Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita

Iming-iming orang yang kita percaya dan sosial media, bisa jadi ancaman berbahaya. Konde.co menemui salah satu keluarga korban penyekapan Warga Negara Indonesia (WNI) di Myanmar

Seorang perempuan, NV menjadi korban penyekapan dan perdagangan orang di Myanmar.

Adik kandung korban yang bernama Hapsari (37) bercerita kepada Konde.co soal peristiwa yang dialami kakak perempuannya. 

Ceritanya bermula sekitar Oktober 2022 lalu ketika NV meminta izin kepada Hapsari dan keluarga. NV bilang mau kerja ke luar negeri. Salah seorang teman, mengajaknya bekerja di Thailand sebagai customer service (CS) di perusahaan investasi. 

Di sana kerjanya enak. Semua sudah difasilitasi. Makan dan tempat tinggal gratis. Gajinya gede paling tidak Rp. 25 juta/bulan pokoknya saja. Begitu, Hapsari menirukan perkataan kakaknya ketika berencana ikut teman NV yang sudah lebih dulu berada di luar negeri itu. 

“Nitip anak aku ya,” ujar NV kepada Hapsari kala itu.

Menurut Hapsari, situasi NV yang merupakan ibu dari seorang anak yang kini berusia 11 tahun. NV mesti berjuang memikirkan nasib anaknya untuk sekolah dan hidup. Sebab suaminya pergi tanpa kabar dan tidak memberi nafkah kepada istri dan anaknya.

Tawaran dari seorang teman yang Ia percaya pun, diambilnya. Usai mengiyakan ajakan temannya itu, NV kemudian dihubungkan dengan pihak agen yang ada di Bekasi, Jawa Barat. 

Agen bilang, semua urusan administrasi termasuk paspor dan syarat masuk ke Thailand itu, diurus mereka. NV tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal tunggu jadi dan pergi. Sebelum keberangkatan, Hapsari mencatat paling tidak 3 kali pertemuan dengan agen termasuk tanda-tangan perjanjian kontrak. 

Selama proses itu, NV tidak bilang apapun yang mencurigakan kepada Hapsari dan keluarga. 

“Gak ada yang tau tu (keluarga), kayaknya emang ada ancaman dari agen. Pokoknya gak boleh ada yang motoin agen, surat kontrak juga gak ada yang motoin,” perempuan berusia 34 tahun itu. 

Tibalah pada tanggal 23 Oktober 2022. Perempuan asal Bandung itu diminta untuk berangkat ke agensi. Keesokan harinya, NV mengabari Hapsari jika dirinya sudah terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju ke Thailand. 

“Ini baru nyampe mendarat di Don Mueang (bandara di Thailand). Nanti dikabarin lagi, soalnya udah dijemput dua orang katanya pakai travel. Soalnya mau dibawa 9 jam dari sini,” begitu isi pesan NV kepada Hapsari. 

Dari situ, sebetulnya Hapsari sudah mulai curiga. Kenapa sampai 9 jam perjalanan naik travel? Kok jauh banget? Mau dibawa kemana sebenarnya? 

BACA JUGA: 

Awas, Sindikat Perdagangan Manusia Menghantui Pekerja Migran Indonesia

Diiming-Imingi Gaji Tinggi: 17 Anak Perempuan Jadi Korban Perdagangan Orang

Tak berapa lama kemudian, NV menghubungi lagi keluarga yaitu Om (Paman). NV bilang, dirinya mau dibawa ke seberang. Dia menyusuri sungai memakai perahu sampan. Lewat jalan tikus. Kayak jalan buat menyelundupkan. 

“Udah dulu ya Om, soalnya aku dikawal sama orang militer gitu. Depan dua orang, belakang dua orang,” kata NV saat menghubungi, dengan tergesa-gesa itu. 

