Dilema Silalahi

Delima Silalahi: Aktivis Lingkungan Peraih The Goldman Environmental Prize

Sebuah perusahaan masuk, tiba-tiba membabat hutan menjadi perkebunan. Delima Silalahi, seorang aktivis lingkungan memimpin protes dan merebut kembali hutan itu.

Delima Silalahi (46 tahun), direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize pada 24 April lalu di San Fransisco.

Dia adalah seorang perempuan Batak dari Siborong-Borong, kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara; salah satu dari banyak kabupaten yang terkena dampak pembukaan hutan untuk perkebunan industri. Delima telah memimpin kampanye yang berhasil memenangkan kepastian hukum atas 17.824 hektar lahan hutan tropis untuk enam komunitas di Sumatera Utara. Komunitas-komunitas ini telah lama memelihara pohon-pohon kemenyan Sumatera yang memberikan penghidupan lokal yang signifikan.

Delima adalah seorang aktivis di perguruan tinggi dan bergabung dengan KSPPM sebagai relawan pada tahun 1999. Kantor KSPPM terletak jauh dari keluarganya, dan dia sering menghabiskan berhari-hari jauh dari mereka, sering tidur di kantor dan di komunitas.

Pohon Kemenyan yang Menjadi Sumber Penghasilan

Nenek moyang orang di Sumatera Utara telah lama membudidayakan pohon-pohon kemenyan Sumatera. Catatan sejarah menunjukkan bahwa getah ini digunakan untuk pembuatan parfum dan obat-obatan. Getah kemenyan telah dipanen dan diperdagangkan setidaknya sejak abad ke-8. Ketika dibudidayakan secara berkelanjutan di dalam hutan, getah kemenyan dapat diekstraksi dari pohon selama 60 tahun. Getah ini telah menjadi sumber penghasilan lokal yang signifikan.

Pulau Sumatera adalah satu-satunya tempat di bumi di mana badak, orangutan, harimau, dan gajah hidup bersama di alam liar. Saat ini, destruksi habitat mengancam spesies yang terancam punah secara kritis ini. Salah satu yang paling terancam adalah harimau Sumatera: populasi tersisa sebanyak 500 ekor merupakan populasi harimau terakhir di Indonesia.

BACA JUGA: Yang Bisa Kamu Pelajari Dari Perempuan Adat: Sebagai Pelindung Hutan dan Lingkungan

Masuknya Perusahaan Toba Pulp Lestari

Sejak 30 tahun terakhir, perusahaan pulp (pengolahan kayu sebelum jadi kertas) dan kertas bernama Toba Pulp Lestari (TPL) merambah hutan-hutan di Sumatera Utara yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas lokal. Mereka membabat hutan-hutan yang kaya biodiversitas ini dan menggantinya dengan perkebunan eukaliptus monokultur yang besar.

Delima dan timnya di KSPPM memperjuangkan hak-hak masyarakat setempat dan melakukan protes terhadap TPL. Pada tahun 2013, putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia mengkonfirmasi bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Ini memberikan kesempatan bagi masyarakat adat untuk mengklaim pengelolaan hukum atas wilayah hutan tradisional mereka.

Sangat prihatin dengan ekspropriasi massal (pengambilalihan asset untuk kepentingan publik dengan kompensasi) teritorial lokal untuk industri pulp dan kertas—dan dampak besar yang ditimbulkannya terhadap hutan di wilayah Danau Toba—Delima dan timnya di KSPPM mulai mengorganisir komunitas-komunitas lokal untuk secara hukum mengklaim hutan tradisional mereka.

Delima melakukan perjalanan dari desa ke desa. Ia mengedukasi komunitas tentang hak-hak mereka dan mengorganisir pemetaan partisipatif hutan dengan setiap komunitas untuk mendokumentasikan wilayah asli mereka. Mereka mengorganisir protes terhadap TPL di tempat-tempat di mana perusahaan tersebut beroperasi.

