Indonesia Harus Beri Lebih Banyak Peluang Kaum Muda di Dunia Politik

Sudah waktunya bagi partai politik untuk mulai lebih serius mendorong kaum muda terjun ke dalam politik aktif. Sehingga kepentingan mereka dapat tersalurkan dengan lebih maksimal.

Salah satu fakta yang menarik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti adalah bahwa sumber suara terbesar berasal dari kaum muda (kategori usia 22-30 tahun). Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan proporsi pemilih muda pada Pemilu tahun depan bisa mencapai 55% hingga 60% dari total pemilih nasional.

Beberapa partai politik mulai mempertimbangkan strategi guna menarik antusiasme kaum muda untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, jika bicara tentang strategi politik untuk meraih suara pemilih muda, kita perlu terlebih dahulu melihat bagaimana keterlibatan mereka dalam politik aktif.

Suara dan peran kaum muda, yang mampu membawa gagasan baru disertai idealisme yang kuat. Ini diharapkan dapat menjadi angin segar di tengah carut marut dunia politik kita hari ini yang memperlihatkan rekam jejak para pejabat yang koruptif, sering pamer harta kekayaan, namun kebijakan yang tidak berdasarkan kepentingan rakyat.

Sayangnya, banyak kaum muda masih sulit mendapatkan akses politik, termasuk terlibat aktif dalam partai politik dan terjun langsung merumuskan kebijakan.

Akibatnya, kepercayaan kaum muda terhadap situasi dan pelaku politik makin terkikis. Para pemilih muda pun banyak menjadi golongan putih (golput), dengan alasan tidak ada lagi yang layak untuk dipilih.

Jelang Pemilu 2024, pembuat kebijakan dan partai politik perlu menerapkan strategi dan regulasi yang bisa membuka ruang selebar-lebarnya bagi kaum muda untuk bisa langsung terlibat dalam politik aktif atau, singkatnya, untuk menjadi caleg dan maju di kontestasi politik.

Kita tentu berharap kaum muda tidak hanya menjadi pemilih, melainkan terlibat juga dalam kontes politik 2024. Sehingga, ke depannya, mereka dapat merumuskan suara baru di parlemen dan memberikan solusi dari berbagai masalah yang terjadi hari ini.

Masalah representasi kaum muda

Representasi kaum muda di parlemen masih terbilang sedikit. Dari total 575 anggota DPR RI periode 2019-2024, hanya ada 20 orang yang berusia di bawah 30 tahun. Jumlah ini bahkan turun dibanding periode 2014-2019 yang mencapai 92 orang dari total 560 anggota dewan.

Rendahnya jumlah representasi muda di lembaga legislatif diakibatkan oleh masalah yang ada di sistem politik kita. Salah satu masalah utama yang paling signifikan adalah biaya atau ongkos politik yang mahal untuk dapat bertarung dalam kontestasi politik.

Mengingat rekam jejak mereka yang belum panjang di kancah politik, kaum muda jelas akan menghadapi hambatan terkait mahar politik untuk bisa mendapatkan partai yang mau menyokong mereka, membiayai tim pemenangan, dan membiayai kampanye yang kini tidak cukup hanya dengan turun ke lapangan tapi juga butuh strategi kampanye melalui media sosial, hingga membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

Dengan adanya hambatan tersebut, tidak jarang kaum muda yang hari ini mampu terjun langsung ke dalam politik aktif – termasuk menjadi anggota DPR periode 2019-2024 – adalah mereka yang memiliki banyak uang atau berasal dari dinasti politik keluarga.

Setidaknya ada 10 politikus muda DPR RI periode 2019-2024 yang, berdasarkan penelusuran latar belakang, memiliki orang tua atau berasal dari keluarga yang sudah memiliki rekam jejak panjang di panggung politik Indonesia.

Salah satunya adalah Puteri Anetta Komarudin (berusia 26 tahun saat terpilih) yang merupakan anak dari Ade Komarudin, mantan Ketua DPR RI dan politikus senior Partai Golkar. Contoh lainnya adalah Hillary Brigitta Lasut (berusia 23 tahun saat terpilih), putri dari pasangan Elly Engelbert Lasut (saat ini menjabat Bupati Kepulauan Talaud) dan Telly Tjanggulung (mantan Bupati Minahasa Tenggara).