Empat hari kemudian, Hapsari dan keluarga pun makin tidak tenang. Mereka mencemaskan kondisi NV yang belum ada kabar. Hapsari pun menghubungi NV, menanyakan kabarnya di sana. 

Tak berselang lama, NV merespons. Dia bilang sudah sampai, tapi bukan di Thailand seperti yang dijanjikan. Melainkan di Myanmar. NV baru sadar kalau dirinya telah ditipu. Bukannya dipekerjakan sebagai CS perusahaan investasi, tapi sebagai scammer online

NV bercerita, kondisi kerja di sana juga tidak manusiawi. Bekerja overtime sampai 19 jam. Dikasih waktu istirahat cuma 4 jam sehari. Makan dan istirahat pun dikasih waktu cuma 15 menit sebanyak 2 kali sehari. Gak boleh lebih.

Jika waktu makan dan istirahat lebih dari waktu yang ditentukan itu, maka dihukum fisik push up 500 kali, keliling lapangan 20 kali, dijemur diterik matahari 1,5 jam. Begitu pun jika tak mencapai target kerja harian, disiksa. Jika sakit harus tetap bekerja. 

“Kakak saya mau pingsan, udah gak kuat, lemes, muntah. Perusahaan gak ngebolehin izin pokoknya, istirahat sebentar terus tetap kerja,” tutur Hapsari.

Kepada Hapsari, NV sempat bilang, jika pekerja ingin keluar dari tempat itu dia harus menyerahkan uang sekitar Rp 125 juta ditambah merekrut 4-5 orang WNI untuk dirinya bisa bebas.

Penyekapan dan Penyiksaan Terus Berlanjut

Saat komunikasi dengan Hapsari itu, NV bilang, dirinya merasa tertekan, stres dan kena mental. Setiap hari dirinya diancam. Ia juga tak kuat melihat tiap hari ada terus yang disiksa di depan matanya. 

Dia bilang, disiksanya gak manusiawi. Tangan diikat. Mulut disumpal pakai pipa paralon. Terus kepalanya dipukul pakai bangku sampai keluar darah dari hidung sama telinga. Itu pun gak ada yang boleh menolong pekerja yang disiksa itu. Tapi, penyiksaan itu dipertontonkan ke semua karyawan. 

Di malam itu, NV juga meminta kepada Hapsari agar mendoakan dirinya. Supaya dia tidak disetrum listrik. NV bercerita setiap karyawan yang tidak mendapatkan investor baru akan disetrum. 

“Kakak sudah kena setrum dua kali. Pertama bisa lolos karena ditolongin temannya, dia bilang temannya baik banget, kakak nangis karena temannya yang kena setrum,” ujarnya getir. 

Dari kejadian itu, Hapsari mencari cara melapor ke KBRI Myanmar sekitar akhir Maret 2023. Dia juga sudah mendaftarkan laporan pengaduan ke bagian perlindungan WNI. Sudah keluar juga nomor pengaduannya. Sampai berminggu-minggu, Hapsari belum juga mendapatkan respons. 

BACA JUGA: 

​​Menjadi Korban Trafficking: Buruh Migran Berhak Dapatkan Bantuan Hukum

Pengantin Pesanan, Modus Trafficking Yang Mengorbankan Perempuan

Di tengah penantian itu, Hapsari mendapatkan ada informasi dari pihak keluarga lain yang melaporkan adanya kasus 20 WNI Myanmar termasuk NV itu ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Ia kemudian mengirimkan pesan kepada Uya Kuya, artis dan berharap dibantu dengan menyebarkan informasi ini. 

“Saya nge-DM juga Uya Kuya. Akhirnya sama Uya Kuya dibantu menghubungi ke Bareskrim, dibawa ke polisi, agennya harus ditangkap dulu, terus Uya menghubungi Krisna Interpol (Criminal Police Organization),” ceritanya. 

