Ngobrol Bareng Pengamat Film: Bias Gender Masih Jadi Tantangan Film Horor

Konde.co ngobrol bareng Pengamat Film dan Budaya Populer Hikmat Darmawan soal film horor yang kini (kembali) jadi tren. Ia memotret soal fenomena global sampai tantangan bias-bias termasuk bias gender yang ada di film horor.

Kamu lagi pengen nonton di bioskop? Tapi masih bingung mau nonton apaan? Bioskop lagi banyak film horor, nih. 

Beberapa waktu ini, ada banyak film horor yang lagi rame. Kayak Evil Dead Rise, Kajiman, Sewu Dino, dan Hello Ghost yang lagi tayang. Nah, yang tunggu giliran untuk tayang ada Jin Khodam, Kutukan Sembilan Setan, dan Spirit Doll.

Kalau dilihat-lihat, filmmaker lagi pada senang bikin film horor kali, ya. Data jumlah penonton film Indonesia, horor termasuk genre yang disukai masyarakat selain komedi dan drama. KKN di Desa Penari (2022) misalnya, tercatat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan jumlah penonton lebih dari 9 juta orang.

Sebenarnya apa yang menyebabkan fenomena ini? Konde.co berbincang dengan Pengamat Film dan Budaya Populer, Hikmat Darmawan, mengupas soal ini. Yuk, simak!

Horor Makin Diminati, Bagian Dari Fenomena Global

Fenomena maraknya film horor dalam pandangan Hikmat bukan hanya spesifik terjadi di Indonesia tapi juga bagian dari fenomena global. 

Menurutnya ada dua aspek yang menyebabkan fenomena ini. Pertama, secara global sebagai sebuah genre horor mengalami kebangkitan baik sebagai ekspresi artistik maupun sebagai pasar.

Di Asia misalnya, sejak awal 2000-an, Korea Selatan, Thailand dan Jepang dikenal sebagai centre of new horror. Termasuk juga Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara. Tapi saat ini posisinya makin melebar, kita bisa lihat di Turki, Malaysia, atau Mesir misalnya. Jadi negara-negara yang secara tradisional bukan penghasil film horor terkenal, saat ini banyak muncul film horor di sana.

Di Hollywood sendiri ada tren elevated horror. Artinya, horor naik mutunya atau naik kelas. Ini istilah yang menurut Hikmat kurang tepat. Sebab dalam sejarah, film horor itu artistik. 

Baca Juga: In The Name of God: A Holy Betrayal, Perkosaan Dan Kekerasan Dari Yang Mengaku “Juru Selamat”

Kita bisa lihat pada awal abad ke-20 di era George Melies atau di tahun 1930-an ada Nosferatu, Dr Jekyll and Mr Hyde, The Cabinet of Dr Caligari, misalnya. Jadi setiap dekade memunculkan elevated horror-nya sendiri.

Karena itu keberadaan rumah produksi A24 di Hollywood yang menghasilkan sutradara Ari Aster dan disebut sebagai elevated horror, sebenarnya bukan hal baru. Dalam pandangan Hikmat yang terjadi sekarang adalah genre horor menemukan pasar yang lebih luas. Kalau tadinya genre horor secara global sangat niche, jarang ada yang blockbuster, sekarang mulai muncul yang pasarnya lebih besar di Amerika.

Istilah blockbuster ini, biasanya disematkan pada film dengan penghasilan lebih dari USD 100 juta. Tapi belakangan, sering diartikan sebagai film dengan biaya tinggi yang dibintangi oleh aktor dan aktris populer. Makanya, film ini diminati oleh banyak orang meski belum resmi tayang di bioskop.  

Di Indonesia sendiri trennya juga mengarah ke sana. Artinya horor sebagai genre pasarnya makin lama makin solid. Meskipun dari dulu horor selalu punya pasar tapi untuk jadi blockbuster ada beberapa tahap. Tahun 2000 Jailangkung menjadi salah satu film yang menandai kebangkitan film Indonesia. Kemudian muncullah horor Asia. Film Joko Anwar menjadi cult dan dipuji sebagai salah satu horor terbaik Asia. 

“Jadi elevated market maupun elevated movie dari genre horor ini terjadi di Indonesia, tapi itu bagian dari gejala global,” kata Hikmat.

Baca juga: Sewu Dino: Horor Jawa yang Menegangkan

Kedua, struktur pasar Indonesia masih tunggal. Sebenarnya di seluruh dunia juga sedang menghadapi masalah serupa. Di Hollywood misalnya, pasarnya didominasi genre superhero seperti Marvel Cinematic Universe (MCU) dan DC Universe (DCU). Sehingga genre yang lain agak kesulitan untuk masuk dan membuat pasar jadi beragam. 

Meski begitu, horor bisa naik walaupun belum sampai jadi blockbuster. Film blockbuster biasanya dibikin dengan biaya di atas USD 100 juta  dan diharapkan penghasilannya di atas USD 300 juta, bahkan milyaran.