Hal ini tentu bukan sesuatu yang salah. Tapi, menurut saya, kerap kali mereka membawa gagasan yang tak sepenuhnya baru atau hanya mengulang pendahulunya. Beberapa kaum muda yang idealis, pada akhirnya kerap kalah dengan mereka yang punya sumber daya finansial besar untuk meraih suara tinggi di masyarakat.

Terlepas dari sulit dan rumitnya proses itu, memang ada juga kaum muda yang terus berjuang dengan visi yang jelas dan mendapat dukungan partai tertentu.

Butuh upaya yang sistematis dalam mendorong hadirnya kaum muda untuk bertarung di gelanggang yang adil dan bermartabat.

Butuh langkah serius

Sudah waktunya bagi partai politik untuk mulai lebih serius mendorong kaum muda terjun ke dalam politik aktif.

Anne Phillips, profesor teori politik asal Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “The Politics of Presence” menjelaskan bahwa penting untuk menghadirkan representasi secara acak dalam memperlihatkan keragaman kelompok masyarakat. Ini termasuk representasi kaum muda, sehingga kepentingan mereka dapat tersalurkan dengan lebih maksimal.

Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga hal yang dapat kita rumuskan terlebih dahulu.

Pertama, pemerintah dan pembuat kebijakan perlu membuat aturan yang menjelaskan detail terkait representasi kaum muda di dalam politik – seperti halnya aturan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.

Berbagai studi telah membuktikan bahwa kaum muda dapat memberikan gagasan yang matang dan melaksanakan proyek atau kegiatan sosial dengan baik dan berdampak luas. Oleh karenanya, untuk bisa mendengar suara kaum muda dengan “lebih jelas”, maka mereka harus diberi ruang seluas-luasnya.

Jika tidak, maka representasi mereka di parlemen tidak akan maksimal. Ini karena secara psikologis, masih banyak masyarakat yang cenderung meremehkan usia muda dan menganganggapnya belum berpengalaman dalam politik dan pemerintahan.

Kedua, setelah langkah pertama terlaksana, partai politik perlu membuka ruang untuk menerima dan menyediakan tempat khusus bagi kaum muda.

Langkah kedua ini berfokus pada upaya tiap partai untuk secara mandiri merancang dan menghadirkan kelompok kaum muda yang siap untuk terlibat aktif dalam dunia politik. Diharapkan, secara serius partai menghadirkan tokoh kaum muda yang mewakili aspirasi kelompok yang sebenarnya.

Ini setidaknya dapat menjadi pintu untuk kaum muda terlibat pengalaman langsung dalam memahami kondisi politik yang terjadi.

Ketiga, pemerintah, partai, dan sejumlah pihak terkait dapat menciptakan ruang untuk penguatan kapasitas dan pelatihan secara menyeluruh dalam mempersiapkan kaum muda untuk memahami dengan baik berbagai aspek yang akan dihadapi nantinya.

Misalnya, ini bisa berbentuk pelatihan keterampilan untuk merumuskan visi misi yang tepat sasaran, keterampilan analisis sosial, dan berbagai kemampuan lainnya yang relevan untuk dimiliki seorang politikus muda.

Meski demikian, strategi apapun yang akan digunakan jangan sampai partai politik memperlakukan kaum muda sebagai subyek yang seakan perlu “dibimbing” politikus senior agar mampu mencapai visi tertentu. Mereka justru harus diperlakukan secara egaliter dan aspirasinya harus benar-benar dijembatani. Jangan sampai kita melanggengkan perilaku paternalistik (mentalitas ‘sok menggurui’ kaum muda).

Menghadapi pemilu 2024, publik tentu berharap ada angin segar yang mampu menghidupkan demokrasi dengan cara yang baru. Mulai dari pemilu 2024, kita perlu memberi ruang dan kesempatan yang selebar-lebarnya pada kaum muda untuk mampu terlibat aktif.

Tiga langkah yang saya sebutkan di atas masih sebatas gambaran umum. Partai politik memiliki tugas besar untuk merumuskan hal ini secara lebih detail dan terstruktur.

Sebagaimana pesan salah seorang penulis sekaligus aktivis sosial asal Kanada, Naomi Klein, bahwa “Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih; itu adalah hak untuk hidup bermartabat.

Di tangan kaum muda, kita patut menaruh harapan setinggi-tingginya.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber

BACA JUGA:

Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Wawan Kurniawan

Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!