‘Inem Pelayan Seksi’: Film tentang Objektifikasi PRT

Jika kamu anak 90-an, pasti kamu masih ingat film berjudul “Inem Pelayan Seksi”, sebuah film yang mengobjektifikasi perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Bagaimanakah sebuah film cerita tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) bisa menjadi film terpopuler pada tahun tertentu? Dengan mengkomodifikasi perempuan sebagai objek seksual dan menempatkannya ke  dalam sektor domestik untuk melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Begitulah caranya.

Demikianlah dengan film tahun 1976 berjudul Inem Pelayan Seksi. Tokoh titulernya adalah seorang janda cerai yang sensual dan menggairahkan, yang secara membuat suami gagal fokus dan istri dari keluarga tempat dia bekerja jadi cemas setiap melihat Inem. 

Poster film tahun 1976 menampilkan Inem duduk di lantai, bersila dengan pose mengundang, mengenakan bra hitam dan sarung yang lebih memperlihatkan pahanya daripada menutupinya.

Film ini begitu populer sehingga dibuat dua sekuel, keduanya pada tahun 1977. Bayangkan! Pada tahun 1997, 20 tahun setelah film Inem pertama, didaur ulang menjadi sinetron, dan pada tahun 2019, diremake menjadi Inem Pelayan Sexy New. 

Film Inem 1976 tanpa tedeng aling-aling mengobjektifikasi perempuan sebagai benda seks yang berperan melayani laki-laki dengan cara apapun yang mereka butuhkan. Pembuatan ulang film Inem tahun 2019 tidak menampilkan payudara dan paha yang terbuka, dan disesuaikan dengan suasana yang lebih konservatif jaman sekarang. Namun Inem baru tetaplah janda cerai seksi yang menarik.

Seperti Inem yang lama, Inem tahun 2019 juga menerima lamaran dari bosnya yang kaya raya. Ah, itu kan tema lama Cinderella yang dipakai di Pretty Woman (1990) dan Maid in Manhattan (2002). Ini merupakan  cara untuk memutar balikkan keadaan: PRT dari kelas sosial terendah, diangkat ke status kelas ekonomi yang tinggi karena status  pernikahannya, dan karena itu kemudian dapat menguasai para mantan bosnya.

Namun dalam kehidupan nyata, apakah seorang PRT akan mendapatkan lamaran pernikahan dari bos? Mimpi! Kemungkinan besar mereka akan diperkosa oleh ayah atau anak laki-laki dewasa, atau oleh mereka semua, secara bergantian.

Jika semua film yang disebutkan di atas memiliki ciri dongeng yang indah, nasib bedinde, babu pembantu, tapi yang paling tepat adalah pekerja rumah tangga, sama sekali tidak punya dongeng yang indah. Nyatanya, seringkali malah mereka mengalami mimpi buruk, bahkan neraka.

Kisah-kisah mengerikan tentang mereka yang disiksa, dicaci maki, dipukuli secara fisik, dibakar dengan setrikaan panas, disiram dengan air mendidih, tidak diberi makan, gaji atau akomodasi yang layak, ditawan seperti budak dan dianiaya dengan cara-cara kejam yang tak terperi. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan mati akibat siksaan yang mereka terima. Perlakuan buruk  dan aniaya tersebut terjadi di Indonesia maupun di luar negeri terhadap pekerja migran domestik.

BACA JUGA:

Disiksa, Disiram Cabe dan Ditelanjangi: Kekerasan Pada PRT Terjadi Lagi

Ini telah menjadi nasib para pelayan sejak zaman kolonial dan feodal. Mereka dianggap sebagai “anggota keluarga” (sic!), tidak diupah, menjadi bagian dari ruang pribadi informal, oleh karena itu tidak terlihat, dan tidak dianggap sebagai tanggung jawab negara.

Meskipun seolah tidak kasat mata, apa yang disebut sebagai pekerjaan “tidak terampil”, esensial untuk berfungsinya masyarakat, termasuk masyarakat modern Indonesia. Dalam istilah Marxis, tugas-tugas reproduksi yang penting bagi kapitalisme dilakukan oleh ibu rumah tangga yang tidak dibayar yang melahirkan dan membesarkan pekerja masa depan, dan mengurus sandang-pangan suami-suami mereka, anggota tenaga kerja produktif yang menghasilkan laba bagi kaum kapitalis.

BACA JUGA:

Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Marxis, Melucuti Sistem Kapitalisme Untuk Pembebasan Perempuan

Meski secara historis dan kultural berbeda, pada masa kolonial dan feodal di Nusantara, proses serupa terjadi.