Menurut Hikmat, Indonesia saat ini pasarnya tunggal, padahal harusnya majemuk. Sehingga ketika blockbuster-nya film horor, filmmaker yang lain akan ikut bikin film horor. Begitu juga kalau blockbuster-nya film inspiratif religius, semua akan ikut ke sana.

Kondisi ini dalam pandangan Hikmat disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya kebijakan slot atau jatah tayang yang hanya memberi tempat pada blockbuster. Akibatnya film yang beragam harus dikorbankan. Kedua, ada kecenderungan latah. Kalau satu genre laku, semua akan mengikuti. Jadi kalau film horor lagi laku maka semua akan bikin produksi serupa.

Kecenderungan Membangun Pasar Tunggal

Hikmat melihat sejak tahun 1980-an Indonesia punya tradisi horor yang dekat sekali dengan masyarakat. Tapi selain horor, tradisi humor atau komedi dan drama juga dekat dengan masyarakat dan diproduksi juga. Jadi masing-masing genre punya ceruk dan distribusinya sendiri. Yang terjadi sekarang, pasarnya jadi satu.

Ada kecenderungan baik kreator maupun jejaring bioskopnya mencari aman, dengan mengambil risiko paling minimal. “Semua mikirnya jalan pintas saja, udah dilatahin aja, mana yang laku itu yang dikejar,” ujar Hikmat. 

Ia mengkritisi kecenderungan kreator film yang punya cara pandang untuk membangun pasar tunggal. Yakni dengan mengejar penonton diatas 4 atau 5 juta orang. Padahal film yang ditonton 500 ribu orang kalau produksinya murah sebenarnya bisa tetap untung, margin yang didapat juga besar.

Hikmat mencontohkan film-film horor yang berasal dari Universe Danur. Produksinya hingga sekarang sudah mencapai 9 film dan semuanya rata-rata punya jumlah penonton yang bagus. 

Penonton yang bagus ini tidak harus ditonton sebanyak 5 juta orang. Tapi, jika pun penontonnya 1,5 juta orang tapi sudah memproduksi 9 film. Ini artinya, pasar dia cukup bagus. 

Menyoal ini, Hikmat berpendapat, harus ada pasar bagi film-film tengah ke bawah. Film yang ditonton 500 ribu atau 1 juta penonton sudah dapat keuntungan.

Baca juga: Impresi Feminis: Kuntilanak Disimbolkan Sebagai Setan Betina dalam Film Horor Indonesia

Untuk mengatasi pasar tunggal ini memang butuh kerja semua pihak. Pemerintah punya peran strategis untuk mengakomodasi terbangunnya sistem distribusi yang majemuk. Perlu juga ada kebijakan semacam insentif bagi adanya ruang putar yang makin menyebar sehingga kota-kota kecil dijangkau. Sementara sekarang, bioskop hanya ada di kota besar saja khususnya Jabodetabek dan biasanya di mall.

Tahun 1980-an tercatat Indonesia punya 6.600 layar. Di atas kertas itu artinya seluruh kabupaten di Indonesia punya bioskop. Sementara jalur distribusinya A, B, C. 

Ketika itu film tidak harus diputar di Djakarta Theatre atau Garden Hall dulu. Tapi bisa langsung masuk ke kelas VIP atau kelas B, atau langsung beredar di kota-kota kecil. Selain itu masa edarnya juga panjang. Contohnya saja, film yang di kelas A bisa beredar di kelas C selama satu atau dua tahun.

Itu bisa terjadi kalau ada layarnya dulu, artinya infrastrukturnya harus tersedia. 

Baca Juga: Suksesnya Film Lokal Indonesia dan Malaysia, Gimana Nasib Streaming, Netflix dan HBO?

Sayangnya, saat ini kondisinya cukup kompleks. Hikmat mencontohkan sesudah reformasi ada pengusaha bioskop yang membuka bioskop di salah satu kota di Jawa Barat, tapi didemo ormas berbasis agama. Akhirnya bioskop itu dibiarkan ditutup. 

Menghindari hal yang seperti itu, menurutnya perlu ada strategi kebudayaan. Selain itu sebagaimana semua jenis seni seharusnya ada lintas sektoral baik dari pemerintah maupun dari pengusaha.

“Jadi kita memang harus membangun jalur distribusi yang majemuk dan menjangkau semua masyarakat. Lalu bioskopnya juga punya kebijakan slot yang majemuk. Rumah produksi dan kreatornya juga jangan latah,” kata Hikmat.

Ideologi Patriarki Pengaruhi Representasi Perempuan dalam Film Horor

Hal penting yang jadi catatan dari film horor adalah kecenderungan film-film horor yang menempatkan perempuan sebagai sosok hantu atau sumber horor. Seperti diungkap dalam penelitian Annissa Winda Larasati dan Justito Adiprasetio tentang ketimpangan representasi hantu perempuan pada film horor Indonesia periode 1970-2019.