Delima sendiri menghadapi banyak tantangan sebagai seorang pemimpin perempuan di Indonesia dan mendapat kritik karena sering meninggalkan suami dan anak-anaknya selama berminggu-minggu.

Pada bulan Juni 2021, Delima dan anggota komunitas bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mendesaknya untuk mengakui hutan tradisional milik masyarakat tersebut.

Kemenangan Masyarakat Adat

Pada bulan Februari 2022, pemerintah Indonesia akhirnya memberikan keenam komunitas Tano Batak kekuatan hukum atas 17.824 hektar hutan adat mereka mereka. Keenam komunitas ini telah memulai restorasi hutan dan penanaman kembali. Suatu kemenangan untuk ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat.

Pengakuan hukum atas hutan-hutan tradisional ini memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap eksploitasi dan perusakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Dalam pengelolaan hutan masyarakat, praktik-praktik pelestarian hutan berkelanjutan dan kearifan lokal dapat diterapkan. Hal itu demi memastikan keberlanjutan ekosistem dan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat setempat.

BACA JUGA: “Kok Pakai Baju Modern, Bukannya Daun atau Kulit Kayu?”: Kisah Pegiat Hak-hak Masyarakat Adat

Meraih Penghargaan Internasional

Atas dedikasinya tersebut, Delima Silalahi dianugerahi The Goldman Environmental Prize. Penghargaan ini diberikan kepada individu yang telah melakukan upaya berkelanjutan dan signifikan untuk melindungi dan meningkatkan lingkungan alam, seringkali dengan risiko pribadi yang besar.

Sebagai pemimpin “grassroots” yang terlibat dalam upaya lokal, di mana perubahan positif tercipta melalui partisipasi masyarakat atau warga. Dengan mengakui para pemimpin komunitas ini, penghargaan ini berusaha untuk menginspirasi orang-orang lainnya untuk melakukan tindakan luar biasa dalam melindungi dunia alam.

Dalam sambutannya di penghargaan tersebut, Delima Silalahi mengungkapkan bahwa pencapaian ini adalah hasil kerja keras KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat) bersama berbagai komunitas adat yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

“Beroperasinya industri kertas dan pulp selama lebih 30 tahun telah membawa kesengsaraan bagi masyarakat adat dan degradasi lingkungan secara massive. Selain merusak hutan, termasuk pohon kemenyan tanaman endemik yang jadi sumber penghidupan, penebangan hutan merusak sungai, mengusir satwa keluar habitat dan memaksa mereka berebut ruang hidup dengan masyarakat,” tutur Delima.

BACA JUGA: Hari Internasional Masyarakat Adat dan Pendidikan Perempuan Adat

Ia pun berterima kasih kepada suaminya yang selalu memberikan dukungan. Juga putrinya yang menjadi teman dan rekan diskusi dalam berbagai isu masyarakat dan lingkungan, serta putranya yang mengizinkannya untuk mengabdikan waktu dan tenaganya kepada petani dan masyarakat adat.

Delima merasa terhormat dapat berdiri di hadapan hadirin, mewakili masyarakat adat Batak di Indonesia, dan menerima penghargaan ini atas nama masyarakat adat Batak. Bagi mereka, tanah adalah identitas, dan perjuangan ini adalah untuk melindungi ibu pertiwi dan menjaga identitas mereka sebagai masyarakat adat Batak.

Delima Silalahi telah menunjukkan dedikasi dan kepemimpinan yang luar biasa dalam melindungi hutan dan hak-hak pribumi di Sumatera Utara. Pekerjaannya bersama KSPPM adalah contoh inspiratif tentang bagaimana individu dan komunitas lokal dapat melawan destruksi lingkungan dan memperjuangkan keadilan. Keberhasilannya dalam mengamankan pengelolaan hukum atas hutan tradisional adalah langkah penting dalam memperkuat ketahanan iklim dan melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!