Keterwailan Perempuan Revisi Aturan KPU

Aktivis: KPU Tak Wajib Tunduk pada DPR Untuk 30 Persen Suara Perempuan

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengingatkan KPU agar tidak tersandera kepentingan partai politik setelah Komisi II DPR menolak rencana perubahan ketentuan perhitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada minggu ini melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait rencana merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang mengatur pembulatan ke bawah, jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima kepada Komisi II DPR.

Namun, dalam rapat dengar pendapat itu Komisi II justru meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU tersebut. Menurutnya pasal-pasal yang dalam dalam aturan itu telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebelumnya sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023, aturan tentang keterwakilan perempuan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, UU Pemilu dan semangat memastikan keterwakilan perempuan.

Aturan kontroversial KPU ini dinilai berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024 dan dinilai tak selaras dengan Pasal 245, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.

BACA JUGA:

Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

KPU Diminta Tak Tunduk pada Desakan

Titi Anggraini dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang juga anggota Dewan Pembina Perludem mengatakan KPU tidak wajib tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan pemerintah yang meminta tidak merevisi pasal 8 ayat 2 PKPU 10/2023. Pasalnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU/XIV/2016 menyatakan bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat.

Dia mengingatkan KPU agar tidak tersandera kepentingan partai politik setelah badan itu menolak rencana perubahan ketentuan perhitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan.

“Namanya meminta itu bergantung penuh kepada keputusan dan sikap KPU. KPU kan bisa menolak, bisa menerima karena KPU lembaga yang mandiri, tetapi mestinya KPU kembali pada komitmen publiknya yang menyatakan akan melakukan revisi PKPU 10 Tahun 2023,” ujar Titi kepada VOA.

Menurut Titi, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan saat ini sedang menyiapkan naskah judicial review atau uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Selain itu pihaknya, lanjutnya, sedang menyiapkan dokumen pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tidak dilakukannya revisi merupakan bentuk sikap tidak jujur dan tidak profesional.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terdiri dari beberapa organisasi perempuan, seperti : Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI .

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan aturan KPU tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran. Hal itu terbukti dengan keberadaan 18 partai politik yang memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun komisinya, lanjut Doli, keterwakilan perempuan di partai politik sebagai caleg saat ini sudah di atas 30 persen.

“Saya total jumlah bakal calon legislatif perempuan dari seluruh partai itu kalau ditotalin jumlahnya 37,6 persen, itu sudah jauh di atas 30 persen. Artinya PKPU tidak membuat masalah baru atau tidak memunculkan kekhawatiran seperti yang disampaikan oleh saudara-saudara kita koalisi perempuan,” ujar Doli

Atas pernyataan itu, Titi juga mendesak KPU untuk segera mempublikasikan data terkait pencapaian keterwakilan secara transparan, perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon legislatif dari daftar bakal calon anggota legislatif yang telah diajukan oleh partai politik untuk memastikan apakah semua partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut di semua daerah pemilihan.

Selain itu, KPU harus melaksanakan prinsip profesional, transparan dan akuntabel melakukan perbaikan terhadap sistem teknologi informasi pencalonan (SILON) dan memberi akses informasi kepada Bawaslu dan masyarakat melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada SILON.

Sementara itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari enggan berkomentar terkait revisi peraturan KPU tersebut.

Sebelumnya KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat melakukan revisi terhadap Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Khususnya revisi Pasal 8, ayat 2 soal penghitungan syarat keterwakilan perempuan.

KPU setuju untuk segera merevisi pasal 8 ayat 2 aturan tersebut, dengan mengubah penghitungan pembulatan ke bawah untuk caleg perempuan menjadi pembulatan ke atas seperti peraturan sebelumnya.

Artikel ini terbit pertama kali di VOA Indonesia. Baca artikel sumber.

Fathiyah Wardah

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!