terlapor tersangka terdakwa

Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Seringkali kita masih bingung soal perbedaan terlapor, tersangka, terdakwa dan terpidana dalam proses hukum. Jangan sampai salah menyebut. Simak penjelasan ini!

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya

Perkenalkan, saya Purwanti (20 tahun) mahasiswi di Jakarta. Saya ingin mengetahui perbedaan dan pengertian dari istilah ‘terlapor’, ‘tersangka’, ‘terdakwa’, dan ‘terpidana’. Keingintahuan saya ini berangkat dari kasus ayah saya yang mendapatkan surat panggilan polisi atas laporan rekan kerjanya tentang fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan. Masalah ini terjadi setelah ayah dan rekan kerjanya tersebut berdebat soal pilihan politik dan calon presiden, lalu jadi bertengkar. Kronologis lengkapnya saya kurang tahu. Namun panggilan polisi ini membuat kami sekeluarga panik, terutama ibu yang ketakutan secara psikis (depresi) mengingat ayah adalah pencari nafkah utama.

Semoga Klinik Hukum bagi Perempuan dapat memberikan penjelasan sehingga saya memahami posisi hukum ayah, dan dapat mencari bantuan hukum. Keluarga sih berharap dapat diselesaikan secara damai. Terima kasih.    

Ulasan:

Terima kasih Purwanti sudah menghubungi kami. Perkenalkan, saya Sri Agustini, salah satu pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan. Saya akan memberikan penjelasan mengenai perbedaan dan pengertian dari istilah Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana. Semoga penjelasan yang akan saya uraikan dapat membantu kamu untuk mencari bantuan hukum dalam penyelesaian masalah ayah dan rekan kerjanya. Jika ditelaah dari pokok perkaranya, ini merupakan delik aduan. Artinya, proses penyelesaian dapat diselesaikan melalui perdamaian baik secara kekeluargaan maupun di tingkat kepolisian. 

Istilah Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, merupakan istilah yang dikenal di dalam lingkup hukum pidana. Istilah terlapor, tersangka, terdakwa, dan terpidana ini muncul setelah adanya suatu laporan/aduan atas terjadinya peristiwa pidana kepada pihak kepolisian. 

Adapun yang dimaksud dengan laporan / aduan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang, kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Perihal laporan ini diatur dalam Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Di dalam KUHAP dijelaskan bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilalui secara sistematis setelah adanya laporan ke kepolisian. Tahapan tersebut hingga perkara diproses melalui rangkaian penyelidikan dan penangkapan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan. Kemudian dilakukan pemeriksaan perkara oleh pengadilan. Hal itu lalu melahirkan terminologi berbeda untuk menyebut pihak yang menjadi subjek hukum. Dalam hal ini, orang yang dilaporkan atas dugaan tindak pidana. Mulai dari istilah terlapor, tersangka, terdakwa, hingga terpidana. 

Berikut saya uraikan mengenai perbedaan dan pengertian dari istilah terlapor, tersangka, terdakwa, dan terpidana.

1.     Terlapor

Terlapor adalah orang yang dilaporkan ke pihak kepolisian oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang. Dalam laporan tersebut terlapor diduga melakukan perbuatan atau tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP. 

Selanjutnya terlapor akan dipanggil sebagai saksi terlebih dahulu. Kecuali penyidik telah menemukan bukti yang menyatakan bahwa seseorang patut diduga sebagai tersangka, maka penyidik akan langsung melakukan penangkapan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) KUHAP. 

Pemanggilan terhadap orang yang dilaporkan untuk diperiksa, dilakukan melalui surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seseorang itu diharuskan memenuhi panggilan (Pasal 112 ayat (1) KUHAP).

Tenggang waktu dan tata cara pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP secara umum diatur dalam Pasal 227 dan Pasal 228 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 227
  1. Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir;
  2. Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda-tangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya;
  3. Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
Pasal 228

Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa orang yang dipanggil oleh penyidik, wajib datang, apabila ia tidak datang, maka penyidik akan memanggil sekali. Jika terlapor yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik akan datang ke tempat kediaman terlapor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 113 KUHAP. 

Dalam hal terlapor yang harus didengar keterangannya bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan. Maka pemeriksaan terhadap terlapor dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal terlapor sebagaimana (Pasal 119 KUHAP). 

Apabila terlapor tidak menghiraukan panggilan dari penyidik, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 224 KUHP dapat diancam dengan pidana penjara dengan ketentuan berikut:

“Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1.     dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2.     dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”

2.     Tersangka

Seorang terlapor dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila karena perbuatannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP dengan penjelasan sebagai berikut:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Mengenai bukti permulaan yang cukup, mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni minimal adanya atau ditemukan 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.

Adapun yang dimaksud dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:

1.     keterangan saksi 

2.     keterangan ahli

3.     surat

4.     petunjuk

5.     keterangan terdakwa 

Alat bukti permulaan yang cukup ini diperoleh dari proses pemeriksaan di kepolisian berdasarkan Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana), yakni seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti. 

Pemeriksaan Tersangka selain diatur dalam KUHAP, dan juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) yang tentang Pembinaan Profesi pada bab V. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 7/2006) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 8/2009).

Di dalam proses pemeriksaan penyidik berwenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka karena berbagai alasan subjektif dan objektif yang diatur dalam Pasal 21 KUHAP. 