Hapsari terus melakukan berbagai cara. Yang ada dalam pikirannya, bagaimana caranya supaya kakaknya bisa segera dijemput dari Myanmar, yang juga berada di lokasi konflik tersebut. 

Belum adanya respons dari KBRI Myanmar, dia akhirnya melaporkan juga ke Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Sampai mereka kemudian turut menyurati KBRI Myanmar

“Habis itu, KBRI Myanmar infoin saya bahwa laporan kasus yang Anda laporkan sudah kami terima,” ucapnya. 

Berpacu dengan waktu, hingga April 2023, Hapsari belum mendapatkan kepastian soal nasib kakaknya, NV, yang belum juga dijemput-jemput. 

Tak berselang lama dari situ, NV mengabarkan kalau dia bersama teman-temannya membuat video untuk menarik perhatian Presiden, Jokowi, kepada Hapsari agar disebarkan kepada pihak-pihak terkait RI agar bisa membebaskan mereka. Video ‘20 WNI di Myanmar’ inilah yang kemudian viral di sosial media.  

“Minta tolong sampaikan ini ke orang, badan terkait, yang bisa membebaskan kami di sini. Kami terancam banget,” kata NV kepada Hapsari saat itu. 

Situasi yang dialami NV dan puluhan WNI lainnya yang disekap di Myanmar, memang semakin bikin tertekan. Setiap hari, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi lampu digelapin di tengah suara bom yang bertubi-tubi menghujam zona konflik di Myanmar. Mereka juga terus disiksa dan tak dapat gaji sepeser pun. 

Terakhir komunikasi Hapsari dengan NV saat lebaran, NV mengatakan dirinya dan teman-temannya di sana, sudah dalam kondisi yang gawat. Alat komunikasi sudah akan disita. Gak boleh ada komunikasi. Mereka disekap di dalam ruangan. Pada ruang sekap yang bawah, mereka tidak beri makan minum sama sekali. Tidur pun di lantai. 

Menurut cerita NV ke Hapsari, ada 3 ruangan yang digunakan oleh pihak perusahaan. Ada ruang penyekapan dan penyiksaan yang dimasuki oleh NV itu. Ada 7 orang masuk ruangan interview, dan 10 orang lainnya NV tidak mengetahui keberadaannya. Bisa saja di ruang satunya. 

Di ruang penyekapan dan penyiksaan ini yang paling parah, pihak perusahaan mengorek siapa ‘dalang’ yang menyebarkan video speak up itu. Pihak perusahaan terus melakukan ancaman terhadap mereka. 

“Kalian gak akan bisa keluar ruangan ini, sekalipun presiden atau militer yang jemput kalian. Pokoknya kalian semua akan kita buat mati perlahan di sini,” kata Hapsari menirukan ucapan NV. 

Tangis Hapsari saat itu semakin tak terbendung, saat NV meminta menitip pesan kepada anaknya di rumah. 

“Maafin ibu belum bisa bahagiakan kamu (nama anak perempuannya). Takutnya ibu gak bisa ketemu lagi sama kamu. Kalau misalnya Ibu ke depannya gak ada kabar lagi ke kalian, minta maaf, harus ikhlasin,” perkataan NV kepada Hapsari. 

Dari percakapan NV dan Hapsari terakhir itu, belum ada kabar lagi ke pihak keluarga NV sejak video speak up mereka viral di sosmed.  

BACA JUGA: 

Martini Menuntut Haknya; Jalan Panjang Korban Human Trafficking

Cerita Martini Dikirim Ke Libya: Pekerja Migran Korban Perdagangan Orang

Hingga sesaat sebelum Konde.co menghubungi Hapsari pada Jumat (5/5/2023) lalu, Hapsari bilang, NV baru saja menghubungi melalui telepon perusahaan, jika pihak keluarganya harus segera memberikan uang sejumlah Rp 15 juta. Agar NV bisa keluar dari ruang penyekapan dan penyiksaan. NV bilang, badannya sudah ‘biru-biru’ akibat lebam. 

