Sinetron Suara Hati Istri Indosiar

Sinetron ‘Suara Hati Istri’ Langgengkan Stereotip Perempuan

Objektifikasi sampai penggambaran perempuan sebagai sosok lemah dan tak berdaya, seringkali masih jadi andalan serial film televisi (FTV) “Suara Hati Istri” Indosiar. Ini bentuk pelanggengan patriarki, yang perlu publik kritisi.

Lagu berjudul “Hati yang Kau Sakiti” milik penyanyi kondang, Rossa, kembali ramai pada 2020 silam. Ini dikarenakan, lagu yang rilis pada 2009 itu jadi soundtrack serial film televisi (FTV) “Suara Hati Istri” yang tayang di Indosiar

Lirik “Kumenangis, membayangkan, kepergian dirimu…” yang selalu diselaraskan dengan tampilan ratapan seorang wanita akan kepedihan nasibnya, menjadi andalan utama serial tersebut. 

Saking populernya, sinetron ini pun jadi favorit banyak keluarga sambil menemani waktu makan siang mereka. Di sela-sela kuliah daring yang saya jalani, saya pun tak jarang menonton tayangan ini. 

Sinetron “Suara Hati Istri” merupakan hasil produksi Mega Kreasi Films (MKF). Program televisi yang pertama tayang pada 2019 ini, rutin menampilkan kisah-kisah rumah tangga yang erat kaitannya antara relasi perempuan dan laki-laki. Tentu saja,  dibumbui intrik, konflik, dan alur cerita yang berliku-liku.

Dalam tayangan tersebut, biasanya suami ditempatkan menjadi sosok yang antagonis dan berkuasa dalam rumah tangga. Sehingga dia bisa menindas istrinya, yang sama sekali pasif dan tak berdaya. Sekalipun ada tokoh perempuan yang aktif, itu pun tak lepas dari karakter licik. Perempuan yang agresif itu pun, berfungsi sebagai penindas perempuan lain.

Sinetron ini bisa saja punya niat awal ingin menumbuhkan simpati. Yaitu, terhadap kehidupan perempuan dalam rumah tangga. Namun, setelah saya pahami lebih jauh, FTV ini malah terkesan mengandung nilai bias gender pada setiap narasi yang dibawanya. 

Ini sekaligus menunjukkan, bahwa situasi media massa seperti televisi kini, masih aktif mentransformasikan nilai-nilai bias gender. Baik itu lewat tayangan sinema elektronik atau sinetron, infotainment, program komedi, talk show, film televisi (FTV), sampai berita.

Gambaran-gambaran yang sering muncul adalah bagaimana perempuan bersikap sebagai sosok yang serba pemarah, pencemburu, tertindas, pendendam, licik, dan tak berdaya (Handoyo: 137). 

Jika data Nielsen pernah mencatat jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai 96 juta pada Juli 2022. Maka, televisi punya andil besar dalam mempengaruhi publik. Dalam hal ini, turut melanggengkan bias gender pada masyarakat.

BACA JUGA:

Sinetron “Suara Hati Istri” Indosiar Diprotes Aktivis Perempuan; Langgengkan Perkawinan Anak

Apa Itu Bias Gender?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bias berarti kecenderungan untuk mendukung atau menentang sebuah hal, orang, atau kelompok daripada yang lain dengan cara yang tidak adil. Sedangkan, gender menurut Riant Nugroho adalah sebuah konstruksi sosial mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh sistem sosial-budaya di mana mereka menetap (Utaminingsih. 2017:4).

Lebih lanjut, Widyatama (2006: 7) mengatakan bias gender adalah sebuah konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dengan sosok yang lebih lemah dibandingkan laki-laki dan sering digambarkan sebagai objek komoditas, serta di eksploitasi potensi fisiknya semata. Sedangkan, laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, rasional, dominan, berkuasa, dan pandai. Gambaran-gambaran ini jelas menunjukan relasi yang timpang dan tidak benar.

Bias gender muncul seiringan dengan adanya ketidakadilan gender yang disebabkan oleh struktur dan konstruksi sosial dengan menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Faqih (dalam Afandi, 2019: 4) memaparkan beberapa bentuk bias gender yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda. 

