfaatkan baik secara seksual maupun permintaan dalam bentuk uang,” ujar Vivi.

BACA JUGA: Kasus Aice: Dilema Buruh Perempuan Dan Pentingnya Kesetaraan Gender di Tempat Kerja

Pengaruh atasan sedemikian besarnya dalam penentuan kontrak kerja buruh. Vivi menjelaskan perpanjangan kontrak yang ditemukan selama ini kebanyakan bersifat subjektif. Hampir tidak pernah ada kontrak kerja itu melihat kualitas kerja. 

Yang dilihat pertama adalah seberapa besar buruh bisa produktif, misal ada kasus buruh perempuan yang hamil dan tidak, maka yang akan dilanjutkan kontraknya adalah buruh yang tidak hamil. Karena perusahaan memikirkan pengeluaran untuk membayarkan hak cuti persalinan. Lalu berikutnya, jabatan manajerial kebanyakan diisi oleh laki-laki sehingga buruh perempuan menjadi sasaran dimanfaatkan oleh atasannya untuk seksual maupun meminta uang untuk ditukar dengan kontrak kerja. 

“Hal ini sudah menjadi rahasia umum ya,” tambah Vivi.

Ajakan ‘Staycation’ Termasuk Bentuk Kekerasan Seksual

Mengenai kasus yang dialami AD, Vivi berpendapat bahwa ajakan ‘staycation ini merupakan bentuk pemaksaan, bisa dikategorikan melanggar Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

“Dapat dikenai pemberatan, apalagi pelakunya adalah atasan sendiri yang menggunakan relasi kuasa terhadap AD. Kalau perusahaan tahu dan malah melindungi pelaku, juga bisa diberlakukan tindak pidana juga,” ujarnya.

Vivi menyarankan agar membentuk tim dengan melibatkan aktivis perempuan yang memahami kasus dan mengerti alur UU TPKS. 

“Sangat penting agar korban didampingi oleh orang yang berperspektif korban,“ katanya, “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga perlu dilibatkan, memang sesuai dengan UU TPKS, begitu korban melapor akan diberi perlindungan, jaminan tidak dimutasi, serta jaminan tidak kehilangan pekerjaan.”

Urgensi Untuk Segera Meratifikasi Konvensi ILO No. 190

Sementara itu, Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) atau Konfederasi Sarbumusi menyoroti urgensi bagi Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 190 yang berkaitan dengan Pelecehan dan Kekerasan. 

Mengingat meningkatnya kasus pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, Irham perwakilan Sarbumusi menjelaskan bahwa fenomena ini serupa dengan gunung es, di mana kasus pelecehan terjadi di berbagai sektor seperti instansi pemerintahan, BUMN, dan sektor swasta. 

Sehingga menurutnya, diperlukan upaya yang komprehensif untuk meminimalkan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja dengan menyiapkan instrumen hukum yang kuat. Meratifikasi Konvensi ILO No.190 akan membantu Indonesia dalam membangun dasar yang kokoh untuk mengatur dan memberikan pedoman dalam melawan pelecehan dan kekerasan di tempat kerja. 

Kasus pemerasan seksual yang dialami oleh buruh di Cikarang ini, kata dia, termasuk dalam kategori quid pro quo atau pemerasan seksual, di mana pelaku memanfaatkan hak dan manfaat buruh untuk mendapatkan permintaan seksual. 

Konfederasi Sarbumusi melihat pelecehan di tempat kerja sebagai fenomena yang lebih luas. “Banyak korban yang tidak berani melaporkan kasus ini karena takut menghadapi rasa malu, penghinaan, kehilangan pekerjaan, atau risiko hukum,” katanya. 

BACA JUGA: Pemerintah Harus Serius Hapus Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja

Sejalan dengan itu, Vivi menegaskan Kemenaker harus menganggap serius persoalan kekerasan seksual di tempat kerja. Pemerintah mesti menempatkan prioritas kasus-kasus ini untuk ditangani dan tidak menunggu sampai ada banyak korban. Apalagi situasi ketidakpastian kontrak kerja seperti kebijakan sistem kerja fleksibel, upah kecil boleh kurang membuat buruh khususnya buruh perempuan tidak punya banyak pilihan saat dimanfaatkan demi diberikan kontrak kerja. 

Kemenaker juga harus memastikan agar tidak ada lagi kasus-kasus seperti ini. Perusahaan juga punya tanggung jawab penuh agar kekerasan seksual tidak terjadi di lingkungannya. Sesuai Konvensi ILO No. 190, perusahaan wajib menyediakan tempat aman bagi korban, menyediakan pengacara, dan mendukung proses hukum. 

“Dengan naiknya kasus ini diharapkan dapat memperbaiki situasi kerja, perusahaan juga harus memiliki SOP pencegahan, penanganan, implementasi dan pengawasan kekerasan seksual agar buruh dapat bekerja dengan nyaman dan terlindungi,” tutup Vivi.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!