“Sudah (ditransfer) dari pihak keluarga, gimana caranya wallahu’alam. Berusaha dulu, kita punya niat baik untuk menolong NV di sana. InsyaAllah Allah tolong jaga. Kita bayar buat NV yang penting keluar dulu dari ruang penyekapan,” tutur Hapsari. 

Hapsari bersama pihak keluarga terus berharap, agar pemerintah RI dan pihak terkait bisa secepatnya membebaskan kakaknya dan teman-temannya. 

“Jangan sampai seperti kasus-kasus sebelumnya di Kamboja, nyawanya gak ada. Gara-gara mereka pengen keluar tapi penjemputan gak ada,” harap Hapsari. 

Kabar terbaru dari Kementerian Luar Negeri RI, KBRI Yangon dan KBRI Bangkok berhasil membebaskan 20 WNI korban perdagangan manusia dari Area Mae Htaw Talay, Myawaddy, Myanmar

Ke-20 WNI berhasil dibawa ke perbatasan dalam dua gelombang, yaitu pada 5 Mei 2023 sebanyak 4 orang dan 6 Mei 2023 sebanyak 16 orang. 

“Tim perlindungan WNI KBRI Bangkok, selanjutnya akan membawa mereka ke Bangkok. Untuk proses pemulangan. KBRI Bangkok akan berkoordinasi dengan otoritas Thailand untuk perizinan repatriasi ke Indonesia,” tulis Kemenlu RI melalui keterangan resminya.

Gentingnya Kasus Perdagangan Orang: Anak dan Perempuan Rentan Jadi Korban

Berdasarkan data yang tercatat di SIMFONI PPA, sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan. Dari seluruh korban TPPO itu, mayoritas korbannya adalah anak-anak (50,97%) dan perempuan (46,14%). Sementara laki-laki sebesar 2,89%. 

Sejak tahun 2019 juga terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan yaitu 226 pada tahun 2019, menjadi 422 korban pada tahun 2020, dan naik lagi menjadi 683 korban di tahun 2021. Sementara pada Januari-Oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban TPPO

“Adanya kecenderungan meningkatnya korban TPPO yang terlaporkan setiap tahunnya, hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama.. apalagi dengan semakin banyaknya modus-modus baru,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam keterangan resminya

Sebagai Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Bintang menjelaskan pihak pemerintah menaruh perhatian serius dalam upaya pemberantasan kejahatan TPPO ini. Seperti mengoptimalkan penerapan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO yang dilengkapi dengan peraturan pengikat seperti PP No 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi dan/korban TPPO, PP No 22/2021 hingga Permen PPPA 8/2021. 

“Adapun melalui GT (gugus tugas) TPPO, pada 2022 telah disusun Rencana Aksi Nasional TPPO untuk mengintegrasikan program dan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan TPPO melalui anggaran yang melekat pada alokasi anggaran K/L, sesuai rencana aksi masing-masing,” jelas Bintang. 

Meskipun dalam realitanya, US Embassy pernah menerbitkan laporan yang menyebutkan, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan TPPO

Poin-poin kuncinya adalah kurangnya prosedur yang kuat dan sistematis senantiasa menghambat identifikasi korban. Sementara, layanan perlindungan pemerintah masih belum memadai karena tidak secara khusus memenuhi kebutuhan korban perdagangan orang

Di sisi lain, koordinasi gugus tugas TPPO tingkat nasional dan mitra-mitranya di provinsi dan daerah, dinilai juga tidak cukup memadai dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah pusat. UU TPPO 2007 juga dianggap belum konsistem memuat syarat pembuktian kekerasan, penipuan atau paksaan untuk membenarkan kejahatan perdagangan seks anak. 

