Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda

Kehidupanku bisa jadi berubah setelah memutuskan menjadi janda. Aku mempersiapkannya dengan merasa cukup dan meningkatkan kemandirian. Bukan saja soal finansial, tapi mencintai diri. Juga, lebih dekat dengan alam.

Sejak upaya poligami yang dilakukan suami menghampiri pernikahanku, aku memasuki dunia baru yang kusebut berlatih menjadi janda.

Paling tidak, ada dua alasan yang mendorongku melakukan hal itu. Pertama, keinginan suami itu meneguhkan keyakinanku bahwa tidak ada yang pasti dalam kita membangun relasi. Perceraian bisa terjadi kapan saja. Meski, menjadi janda tentu bukan perkara mudah bagiku. Usai sudah puluhan tahun saling bergantung dengan pasangan. Mulai dari perasaan, teman berpikir, bahu membahu membiayai kebutuhan hidup kami dan orang tuaku, sesekali juga kebutuhan keluarga adikku. 

Kedua, kalaupun pernikahan kami terus berlanjut, kita tak pernah tahu kapan ajal menjemput kami. Di tingkat perasaan dua peristiwa itu sungguh berbeda, tetapi di tingkat praktis akan banyak kesamaan: perpisahan.

Setelah puluhan tahun menikah, begitu banyak tali-tali yang membuat aku dan suami saling bergantung dan terkait. Aku sempat pusing dari mana memulai latihan menjadi janda. Misalnya, soal keterampilan hidup seperti mesti belajar mengendarai motor dan menyetir mobil sampai bagaimana belajar memenuhi uang belanja –minimal untuk diri sendiri. Di sisi lain, membiasakan memenuhi kebahagiaan oleh diri sendiri. 

Kalau kubuat listnya menjadi daftar yang panjang.

Setiap perempuan akan menemukan sendiri bagaimana strategi menjalani hidup menjadi janda. Rasanya, sungguh membantu jika ada pertukaran pengalaman para janda atau calon janda untuk dapat saling menguatkan.  

Aku sendiri memulai dari yang aku bisa. Aku mencoba untuk memulai ‘proyek menjadi janda’ ini dengan beberapa rencana hidup yang sudah aku rancang. Jika memang suamiku benar-benar berpoligami. 

Caraku Hidup: Menjadi Cukup 

Sejak umur 40 tahun aku memang sudah mulai enggan bekerja penuh waktu, bekerja di bawah tekanan jadwal, kemacetan transportasi dan lain-lain. Aku memilih kerja paruh waktu atau untuk proyek  dalam durasi pendek. Dengan demikian, aku dapat menikmati beberapa hal yang membuat aku bahagia, seperti berkebun alami, menulis dan membacakan puisi. 

Menjadi freelancer tentu ada suka dan susahnya. Suka karena lebih bisa merawat diri dan merawat alam. Susah karena pendapatan dari pekerjaan paruh waktu belum dapat memenuhi untuk kebutuhan hidupku sehari-hari, apalagi untuk membangun jaminan pengaman di masa tua. 

Pilihan yang menurutku lebih realistis kulakukan adalah belajar mengurangi keinginan dan mengutamakan kebutuhan dan mulai membangun kemandirian pangan dan energi. Dengan kata lain, lebih banyak memproduksi kebutuhan sendiri daripada mengkonsumsi produk industri pangan misalnya.

Waktu aku menguras tabungan dan dibantu sisanya oleh suamiku, untuk membeli sepetak tanah tiga tahun lalu, belum terpikir tanah kecil itu sangat menopangku bila aku menjadi janda. Waktu itu dunia masih baik-baik saja dan sepenuhnya tanah kecil itu menjadi tempat aku bermesraan dengan alam untuk mempraktikan hidup sealami mungkin.  

Kini, tanah kecil itu menjadi bagian dari tak terpisahkan bagiku untuk berlatih menjadi janda. Terutama dalam hal mengupayakan mandiri energi alam dan memenuhi sebagian kebutuhan pangan.