Keduanya bermuara pada hubungan yang timpang akibat dikotomi kehidupan sebagai publik-swasta, formal-informal, produktif-reproduksi, laki-laki-perempuan, maskulin-feminin yang merupakan bagian dari pola pikir eksploitatif hierarkis patriarki. Terlepas dari kenyataan bahwa keduanya sangat diperlukan satu sama lain, satu sisi dikotomi (maskulin) lebih dihargai daripada sisi lain (feminin), dan mendominasi dan mengeksploitasinya.

Pola pikir patriarkis ini begitu mengakar sehingga dianggap wajar, bahkan pernah diinternalisasi oleh pemimpin perempuan seperti Puan Maharani, Ketua DPR RI. Dia “telah mendapat kecaman karena menggunakan kesimpulan yang sudah ketinggalan zaman sebagai alasan tidak memulai upaya memperkenalkan undang-undang baru yang sangat dibutuhkan untuk melindungi pekerja rumah tangga dengan lebih baik” (lihat “House leadership decision on domestic worker protection bill faces backlash” [Keputusan pimpinan DPR tentang RUU perlindungan PRT mendapat reaksi balik], The Jakarta Post, 13 Maret 2023).

RUU perlindungan PRT pertama kali diusulkan pada tahun 2004, untuk mengatasi “diskriminasi, pelecehan dan penghinaan.” RUU ini  ditambahkan dan dihapus dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sudah tiga kali dalam 19 tahun.

“Untuk pengesahan, RUU tersebut masih harus melewati beberapa tahapan, seperti harmonisasi, pembentukan RUU inisiatif DPR, pembahasan tingkat 1, dan pembahasan tingkat 2, yang masih belum jelas sasarannya. DPR didorong oleh beberapa pihak untuk memastikan pengesahan RUU yang dianggap penting untuk melindungi PRT dari berbagai bentuk kekerasan dan memberikan kepastian hukum kepada PRT dan majikan.” (Antara, 10 Maret)

Dalam upaya untuk memecahkan kebuntuan, pada pertengahan Januari Presiden Joko “Jokowi” Widodo menugaskan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Tenaga Kerja untuk mengkoordinasikan upaya dengan DPR dan mempercepat pembahasan demi memberi perlindungan yang lebih baik bagi empat juta PRT Indonesia (The Jakarta Post, 13 Maret). Ini angka resmi, tapi kemungkinan besar angkanya jauh lebih tinggi: 10 juta, atau bahkan lebih, menurut Jala PRT, Jaringan Advokasi Nasional PRT yang dibentuk pada 11 Juli 2004.

Padahal, menurut Eva Kusuma Sundari, Direktur Sarinah Institute, koordinator koalisi kelompok sipil advokasi perlindungan pekerja rumah tangga, dan mantan anggota DPR (2005-2014 dan 2016-2019), jika sidang paripurna DPR digelar, Wakil Menteri Hukum dan HAM bisa menjamin disahkan RUU tersebut dalam waktu satu minggu. Benarkah? Wow!

Penundaan selama 19 tahun ini menimbulkan pertanyaan: Apa yang melatarbelakangi tertundanya berbagai RUU terkait perbaikan nasib perempuan? Juga diperlukan waktu 10 tahun untuk meratifikasi RUU tentang kekerasan seksual, dan 45 tahun untuk merevisi undang-undang perkawinan, untuk menaikkan usia menikah dari 16 menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.

Hambatannya tidak bersifat teknis, tetapi karena kurangnya kemauan politik, bahkan terdapatnya malaise politik yang menolak mengakui penyakit sosial, sehingga berdampak memperparahnya. Itu juga menunjuk pada seksisme yang amat melekat, bahkan sudah sampai pada tingkat misogini, dalam masyarakat kita yang sangat patriarkal. Hambatan ini juga indikasi  keberpihakan negara yang konsisten pada kepentingan kapital dan kapitalis, ketimbang kepentingan “orang kecil” yang tertindas.

Pola pikir patriarkal dari banyak pemimpin dan politisi merupakan penggabungan ideologi gender kapitalis dan feodal yang terburuk, yang melihat PRT bukan sebagai pekerja tetapi sebagai pelacur dan budak yang seolah tak memiliki hak asasi manusia.

(Artikel ini telah diterbitkan di The Jakarta Post dalam Bahasa Inggris pada 15 Maret 2023, dimuat kembali dengan seizin penulis)

Sumber gambar: Wikipedia, Inem Pelayan Sexy, 25 November 2015, pamflet milik pribadi

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!