BACA JUGA: 

Kekerasan dan Perdagangan Orang Meningkat: Potret Pelanggaran HAM Pekerja Migran 2020

Potret Perlindungan Perempuan Indonesia

Terbaru soal pertemuan KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, NTT pada 9-11 Mei 2023 ini, berbagai kalangan mendorong pemerintah bisa optimal mendorong negara-negara ASEAN dalam komitmen bersama memberantas TPPO

Anggota Komisi II DPR RI, Christina Aryani mengatakan, negara-negara ASEAN bisa mengadopsi dokumen kerja sama penanggulangan TPPO. Di samping juga secara rinci bisa menjabarkan langkah-langkah teknis yang bisa dilakukan negara-negara di lingkup ASEAN dalam memberantas TPPO

“Jadi bukan sekadar adopsi dokumen tapi rumusan konkret dan teknis yang bisa dilakukan,” kata Christina dalam keterangan resmi.

Hariyanto Suwarno dari Serikat Buruh Migran Indonesia, sempat menyinggung soal situasi perdagangan orang dan modus penempatan kerja online scam di negara ASEAN saat pre-event KTT ASEAN ke-42. Sindikat perdagangan orang dengan modus online scam ini beroperasi di wilayah-wilayah konflik seperti di Myawaddy, Myanmar

Pada situasi itu, Kemlu mengalami kesulitan untuk membebaskan WNI tersebut karena wilayah penyekapan masuk ke dalam daerah konflik bersenjata antara militer Myanmar (Tat Ma Daw) dengan pemberontak Karen. Wilayah-wilayah konflik inilah yang dijadikan sebagai tempat teraman untuk mengembangkan bisnis. 

“ASEAN harus diperkuat dengan kesamaan perspektif untuk memberantas tindak perdagangan orang di wilayahnya termasuk mengevaluasi ACTIP (ASEAN Convention Against Trafficking in Person) dan menjamin ASEAN Declaration of Human Rights terselenggara dengan baik sehingga ASEAN menjadi ruang yang ramah bagi pekerja migran,” ujar Hariyanto. 

Perkembangan kasus kini, usai penetapan kedua tersangka TPPO WNI di Myanmar ini, Hariyanto menegaskan, ini merupakan langkah awal bagi Polri untuk membongkar jaringan sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang ke Myanmar. Masih ada beberapa pelaku yang hingga saat ini masih belum ditangkap, Polri harus segera mengembangkan penyidikan untuk menangkap pelaku lainnya baik di dalam negeri dan di luar negeri.

“Polisi harus segera menangkap pelaku lainnya baik di dalam maupun di luar negeri yang terlibat dalam sindikat perdagangan orang ke Myanmar, agar proses membongkar sindikat TPPO ini tidak menjadi sia-sia,” tegas Hariyanto.

Kemudian terhadap Undang-Undang yang dikenakan kepada tersangka, SBMI menekankan agar kepolisian untuk memfokuskan adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan menerapkan UU No 21 tahun 2007 dan mengesampingkan pasal 81 UU. No 18 tahun 2017 tentang PPMI.

Dalam catatan SBMI, penyandingan kedua UU tersebut kerap melemahkan proses penegakan hukum bagi pelaku Perdagangan Orang, sebab Aparat Penegak Hukum cenderung memilih membuktikan UU 18/2017 yang proses pembuktiannya jauh lebih mudah, hukuman lebih ringan sebab tidak ada ancaman hukuman minimal, dan ketiadaan kewajiban restitusi bagi Pelaku.

Orang Terdekat Sampai Sosmed: Hati-Hati Modus Perdagangan Orang

Karsiwen dari Keluarga Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) mengungkapkan modus-modus perdagangan orang WNI yang sebetulnya punya pola sama. Mereka dijanjikan gaji tinggi, namun proses pengurusan kerja yang tidak wajar. Dia mencontohkan, ketika perekrutan itu PT yang membawa tidak jelas dan tidak terdaftar, tidak ada kerjasama dengan negara tujuan, sampai pemalsuan-pemalsuan dokumen. 