Lebih detailnya, bentuk-bentuk bias gender tersebut dijelaskan sebagai berikut: 

Marginalisasi yang berarti, proses peminggiran sebuah kelompok masyarakat dari tatanan masyarakat umumnya atau yang lebih dominan sehingga menyebabkan kemiskinan. Contohnya, upah perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan keluarga semata. Begitu juga dengan halangan perempuan untuk terjun ke ranah publik.

Subordinasi, sebagai anggapan jika peran yang dilakukan oleh gender tertentu lebih rendah dari yang lain. Pelabelan yang sudah dikonstruksi masyarakat bahwa peran perempuan hanya pada lingkup domestik saja sehingga perannya tersebut tidak dihargai layaknya laki-laki yang berperan dalam ranah publik.

Stereotipe adalah pelabelan yang memberikan citra negatif kepada seseorang atas dasar yang salah dan sesat. Dalam konsep gender, stereotype sering diberikan kepada perempuan seperti cengeng, pasif, tidak rasional, emosional, tidak punya ambisi, serta penurut.

Kekerasan adalah serangan kepada fisik atau mental yang dilakukan seseorang kepada yang lain. Kekerasan ini bisa berupa pelecehan, kekerasan fisik dan non-fisik, pemerkosaan, penyiksaan, perdagangan manusia, dan kekerasan berbasis gender online.

Beban ganda berarti perempuan menjalankan peran dalam ranah publik dan ranah domestik. Hal ini karena sejak kecil, laki-laki dan perempuan sudah dibentuk untuk menjalankan perannya masing-masing seperti laki-laki pada ranah publik dan perempuan pada ranah domestik. Maka dari itu, ketika perempuan memilih untuk terjun ke ranah publik, maka dia harus menanggung dua beban karena laki-laki tidak pernah diajarkan untuk menjalankan peran dalam ranah domestik.

Bentuk Bias Gender dalam “Suara Hati Istri”

Chris Baker menyebut cara media, termasuk televisi, merepresentasikan suatu hal bukan berarti menjiplak hal tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada, melainkan representasi tersebut adalah ekspresi etis dan konstruksi dari situasi yang sesungguhnya (Audyana, 2020: 103). 

Maka dari itu, apa yang ditampilkan atau direpresentasikan media bersifat subjektif sesuai dengan pandangan, nilai, dan kepentingan media tersebut dari realitas yang ada di keadaan nyata. Sama halnya dengan FTV “Suara Hati Istri”, representasi bentuk-bentuk bias gender sarat ditunjukan oleh tayangan ini. 

Sedari awal, program TV Indosiar tersebut sudah menunjukan nilai-nilai bias gender dengan mengangkat tema tentang perempuan yang selalu tertindas dan tak berdaya dalam rumah tangga. 

Ini bisa jadi, membuktikan jika tim produksi merepresentasikan seorang perempuan (istri) menjadi sosok yang subordinat dalam rumah tangganya. Dikarenakan mereka selalu tertindas dan tak berdaya terhadap suaminya yang selalu digambarkan menjadi tokoh antagonis yang lebih dominan serta berkuasa.

Bahkan hanya dengan membaca judul-judul serial FTV “Suara Hati Istri”, kita dengan mudah bisa menangkap bahwa cerita-cerita yang dihadirkan akan menyuguhkan sosok perempuan lemah, tertindas, dan tak berdaya. Contoh judulnya seperti, “Aku Istri yang Tak Berarti dalam Pernikahanku Sendiri,” “Menderita Hidupku Karena Salah Pilih Suami,” “Aku Istri Rasa Orang Ketiga Suamiku,” “Di Balik Penderitaanku, Ada Senyuman Kebahagiaan Suamiku,” dan judul-judul lain yang serupa.

Dalam ceritanya pun, kita bisa melihat stereotip negatif pada perempuan itu ditampilkan lewat lakon dan sikap tokoh-tokohnya. Seperti, salah satu episodenya yang bertajuk “Nasibku Menjadi Wanita Penghasil Anak.” Episode ini menampilkan Bayu (Ferry Ixel) sebagai suami yang memperlakukan Salma (Fitri Ramadhina) isterinya seolah-olah hanya menjadi “mesin penghasil anak” semata tanpa ada rasa tanggung jawab dan perhatian.

Tak hanya itu, Bayu juga menuntut Salma untuk melahirkan anak laki-laki, karena menurutnya anak-anak perempuan tidak bisa membawa nama baik keluarga. Namun apa daya, Salma di kehamilannya yang ketiga, tetap saja mengandung anak perempuan. Sehingga, Bayu memutuskan untuk menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki. 

