Kupatan Kendeng: Mengurai Konflik Akibat Tambang dan Ajakan Menjaga Ibu Bumi

Eling Ibu Bumi jadi tema kupatan Kendeng tahun ini. Sebagai ajakan untuk mengingat ibu bumi yang saat ini kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

Sukinah, perempuan petani Kendeng itu sedang beristirahat di rumahnya di Desa Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah saat Konce.co menghubunginya via telepon Senin (17/4). Sejak pagi ia sudah menggarap sawah. Ia biasa pulang dari sawah siang hari untuk istirahat sebelum menyiapkan makanan untuk berbuka.

Sukinah menuturkan beberapa hari lalu ia bersama Joko Prianto, Dullah, dan beberapa petani, bertemu untuk membahas kegiatan Kupatan Kendeng. Mereka sedang menyiapkan acara tahunan yang digelar masyarakat di Pegunungan Kendeng, Rembang sejak 2015.

Biasanya persiapan kegiatan ini butuh waktu sekitar 3 minggu. Tahun ini Kupatan Kendeng berlangsung di Desa Tegaldowo. Sempat ada pembicaraan untuk mengambil lokasi di desa tetangga. Sudah coba dilakukan pendekatan tapi akhirnya batal sehingga disepakati lokasi tetap di Desa Tegaldowo seperti tahun lalu. Sedang harinya disepakati pada Kamis, 27 April 2023.

Untuk menentukan lokasi kegiatan mereka memperhatikan kondisi psikologis masyarakat. Yang sudah-sudah Kupatan Kendeng diadakan di Desa Timbrangan dan Tegaldowo. Keduanya berada di ring 1 area tambang. Istilah ini dipakai untuk menyebut desa-desa yang paling terkena dampak penambangan dan pabrik semen.

Waktu itu Kepala Desa Timbrangan cenderung mendukung gerakan tolak semen jadi ketika diadakan di Timbrangan bisa berjalan dengan aman. Sedang di Tegaldowo terlepas dari kepala desanya mungkin tidak setuju, tapi masyarakat yang tolak tambang cukup banyak jadi bisa diadakan di sana.

Pada pertemuan itu tanggal dan lokasi sudah disepakati tapi untuk hal-hal lain seperti tema, dana dan panitia masih akan dibahas. Untuk persiapan acara mereka biasanya mengadakan rapat dan keputusan diambil berdasarkan kesepakatan.

Panitiane ki isa wong 10 isa wong 5 mbak. Mergo mengko ana sing ngopeni nggawe oncor, ngopeni omek pring, terus sing resik-resik, iku dadi ana kabeh. Mengko terus ana sing dadi bendahara, nglumpukno duite (Panitianya bisa 10 orang, bisa 5 orang, mbak. Karena mesti ada yang tanggung jawab membuat obor, menyiapkan bambu untuk gunungan kupatan, lalu yang bersih-bersih, jadi ada semua. Ada juga yang jadi bendahara, mengumpulkan uang)” kata Sukinah.

Kupatan sendiri sudah jadi tradisi yang dikenal di Rembang sejak lama. Sekitar satu minggu setelah Hari Raya Idulfitri, masyarakat merayakan kupatan. Mereka memasak ketupat untuk brokohan atau bancakan lalu dimakan bersama-sama.

Kupatan kendeng digagas ketika kondisi masyarakat di Pegunungan Kendeng terpecah karena kehadiran PT Semen Indonesia dan aktivitas tambangnya. Masyarakat terbagi menjadi mereka yang tolak pabrik semen dengan mereka yang pro pabrik semen. Diantara yang tolak dan pro tersebut mereka sebenarnya bertetangga, berteman bahkan ada yang bersaudara.

PT Semen Indonesia—sebelumnya bernama PT Semen Gresik—mendapat izin usaha pertambangan lewat SK Bupati pada 2010. Tahun berikutnya mendapat izin lokasi untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku dan sarana pendukung lainnya. Pada 2014 PT Semen Indonesia membuka tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Kondisi ini memunculkan protes dan penolakan dari para petani dengan menggelar aksi di Rembang, Semarang dan Jakarta. Akhirnya Presiden Jokowi memerintahkan agar dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada Agustus 2016. Hasil KLHS pada April 2017 menyimpulkan Pegunungan Kendeng berada di atas cekungan air tanah Watuputih dan tidak boleh ditambang.

Selain menggelar demonstrasi, para petani juga menggugat lewat jalur hukum. Mereka sempat kalah pada gugatan tingkat pertama dan banding. Tapi pada gugatan tingkat peninjauan kembali (PK), mereka menang atas PT Semen Indonesia. Putusan Mahkamah Agung memenangkan petani Rembang dan membatalkan izin lingkungan kegiatan penambangan karst dan pembangunan pabrik semen di Rembang pada Oktober 2016.

