Suami KDRT

Suami KDRT, Bisakah Saya Gugat Cerai dan Tuntut Harta Bersama?

Ibu dari dua orang anak berusia 5 tahun dan 3 tahun, ingin menuntut cerai suami yang melakukan KDRT fisik. Di saat yang sama, dia ingin menuntut harta bersama selama menikah. Bagaimana proses mengurusnya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo Klinik Hukum Perempuan, perkenalkan saya Vanny dari Jakarta. Saya berencana akan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama terhadap Suami saya, karena ia melakukan KDRT secara fisik kepada saya. Selanjutnya, saya mempunyai 2 (dua) orang anak yang saat ini berumur 5 dan 3 tahun. Anak saya yang berumur 5 tahun akan masuk sekolah dan membutuhkan biaya. Selain itu, selama menikah saya dan suami mempunyai aset bersama berupa rumah dan mobil. Jika saya mengajukan gugatan perceraian sekaligus menuntut harta bersama sekaligus, apakah bisa? Mohon dari Klinik Perempuan, jalur hukum apa yang saya harus tempuh? Terima kasih. 

Ulasan:

Terima kasih telah menghubungi Klinik Hukum Perempuan, upaya dan proses hukum yang dapat anda lakukan sebagai berikut:

Anda dapat membuat laporan ke Kepolisian atas dasar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”) dan mengajukan gugatan cerai secara simultan. Mengenai KDRT, anda dapat mengajukan aduan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (“P2TP2A”). Lembaga itu akan memberikan layanan terintegrasi bagi perempuan dan anak yang mengalami diskriminasi dan kekerasan. Setiap Kota dan Kabupaten memiliki layanan P2TP2A. Anda bisa menghubungi unit ini melalui website www.kemenpppa.go.id. Harapannya, Anda dapat didampingi oleh P2TP2A dalam membuat pengaduan ke Kepolisian. 

Selanjutnya, Anda dapat datang ke unit Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di kantor polisi terdekat. Anda akan diwawancarai atas kronologi KDRT yang Anda alami dan diminta menyerahkan bukti pendukung. Setelah selesai, Anda akan diberikan Surat Tanda Terima Laporan Polisi, sebagai bukti bahwa anda adalah seorang Pelapor dari tindakan KDRT yang dilakukan oleh Suami anda. Adanya surat tanda laporan ini, anda akan mendapatkan hak atas informasi mengenai perkara anda sudah sejauh mana telah ditangani oleh pihak Kepolisian. 

Pihak kepolisian juga akan memberikan surat rujukan kepada Rumah Sakit melalui pemeriksaan untuk visum (pemeriksaan fisik dan/atau psikiatri). Hasil visum ini akan dikirimkan langsung dari pihak Rumah Sakit kepada unit kepolisian yang memberikan rujukan. Visum tidak bisa dilakukan tanpa adanya Laporan/Aduan ke Kepolisian dan rujukan. 

BACA JUGA: LBH APIK: Dari 200 Korban KDRT, Hanya 4 Yang Berani Lapor Polisi

Dasar hukum atas KDRT secara fisik diatur dalam Pasal 5 huruf a jo. Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000.00 (lima belas juta rupiah)”. 

KDRT, perselisihan antara suami istri, atau penelantaran merupakan alasan untuk mengajukan gugatan cerai menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

“Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a.     

b.     Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c.     

d.     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e.     

f.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Anda dapat mengajukan gugatan cerai dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum. Pengadilan Agama memberikan fasilitas bantuan hukum bagi masyarakat untuk membantu proses gugatan perceraian. 

BACA JUGA: Artis Perempuan Kena KDRT: 5 Hal Yang Bisa Kamu Lakukan Jika Temanmu Jadi Korban KDRT

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan perceraian adalah sebagai berikut:

Pertama, mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR 142 Rbg jo Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). Surat gugatan ini memuat nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat, fakta kejadian, dan hal-hal yang dimohonkan kepada Pengadilan berdasarkan uraian fakta. 

Kedua, dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Peradilan Agama, ditujukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat. 

Ketiga, menyiapkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan gugatan seperti Kartu Tanda Penduduk, Buku Nikah Istri yang asli, dan beberapa dokumen lainnya. Karena Anda bercerai dengan alasan terjadi KDRT terhadap anda, Surat Tanda Laporan Polisi dan salinan visum dari Rumah Sakit (jika bisa mendapatkannya) dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat untuk disampaikan kepada Majelis Hakim. Selain bukti dokumen, Anda juga harus mempersiapkan minimal 2 (dua) orang saksi. 

Keempat, setelah mendaftarkan gugatan, Anda akan dipanggil Pengadilan secara resmi. Ketika sidang dimulai dan dihadiri Suami (Tergugat), Majelis Hakim akan meminta kedua belah pihak untuk melakukan upaya Mediasi di hadapan Mediator secara tertutup. Jika mediasi gagal, maka gugatan perceraian akan berlanjut. 

BACA JUGA: Saya Mengalami KDRT Karena Coming Out Orientasi Seksual

Mengenai pertanyaan anda, apakah dapat mengajukan gugatan secara sekaligus terkait gugatan perceraian, gugatan hak asuh anak, gugatan nafkah anak, dan gugatan gono gini? Jawabannya adalah bisa. Anda dapat mengajukannya bersamaan atau setelah gugatan perceraian didaftarkan. Hal ini diatur dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 

“Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Ketentuan tersebut diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015, yang menyatakan, 

“Perkara kumulasi antara person recht dan zaken recht dapat diajukan bersama-sama atau setelah setelah terjadi perceraian, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 66 ayat (5) jo. Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009.”

Namun, terkait harta bersama yang akan digugat, pastikan harta bersama tersebut diperoleh pada saat menikah. Alternatif lainnya, Anda dapat mendiskusikan dengan Suami (Tergugat) apakah harta bersama akan dijual terlebih dahulu atau diwasiatkan kepada anak setelah dewasa nanti. 

Berikut yang dapat saya sampaikan, terima kasih. 

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!