Mpu Uteun, Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan.

Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Pada 2018, ditemukan 2.418 kasus pembalakan liar di Aceh.

Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu.

Di sinilah kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Sejumlah perempuan membentuk kelompok ini sejak 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Penelitian kami (masih dalam proses peninjauan) secara khusus membahas Mpu Uteun sebagai kelompok perempuan penjaga hutan pertama di Aceh. Kami menganggap kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh.

Mpu Uteun melawan dominasi laki-laki

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.

Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.

Dalam konteks Mpu Uteun, aspek feminisme muncul dalam peran kelompok ini untuk melindungi hutan. Mereka menyadari kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kesadaran ini memicu anggota Mpu Uteun melakukan patroli hutan.

Di Aceh, kegiatan menjaga hutan lazim dilakukan laki-laki. Hal ini berangkat dari budaya patriarki bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pengampuan hutan secara tidak langsung menjadi tugas mereka. Sementara, perempuan dianggap hanya cukup mengurus rumah tangga.

Karena itulah Mpu Uteun berdiri untuk ‘melawan’. Pendiri Mpu Uteun, Sumini, menyatakan bahwa perempuan turut merasa gusar terhadap perusakan alam dan berhak mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, upaya perlawanan ini tidak mudah. Anggota Mpu Uteun pada awalnya mendapatkan stigma sebagai perempuan tidak bermoral dari warga sekitar. Beberapa orang pun mencibir usaha mereka karena menganggap hutan bukanlah urusan perempuan.

Namun, perlahan-lahan, upaya mereka berbuah manis. Banyak orang, termasuk laki-laki eks penebang liar ataupun pemburu trenggiling, yang ‘menebus dosa’ dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Anggota Mpu Uteun saat patroli hutan. (HAkA)

Aktivitas Mpu Uteun pun diakui oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan desa kepada mereka. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan Mpu Uteun inilah, menurut kami, yang membuat gerakan mereka sesuai dengan aspek kedua ekofeminisme.

Sementara, Mpu Uteun jelas memenuhi aspek ketiga dalam ekofeminisme yaitu pengetahuan lokal. Para perempuan pendirinya bukan berasal dari kabupaten ataupun provinsi luar Aceh. Mereka adalah perempuan desa setempat yang menggantungkan hidup pada hutan. Upaya perlindungan hutan pun mereka mulai berdasarkan perspektif warga terhadap alam yang sudah ada turun-temurun.

Inilah sebabnya mengapa gerakan Mpu Uteun diamini oleh masyarakat setempat. Kelompok ini mendasarkan pencarian solusi dari perspektif masyarakat lokal, atas masalah lingkungan yang mereka alami sehari-hari.

Pengutamaan perempuan dalam pengelolaan hutan

Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, perempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah situasi ini. Perempuan harus terlibat secara memadai dan berarti sejak tahap perencanaan pengelolaan sektor hutan dan lahan. Program ataupun kebijakan yang mengecilkan perempuan justru berisiko tak efektif atau bahkan berdampak lebih buruk terhadap kaum hawa.

Langkah praktis dapat dimulai dengan pemakaian perspektif ekofeminisme dalam perencanaan program ataupun kebijakan, misalnya dengan pelibatan perempuan setempat dalam perencanaan pengelolaan hutan di suatu daerah. Harapannya, suara perempuan bisa lebih didengarkan, terutama yang berasal dari komunitas lokal dan merasakan dampak langsung kerusakan hutan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Karina Utami Dewi dan Masitoh Nur Rohma

Assistant Professor in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!