Baca juga: Kartini Kendeng dan Semangat Perlawanan Kartini

Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengungkapkan ketika pro dan kontra makin meruncing, mereka merasa perlu untuk merangkul. Karena pada dasarnya perpecahan di tingkat warga justru bisa melancarkan operasi pabrik semen.

“Piye carane iki ora semakin meruncing, momen apa sing kira-kira isa dinggo jalaran dulur-dulur iku merangkul. Masalahe ketika pro kontra iki semakin ora ana pendekatan, ki seko semen deweke malah soyo seneng. (Gimana caranya kondisi ini tidak makin meruncing, kegiatan apa yang sekiranya bisa dipakai untuk merangkul. Karena ketika pro kontra ini tidak diselesaikan, pabrik semen justru makin senang),” kata Gunretno.

Ketika itu Gunretno dan Eggy Yunaedi, perupa dan pegiat seni kelahiran Rembang ngobrol soal momen yang bisa dipakai. Lalu terpikir perayaan kupatan yang jadi tradisi turun-temurun di Rembang dan dikenal luas. Ketika dibahas bersama dulur-dulur lalu disepakati untuk mengadakan Kupatan Kendeng pada tanggal 5 Syawal. Satu hari sebelum masyarakat umum merayakan kupatan.

Dengan pendekatan budaya seperti ini diharapkan bisa muncul kesadaran dan pemahaman warga terhadap sikap dulur-dulur petani yang menolak pabrik semen. Ketika sikap ini disampaikan dalam situasi ketegangan bisa muncul penolakan. Karena itu lewat kegiatan Kupatan Kendeng diharapkan bisa mengurai perpecahan dan menyambungkan kembali para pihak.

Kupatan Kendeng juga jadi sarana untuk minta maaf pada sesama. Terlebih ia jadi momen untuk minta maaf pada ibu bumi yang sudah dirusak seperti yang terjadi di Pegunungan Kendeng.

“Lha nek njaluk ngapura manungsa ning manungsa wis hal yang biasa. Ning kan durung tau njaluk ngapura dene ibu bumi, intine ngono. Lha bentuk njaluk ngapura mau piye nek terus nggawe Kupatan Kendeng. (Kalau minta maaf ke sesama manusia itu hal yang biasa. Tapi kalau minta maaf ke ibu bumi, itu belum pernah, intinya begitu. Terus bentuk minta maaf ini gimana kalau kita bikin Kupatan Kendeng),” kata Sukinah.

3 Prosesi Kupatan Kendeng Sebagai Ajakan Menjaga Kelestarian Bumi

Ada 3 prosesi yang dilakukan dalam ritual Kupatan Kendeng, yaitu temon banyu beras, dono weweh kupat lan lepet, dan lamporan.

Temon banyu beras atau bertemunya beras dan air untuk dibuat ketupat jadi prosesi pembuka yang dilakukan pada malam sehari sebelum kupatan. Ibu-ibu biasanya pergi ke mata air untuk membersihkan beras yang akan dibuat ketupat. Beras untuk ketupat ini adalah hasil panen para petani. Setelah beras dicuci, ibu-ibu pulang sambil membawa air dalam buyung untuk merebus ketupat.

Ada beberapa mata air yang biasa dipakai dalam prosesi ini. Seperti sumber air Brubulan di Desa Pasucen dan Sumur Gede di Desa Tegaldowo. Kedua sumber mata air tersebut dipakai masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Keberadaan pabrik semen yang menambang batu kapur dikhawatirkan akan merusak sumber air tersebut.

“Yo nek dirusak terus yo terancam mbak. Mulane anane dikosek ning kono, iki nduduhne bahwa iki mengko nek dijarno arep bakal ilang. (Ya kalau dirusak terus [dengan aktivitas tambang] ya terancam, mbak. Makanya kita mencuci berasnya di situ, itu untuk menunjukkan kalau [tambang dan pabrik semen] dibiarkan [mata airnya] bisa rusak),” kata Sukinah.

Prosesi ini menunjukkan kita butuh air untuk merebus ketupat. Tanpa air ketupat tak bisa dimasak. Temon banyu beras melambangkan tanpa air musnahlah kehidupan. Ketupat yang terdiri dari janur, beras dan air semuanya adalah hasil bumi. Karena itu perjuangan tolak semen adalah perjuangan untuk menjaga ibu bumi yang sudah memberi penghidupan.