Dari situ, kita bisa melihat adanya dominasi dan keunggulan salah satu gender yaitu laki-laki. Sedangkan perempuan dianggap tidak bisa membawa nama baik keluarga sehingga hanya dapat berperan pada ranah domestik semata.

Bentuk subordinat perempuan juga ditampilkan sebagai objek “pajangan” semata (objektifikasi). Jika “indah” maka baru bisa dihargai. Hal ini terlihat dari salah satu episode yang berjudul “Aku Dipilih saat Mekar dan Dibuang Setelah Layu.” 

Episode ini, berkisah tentang seorang istri bernama Ambar yang mengalami kecelakaan sehingga menimbulkan bekas luka di wajahnya. Melihat itu, suaminya bernama Surya mulai berubah sikapnya terhadap Ambar. Dikarenakan Ambar, tak lagi “secantik” dulu. 

Cerita ini menggambarkan bagaimana seorang perempuan hanya menjadi objek. Dia harus mengikuti cara pandang laki-laki yang patriarki. Sehingga, harus tetap cantik agar bisa dihargai. Sedangkan, aspek-aspek seperti kepribadian dan pengetahuan sama sekali tidak dianggap.

Bentuk bias gender selanjutnya, marginalisasi perempuan. Tokoh-tokoh perempuan yang berperan menjadi istri dalam serial ini, seringkali ditempatkan pada ranah domestik dan tak punya pilihan. Akhirnya, tokoh tersebut secara ekonomi rentan dan akan selalu bergantung pada suami. 

Hal ini tergambar dalam episode “Aku Istri yang Tak Berarti dalam Pernikahanku Sendiri,” yang menceritakan tentang seorang istri bernama Vera yang dituduh berselingkuh dengan laki-laki lain sehingga sang suami, Bagas menghukumnya dengan tidak memberikan sepeser uang. Akhirnya, Vera tak bisa membiayai pengobatan ibunya yang sedang sakit. 

Dari sini bisa kita lihat, kisah tersebut merepresentasikan perempuan sebagai gender yang termarginalkan dari kehidupan sosial masyarakat. Perempuan menjadi sangat rentan dan mengalami kemiskinan. Perempuan menjadi tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan akan selalu bergantung pada laki-laki. Alhasil, situasi ini memuluskan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

“Suara Hati Istri” juga sering menyematkan pelabelan negatif atau stereotip pada gender tertentu dalam penceritaannya. Biasanya, stereotip tersebut menyasar pada sikap perempuan yang cerewet dan suka berbohong lewat tokoh ibu mertua. Misalnya pada episode “Mertua Datang, Mertua Tak Pulang-pulang,” yang berkisah tentang Dewi (Yatie Surachman) seorang mertua yang gemar menjelek-jelekan menantunya Yuli (Masayu Anastasia) di hadapan teman-temannya. 

Penggambaran ibu mertua yang cerewet juga ditampilkan dalam episode “Seatap dengan Mertua Hidupku Layaknya Boneka Tak Bernyawa,” yang bercerita tentang Mona, seorang istri yang menderita dalam rumah tangganya akibat mertua selalu menyetir dan mengendalikan semua hal dalam rumahnya.

Stereotip yang sering disematkan kepada perempuan juga mengenai status janda yang dibingkai oleh Suara Hati Istri seolah-olah hal tersebut merupakan aib. Lewat judul-judul seperti “Aku Takut Menjadi Janda, tapi Aku Pun Tak Tahan Menjadi Istri,” dan “Daripada Menjanda, Aku Rela Dikhianati,” dapat dilihat bahwa status janda sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh istri pada serial FTV ini. Dikarenakan status tersebut merupakan aib besar bagi seorang perempuan. Bahkan, Ia lebih memilih tetap menderita dan tersakiti dalam rumah tangga dibandingkan menjadi janda. 

Tak hanya itu, stereotip kepada perempuan juga bisa dilihat dari tokoh selingkuhan yang menunjukan bahwa perempuan gampang untuk digoda oleh laki-laki dan tak punya simpati pada perempuan lain.