Baca Juga: Suami KDRT, Bisakah Saya Gugat Cerai dan Tuntut Harta Bersama?

Alasan yang bersifat subjektif itu jika tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan mengulangi perbuatan pidana yang disangkakannya (Pasal 21 Ayat (1) KUHAP). 

Sedangkan, alasan penahanan yang bersifat objektif: didasarkan pada jenis tindak pidana apa yang dapat dikenakan penahanan. Dari alasan objektif ini jelas bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan yaitu tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 tahun ke atas (Pasal 21 Ayat (4) KUHAP).

Hal lainnya yang penting untuk diperhatikan terhadap tersangka, KUHAP juga mengatur mengenai hak-hak tersangka / terdakwa secara umum:

1)    Mendapat penjelasan mengenai hal yang disangkakan kepadanya. 

2)    Memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. 

3)    Mendapat juru bahasa. 

4)    Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum dan memilih sendiri penasihat hukumnya. 

5)    Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian apabila ditangkap, atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sedangkan rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Baca Juga: Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini

6)    Tidak dibebani kewajiban pembuktian. 

Sedangkan secara khusus, berdasarkan proses-proses dalam hukum acara pidana, tersangka / terdakwa juga memiliki hak dalam setiap proses hukumnya. Baik itu dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga proses pemeriksaan di tingkat pengadilan.

Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses penangkapan:

1) Tidak ditangkap secara sewenang-wenang. 

2) Ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan (petugas kepolisian). dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang 

3)  Meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah. 

4) Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan. 

5) Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. 

6) Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari. 

Baca Juga: Dear Pemberi Kerja, Pekerja Informal Juga Harus Dapat THR

Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses penangkapan penahanan:

1) Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka / terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan / didakwakan, serta tempat ia ditahan. 

2) Diberitahukan tentang penahanan atas dirinya kepada keluarga atau orang yang serumah dengan tersangka / terdakwa, atau orang lain yang dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya. 

3) Menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga atau pihak lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum. 

4) Menghubungi penasihat hukum. 

5) Menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga dalam hal yang tidak berhubungan dengan perkara, untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan, baik secara langsung maupun melalui perantara penasihat hukumnya. 

6) Menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan. 

7) Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak. 

8)  Mengirim dan menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga. 

9)  Meminta penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang/atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan, seperti wajib lapor, tidak keluar rumah/kota. 

10) Meminta ganti kerugian atas tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan yang tidak sah. 

Baca Juga: Saya Mengalami KDRT Karena Coming Out Orientasi Seksual

Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses penggeledahan:

1) Dilakukan berdasarkan izin surat izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak. 

2) Dalam memasuki rumah penyidik harus disaksikan 2 orang saksi, jika tersangka/terdakwa menyetujuinya. Jika tersangka / penghuni menolak / tidak hadir, harus disaksikan kepala desa/ketua lingkungan dengan 2 saksi. 

3) Pemilik / penghuni rumah memperoleh turunan berita acara penggeledahan dalam waktu 2 hari setelah penyidik memasuki atau menggeledah rumah. 

3.     Terdakwa

Berdasarkan Pasal 1 butir 15 KUHAP, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Seorang tersangka dapat ditetapkan menjadi terdakwa berdasarkan bukti yang cukup. Oleh karena itu, seorang tersangka yang sedang menjalani proses persidangan di pengadilan disebut sebagai terdakwa.

Pada tingkat pengadilan, yang menjadi hak-hak dari terdakwa adalah meminta segera diajukan dan diadili perkaranya oleh pengadilan, diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, memberikan keterangan secara bebas kepada hakim, mendapat bantuan hukum dari seseorang/lebih penasihat hukum dan memilih sendiri penasihat hukumnya. 

Selain itu, mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas. Juga lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum. Dan putusan pengadilan dalam acara cepat dan mengajukan kasasi. 

4.     Terpidana

Berdasarkan Pasal 1 butir 32 KUHAP, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun yang dimaksud dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan yang memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi, putusan pengadilan yang memutus perkara pidana pada tingkat banding yang tidak diajukan kasasi, atau putusan kasasi. 

Jangka waktu untuk mengajukan banding yaitu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Sedangkan jangka waktu untuk mengajukan kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa. 

Dengan demikian, terpidana adalah terdakwa yang dinyatakan bersalah dan terbukti telah melakukan suatu tindak pidana. Ia kemudian mendapatkan sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Seorang terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) disebut sebagai narapidana.

Baca Juga: Orang Tua Membentak Dan Pukuli Anak, Bisakah Dilaporkan?

Adapun yang menjadi hak-hak terpidana adalah sebagai berikut:

1)   Pada saat menjalani hukuman, seorang terpidana memperoleh hak-hak yang serupa seperti tersangka/terdakwa yang sedang dalam penahanan, sebagaimana telah diterangkan di atas.

2)   Mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 

3) Menuntut ganti kerugian karena diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 

Demikian penjelasan saya mengenai perbedaan dan pengertian “terlapor”, “tersangka”, “terdakwa”, dan “terpidana”. Semoga memberikan manfaat kepada Purwanti. Baik secara pengetahuan maupun di dalam proses penyelesaian hukum yang dihadapi oleh ayah atas laporan rekan kerja dengan dugaan fitnah dan pencemaran nama baik.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 3209).
  • Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
  • UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian)  
  • Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 7/2006)  
  • Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 8/2009).
  • Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4234).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614).

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!