“Hubungane kupat dari mulai janur, dari mulai beras, dari mulai banyu iku kabeh kan hasil wulu pametune ibu bumi. Maka dengan perjuangan tolak semen ini kan yo nyelametno ibu bumi sing terus memberi penghidupan dulur-dulur nadyan ben dino, per sasat disakiti. (Ketupat itu dari mulai janur, beras, air, itu semua kan hasil bumi. Maka perjuangan tolak semen ini juga perjuangan menjaga ibu bumi yang terus memberi penghidupan pada petani. Meski tiap hari tiap saat [bumi] dirusak),” kata Gunretno.

Prosesi temon banyu beras dilakukan dalam keheningan. Ini melambangkan kesucian hati setelah menjalani puasa dan mengendalikan hawa nafsu untuk kembali ingat pada kesejatian diri sebagai manusia. Ini sekaligus ajakan menjadi manusia yang luhur, yang peduli pada ibu bumi dan bukan memikirkan urusan perut semata.   

Setelah dicuci, beras dimasukkan dalam selongsong ketupat lalu direbus dalam dandang. Butuh waktu paling tidak 4 jam untuk merebus ketupat dengan api dari kayu bakar. Setelah ketupat matang disusun jadi gunungan, ketupat diikat satu per satu dalam rangka bambu berbentuk gunungan. Jumlah gunungan yang dibuat paling sedikit 3 buah.

Gunungan ketupat ini kemudian diarak keliling desa. Inilah yang disebut dengan prosesi dono weweh kupat lan lepet. Ada yang bertugas memikul gunungan, ada juga yang bertugas membagikan ketupat beserta sayur dan lauk ke seluruh warga desa.

Di Tegaldowo dan sekitarnya ketupat biasanya ditemani oleh sayur pepaya muda atau kates yang dimasak bumbu kuning. Pohon pepaya banyak dijumpai di sana, jadi mereka tinggal memetik untuk memasaknya, tak perlu membeli. Meskipun ada olahan ayam atau telur, sayur kates ini selalu tersedia.

Dalam prosesi ini semua warga baik itu yang tolak maupun yang pro diberi ketupat, tak ada yang dibedakan. Terlebih dulur-dulur yang pro atau yang ada ketidakcocokan dengan dulur-dulur yang berjuang tolak tambang, mereka jadi prioritas untuk diberi. Karena momen Kupatan Kendeng dimaksudkan untuk merangkul mereka.

“Jadi memang kadang dipetakan dari orang-orang yang selama ini dianggap ‘tidak ada kecocokan’ dengan dulur-dulur yang berjuang, itu malah jadi prioritas untuk diberi. Karena momen Idulfitri jadi momen untuk mengurai kesalahan terkait persaudaraan. Nah momen ini dimanfaatkan dengan tulus,” ujar Gunretno.

Ketupat adalah “tanda lepat” kita sebagai manusia yang penuh kekurangan dan salah untuk minta maaf ke sesama. Kerendahan hati ini diperlukan sebagai awal untuk merangkul seluruh sedulur desa untuk bersama-sama meneruskan perjuangan penyelamatan Pegunungan Kendeng. Baik itu dari upaya perusakan sumber mata air, penambangan batu kapur, maupun alih fungsi lahan pertanian untuk pabrik semen.

Selain momen untuk saling memaafkan, Kupatan Kendeng bagi Sukinah juga sarana mengajak dulur-dulur untuk menjaga kelestarian bumi. “Terus diarak mubeng desa, intine yo karo kampanye. Awake dewe ki selain njaluk ngapura karo manungsa yo njaluko ngapura karo alam. Apa maneh situasi alam wis rusak. (Terus [gunungannya] diarak keliling desa, intinya ya sekalian kampanye. Kita ini selain minta maaf ke sesama manusia minta maaflah juga ke alam. Apalagi kondisi alam sudah rusak),” jelasnya.

Arak-arakan gunungan ketupat ini biasanya diiringi dengan barongan dan/atau barongsai. Barongan ini selalu ada, biasanya mereka menanggap pemain barongan dari Desa Tegaldowo. Kalau pemain barongsai mesti didatangkan dari kota. Barongan ini selain sebagai hiburan juga jadi daya tarik, karena mereka mesti berkeliling desa yang jaraknya cukup luas.

“Iki mau kanggo hiburane cah cilik-cilik. Iki mau ben ora bosen mlaku adoh panasen. Lha nak ana hiburane kan seneng. (Barongan ini untuk hiburan anak-anak kecil. Biar mereka tidak bosan karena harus berjalan jauh dan kepanasan),” jelas Sukinah.