Dari pengamatan saya, hampir di semua episode “Suara Hati Istri”, tokoh perempuan sebagai selingkuhan selalu dihadirkan dalam cerita sebagai antagonis untuk tokoh istri. Sedangkan, suami menjadi sosok laki-laki yang selalu berkuasa sehingga selalu diperebutkan.

Bentuk bias gender beban ganda juga turut direpresentasikan oleh serial FTV Indosiar ini. Misalnya, episode “Rintihan Istri yang Dituntut untuk Menjadi Objek Kebanggan Suami,” berkisah tentang Via, seorang istri yang biasanya menjadi ibu rumah tangga tiba-tiba disuruh suaminya untuk membangun sebuah usaha. 

Via pun menuruti perintah tersebut dengan mulai membuka usaha dagang, tapi suaminya tetap menuntut Via untuk melaksanakan tugas-tugas domestiknya seperti membuat makanan dan membersihkan rumah.

Perempuan seperti Via, dituntut untuk menjalankan dua peran yaitu domestik dan publik. Sedangkan, suaminya hanya menjalankan peran publik saja. Tapi, enggan mengurus ranah domestik. Akhirnya, ketidakadilan dalam menjalankan peran antara laki-laki dan perempuan menjadi timpang.

BACA JUGA:

Koalisi 18+ Desak KPI Hapus Tayangan Sinetron “Suara Hati Istri” di Indosiar

Solusi untuk Mengatasi Bias Gender dalam Media

Representasi dominasi laki-laki dan ketidakberdayaan perempuan dalam sinetron ini, tak lepas dari budaya patriarki. Dalam hal ini, laki-laki ditempatkan sebagai pemegang otoritas moral, hak sosial, hingga properti. Akhirnya, kontrol utama ada di tangan laki-laki saja di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakadilan gender.

Padahal, televisi merupakan media yang berpeluang menghasilkan banyak konsumen. Ini karena TV bisa berperan sebagai penyampaian informasi audio-visual. Tayangan TV juga punya kekuatan untuk membentuk opini, persepsi, dan citra di tengah khalayak. 

Tentunya para produser atau pemilik televisi tersebut, bukan manusia-manusia yang bebas akan nilai atau pandangan sosial. Maka tayangan yang dihasilkan oleh dapat menunjukan bagaimana pandangan dan nilai yang dianut oleh produser atau pemilik media. Belum lagi, jika di internal TV masih menganut nilai patriarki, maka tayangan yang dihasilkan pun tak akan beda jauh. 

Langkah awal yang bisa kita lakukan, bisa dimulai dengan perluasan keterlibatan perempuan dalam proses produksi konten. Tidak hanya pada ranah teknis operasional saja, tetapi harus pula pada ranah ideologi, pemikiran, dan pengambilan keputusan dalam ruang produksi. 

Hal ini agar pertimbangan-pertimbangan yang berperspektif gender bisa hadir dalam ruang-ruang produksi media. Sehingga, dapat menghilangkan tayangan yang merepresentasikan bentuk bias gender. Selain itu, para pelaku media baik itu laki-laki dan perempuan juga perlu memahami tentang tayangan yang berperspektif gender. 

Langkah selanjutnya, mengubah orientasi media agar tak hanya merujuk pada faktor ekonomi. Langkah ini perlu diambil, mengingat media tidak berani menawarkan suatu nilai yang bertentangan dengan konstruksi masyarakat umum karena tidak akan menguntungkan secara ekonomi (Handayani & Dahermawan, 2020: 144). 

Harapannya, media bisa lebih banyak menampilkan sisi-sisi lain dari perempuan yang membangun seperti kepribadian positif, prestasi (dalam ranah pemikiran dan pengetahuan), serta kisah-kisah perempuan yang berdaya. Apalagi menampilkan bentuk-bentuk perlawanan terhadap konstruksi sosial patriarki yaitu feminisme. 

Media hari ini perlu perubahan orientasi ekonomi semata. Menjadi media yang lebih maju, yaitu berorientasi terhadap kesetaraan dalam harmoni sosial, khususnya dalam aspek gender.

Sumber gambar: indosiar.com

BACA JUGA:

Kapan Sinetron Bisa Semenarik Drakor? Ceritanya Melantur Dan Stereotyping Perempuan

Gratio Ignatius Sani Beribe

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Sekarang sedang berproses di LPM Perspektif. Minat dengan isu gender karena merasa menjadi korban dari patriarki juga.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!