Riset ini menganalisis 559 film horor Indonesia yang diproduksi sepanjang 1970 hingga 2019. Tercatat sebanyak 60,47% atau 338 film menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Sisanya sebanyak 135 film (24,15%) menghadirkan sosok laki-laki sebagai hantu utama. Sedang 86 film (15,38%) menghadirkan sosok perempuan dan laki-laki sebagai hantu utama.

Dalam pandangan Hikmat kecenderungan seperti ini juga ada di negara lain. Sebagai perbandingan misalnya di western movie sosok perempuan sering dilekatkan dengan penyihir dan ini punya sejarah yang panjang. Ketika Judeo-Christian mendominasi, ideologi patriarki menjadi bagian dari agama baru ini. Sementara, agama-agama antik dari zaman sebelumnya yang disebut sebagai magic, menempatkan perempuan sebagai pendetanya.

Sosok perempuan cukup dominan ketika itu. Namun, pada abad pertengahan ketika doktrin Judeo-Christian mulai mendominasi Barat, maka perempuan dikaitkan dengan sihir dan diperkusi. Keberadaan god ancient rite, ritus-ritus kuno, tuhan-tuhan kuno dianggap sebagai monster bagi filosofi atau peradaban Judeo-Christian modern. Ini muncul dalam mitologi dan kemudian masuk ke cerita-cerita populer entah itu sastra atau film.

Baca Juga: Film ‘Autobiography’: Politik Sunyi dalam Teror Patriarki 

Menurut Hikmat, di Asia, kalau kita lihat di Jepang misalnya, juga menunjukkan hal yang sama. Sosok perempuan sebagai korban kekerasan laki-laki lalu mendendam sering kali menjadi mitologi yang mencerminkan ketakutan masyarakat yang didominasi laki-laki terhadap sosok perempuan yang kuat.

Di Nusantara Hikmat menjelaskan kita mengenal sosok Nyi Roro Kidul, dia ditakuti tapi juga sekaligus dihormati. Lalu ada sosok Dewi Sri, bidadari yang menjadi sumber berkah. Tapi pada saat yang sama ada juga kuntilanak, biasanya adalah korban kekerasan semasa hidup atau arwah penasaran yang mendendam. Jadi dendam sering kali dilekatkan dengan sosok perempuan monster. Banyak film-film kita yang mereproduksi mitos atau anggapan tersebut.

Perempuan juga kata Hikmat, masih dianggap sebagai sumber kekerasan. Ini merupakan gabungan dari ideologi patriarki yang memandang sosok perempuan kuat sebagai masalah atau ancaman. Dan kedua warisan tradisi yang menggambarkan wanita sakti sebagai sebuah ancaman juga, seperti Calon Arang misalnya.

Di sisi lain, Hikmat pun mencermati walaupun cerminan dari mitos patriarkis tadi, ketakutan terhadap sosok perempuan kuat, tapi selalu ada semacam perlawanan terhadap ketidakadilan. Dengan kata lain, sosok perempuan kuatnya bercampur atau mix. Seperti Suzanna dalam film-filmnya yang menggambarkan pembalasan dari perempuan yang diperkosa, difitnah atau dibunuh, dsb.

Hanya saja sekarang alih-alih makin meningkat kesadaran ideologinya, justru cenderung sebatas mereproduksi. Seperti misalnya film-film Joko Anwar dengan karakter perempuannya sebagai sumber kekerasan yang dihukum atau dimatikan.

Baca Juga: 3 Film Bertemakan Perempuan Mencari Keadilan: Kalau Kamu Suka ‘The Glory

Hal lain yang juga menjadi sorotan Hikmat adalah di samping perempuan, filmmaker sekarang juga cenderung melihat tradisi sebagai sumber horor. Ini terkait dengan ciri film horor saat ini yang lebih urban karena pembuat filmnya juga urban, sesuai dengan sosiologinya.

Ia mencontohkan film KKN di Desa Penari dimana gamelan dianggap horor. Rumah tua bukan dipandang sebagai kaya dengan cerita historis, tapi dianggap sebagai sumber horor. Begitu juga desa dan hutan, alih-alih dianggap sebagai sumber berkah dan kearifan, justru dianggap sebagai sumber kekerasan, dengan korbannya orang kota. Dan orang kota juga yang menjadi pahlawan.

“Desa, tradisi, termasuk musik, tari, dan adat gitu ya dan satu lagi perempuan itu masih dilihat sebagai sumber horor. Ini yang masih perlu dibongkar,” kata Hikmat.

Ia melihat sineas-sineas muda sudah bisa kritis terhadap sumber mitos. Meski begitu tetap perlu didorong juga dengan upaya agar pasar tidak tunggal.

Hikmat memberikan contoh sudut pandang yang lain, meski bukan dari genre horor tapi komedi. Pada film Mekah I’m Coming, digambarkan orang desa yang punya masalah, tapi yang menyelesaikan masalah itu orang desa juga. Sementara, orang kota dianggap sebagai masalah karena datang sebagai biro haji dan menipu. Jadi orang kota yang bawa masalah ke orang desa. 

Gambaran semacam ini menurut Hikmat harus lebih banyak terjadi di genre yang lain termasuk horor.

(Foto: Facebook)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!