Setelah diarak keliling desa, gunungan kupat kemudian ditaruh di satu titik, biasanya di lapangan atau di tempat terbuka. Di situ dulur-dulur kemudian rembugan bersama, membahas soal lingkungan. Seperti masalah valuasi ekonomi atau kerusakan Pegunungan Kendeng. Persoalan ini dipandang penting untuk terus dibahas agar orang tidak lupa.

Brokohan atau bancakan dilakukan setelah prosesi dono weweh kupat lan lepet. Brokohan adalah ritual selamatan atau syukuran, biasanya disiapkan berbagai makanan hasil bumi. Setelah doa yang dipimpin oleh sesepuh atau pemimpin agama, hidangan makanan kemudian disantap bersama. Doa biasanya menggunakan dua bahasa, Bahasa jawa dan Arab.

Lamporan adalah tradisi kuno yang dilakukan petani untuk mengusir hama. Lampor adalah hama. Jadi para petani membawa obor dan keluar rumah untuk menangkap hama. Perlu banyak obor dalam prosesi ini. Obor yang banyak menunjukkan kerukunan sekaligus pentingnya petani bersatu untuk menangkap hama atau lampor.

Bagi petani hama ini dulu jenisnya banyak, ada tikus, wereng, mbingmbing, celeng, dll. Tapi sekarang hamanya adalah pabrik semen. Pabrik semen ini jadi hama yang berbahaya karena ia tidak hanya merusak tanaman tapi juga kerukunan warga.

“Kalau pabrik semen ini tidak hanya makan tanaman dan makan tanahnya, tapi makan kerukunan. Ini menjadi tidak rukun dengan dulurnya inikan gara-gara penyakit pabrik semen itu,” ujar Gunretno.

Hama pertanian saat ini juga berupa kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan dunia pertanian. Alih fungsi lahan untuk pertambangan dan perkebunan monokultur merusak gunung dan hutan yang memiliki keanekaragaman hayati. Gunung dan hutan yang jadi penyerap air, penjaga sumber air, penghasil udara dan sumber penghidupan akan makin hilang. 

Prosesi lamporan pernah dilakukan di bukit Pisowanan, letaknya di atas Desa Tegaldowo. Pernah juga di Desa Timbrangan, di dekat area tambang. Lamporan ini bagi dulur-dulur Kendeng jadi kegiatan yang sakral. Karena itu pemilihan tempatnya biasanya di lokasi yang diyakini dulur-dulur bisa membantu spirit mereka. Jadi harapannya setelah lamporan ada spirit baru untuk semangat mereka.

Biasanya lamporan dilakukan setelah prosesi dono weweh kupat lan lepet. Tapi dari evaluasi yang dilakukan pola ini dirasa melelahkan. Jadi pernah juga pada akhirnya prosesi lamporan dibarengkan dengan temon banyu beras. Mereka menggunakan obor ketika mencuci beras dan mengambil air ke mata air.

Obor yang diarak keliling jadi lambang semangat yang terus menyala bagi upaya penyelamatan Pegunungan Kendeng.

Eling Ibu Bumi, Kupatan Kendeng 2023

Tahun ini Kupatan Kendeng mengambil tema, “Eling Ibu Bumi”. Tema ini mengajak kita semua untuk mengingat ibu bumi yang saat ini kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Ritual Kupatan Kendeng jadi makin relevan dengan makin banyaknya bencana di Pegunungan Kendeng.

Sejak November 2022 daerah Pati mengalami banjir yang menggenangi lahan pertanian hingga saat ini. Bahkan sampai Kupatan Kendeng diadakan pada Kamis (27/4), dulur-dulur Sikep di Pati belum bisa menanam.  

“Durung iso tandur. Dadi modele ketok arep asat sedengkul, ana udan satu kali ambles meneh sawahe, situasine koyo ngono. (Belum bisa menanam. Jadi kondisinya kelihatan mau surut selutut, ketika hujan sekali tanahnya amblas kembali, situasinya seperti itu,” tutur Gunretno.  

Di Rembang kondisinya tidak jauh berbeda. Aktivitas penambangan karst dan operasi pabrik semen terus berlangsung. Ancaman rusaknya sumber mata air dan lahan pertanian makin nyata.

Jika eksploitasi di Pegunungan Kendeng seluas 392,84 ha terus dilakukan, dokumen KLHS Kendeng memperhitungkan masyarakat dan lingkungan akan alami kerugian 3,2 triliun/tahun. Kondisi ini akan memburuk dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja dan PP Proyek Strategis Nasional. 

(Sumber foto: Dokumentasi JMPPK)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!