“Sebenarnya bisa dicek, ketika ada penawaran pekerjaan di suatu negara. Kita cek dulu, benar gak Indonesia sudah ada MoU dengan negara tersebut,” ujar Karsiwen saat dihubungi Konde.co, Selasa (9/5). 

Dia tidak memungkiri, jumlah kasus TPPO mengalami tren peningkatan saat ini. Terlebih saat banyaknya modus-modus baru berbasiskan digital seperti sosial media. 

Data yang dihimpun Kabar Bumi sepanjang 2022 ini, setidaknya ada 88 kasus TPPO yang masuk pengaduan dari total 220 kasus yang didampingi. Jumlah itu meningkat lebih dari 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yakni 40-an kasus TPPO

“Mayoritasnya perempuan, kemarin itu terbanyak pengaduan dari NTT. Mungkin kami cabangnya di NTT juga sudah ada. Jadi pengaduannya cukup tinggi. Usia-usia 20-an tahun, masih ada juga yang usia anak 17-18 tahun dari facebook dikenalkan,” katanya. 

Dari pengalamannya di lapangan, Karsiwen bilang, cara perekrutan korban TPPO ini bukan saja cukong atau agen yang terjun ke lapangan, biasanya ini menyasar orang-orang terdekat. Namun kini trennya sudah berkembang jauh ke sosmed. Ada di facebook yang menyasar daerah pedesaan sampai instagram yang biasanya lebih ke anak muda urban.

Terlebih saat masa pandemi kemarin, banyak anak muda yang awalnya tak punya HP jadi memegang HP karena tuntutan serba online. “Jadi punya HP untuk bersosmed, di situlah para pelaku mulai mempromosikan pekerjaan, menjanjikan gaji yang tinggi, otomatis saat semua butuh pekerjaan, sangat tertarik,” lanjutnya. 

BACA JUGA: 

Perdagangan Perempuan dan Penghapusannya

Apa Saja Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Bekerja Sebagai PRT di Luar Negeri?

Di daerah pedesaan yang Ia dampingi, sering pula dirinya menemukan kendala sosialisasi di tengah masyarakat. Misalnya anggapan jika calo membuatkan paspor itu artinya sudah pasti bekerja. Ada juga yang hanya pakai visa turis diberangkatkan ke luar negeri. 

Padahal, sebelum berangkat para korban ini juga dimintai uang puluhan juta rupiah. Sekitar Rp 60 sampai Rp 90 juta atau lebih. Namun kenyataannya, mereka hanya ditipu dan bahkan menjadi korban perdagangan orang.

“Walaupun korban sudah kita kasih tau, itu visa turis atau gak ada kerja sama negara, mereka sering gak dengar. Ketika kita kasih masukan, dia sudah terlalu percaya dengan omongan calo. Iming-iming punya masa depan baik untuk ekonomi keluarga dan anak,” jelasnya. 

Dia mengajak masyarakat untuk lebih berhati-hati soal modus-modus penipuan kerja dan perdagangan orang ini. Harus jeli dalam mencari informasi dan tidak mudah percaya dengan iming-iming yang seringnya tak beres. 

Di sisi lain, dia juga mendesak pemerintah terus melakukan upaya tegas dalam pencegahan dan penanganan kasus TPPO ini.  Sosialisasi yang masif misalnya, perlu digencarkan di berbagai media-media lokal seperti TV atau radio-radio. Pun juga baliho di desa-desa soal pencegahan perdagangan orang

Berbagai platform sosial media juga bisa digunakan untuk sosialisasi ini. Seperti pada Facebook, Instagram, sampai Tiktok. 

“Pemerintah sudah saatnya memanfaatkan media untuk sosialisasi secara luas, dikemas singkat dan menarik, jangan kalah masif sama calo-calo (perdagangan orang),” pungkasnya.  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!