Berbagai ragam tanaman pangan secara bergantian kutanam di kebun kecil itu, sejak dua tahun lalu. Dari mulai pohon kelor, ginseng Jawa, katuk, oyong, pare, terong, rawit hingga ragam tanaman rimpang. Mengkonsumsi apa yang kita tanam tidak saja membahagiakan dan merawat kesehatan juga memangkas uang belanja. 

Memasuki tahun ketiga, saatnya melanjutkan untuk membangun tiny house dan mandiri energi alam. Seperti membuat penampungan air hujan pada konstruksi rumah dan kebun, menjaga kesuburan air sumur, dan mengelola proses filterisasi sumber-sumber air sehingga tidak perlu membeli air kemasan untuk minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya. 

Mandiri energi juga bagaimana menangkap cahaya matahari untuk menjadi penerangan yang gratis baik melalui desain rumah maupun aliran listrik yang bersumber dari tenaga surya. Selain itu, juga menggunakan sinar matahari untuk menjemur pakaian dan peralatan rumah tangga baik untuk pengeringan maupun untuk mengurangi ruang hidup virus dan bakteri. Juga menangkap angin atau udara, melalui penempatan jendela dan ventilasi yang tepat, agar mengurangi penggunaan kipas angin dan air conditioning.

Bila kemandirian energi dan pangan  ini sudah dapat terwujud, akan banyak biaya hidup yang dapat dipangkas. Strategi ini lebih masuk akal aku lakukan daripada aku menabung uang untuk masa tua yang nilainya akan semakin menyusut. Nilai lebihnya, bila kemandirian keduanya dilakukan dengan pendekatan alami, aku dan alam secara bersamaan mengalami pemulihan bersama dari norma dan praksis yang merusak-eksplitatif-kapitalis ke upaya hidup dengan mengikuti gerak semesta. 

Memang upaya ke arah mandiri energi dan pangan sudah kumulai sejak pernikahan kami ‘baik-baik saja’. Tetapi setelah guncangan upaya poligami, aku menjadi semakin bersungguh-sungguh untuk menjalaninya.

Karena itu, sejak aku berlatih menjadi janda, aku semakin memberi waktu untuk menambah perspektif, pengetahuan, keterampilan dan perkawanan untuk mewujudkan rumah mandiri energi dan kebun pangan.

Aku juga butuh belajar menguangkan hal-hal yang kusuka. Ya, aku mulai belajar menjual buku-buku dan barang-barang preloved yang menumpuk di rumah. Aku sadar semakin tua dan apalagi hidup sendiri aku, energiku untuk merawat barang-barang akan menyusut. 

Aku juga perlu belajar bagaimana menjual misalnya, bibit tanaman atau hasil kebun, meski jumlahnya sedikit. Uang tetap perlu kuhasilkan, juga dari karya-karya tulisku.  

Selain soal-soal yang materiil itu juga aku mulai berlatih untuk mandiri hati. Cinta dalam berelasi tak lagi menjadi yang wow dalam hidupku. Ya, aku menyayangi suamiku sebagaimana aku menyayangi setiap ciptaan Maha Cinta. Tapi, aku pelan-pelan melepaskan kepastian bahwa cinta yang kuinginkan yang pernah kudapatkan darinya akan selalu tersedia. 

Hikmah utama dari upaya poligami itu adalah membuka mata dan hatiku untuk tidak menuntut orang lain untuk terus mencintaiku. Cukup rasa cintaku pada diriku dan hal-hal yang mampu kucinta yang akan mengkreasi kebahagiaan dalam perjalanan hidupku selanjutnya.

Tentang bagaimana menghadapi keluarga dan masyarakat bila aku menjanda, memang belum menjadi pikiranku. Barangkali aku berpikir sebaliknya, apa pun yang akan mereka pikirkan itu di luar kendaliku. 

Jadi aku tak ingin mengalokasikan pikiranku untuk hal-hal yang tak mungkin kukendalikan. Sebaliknya selain memberikan penilaian, melekatkan berbagai konstruksi, keluarga dan masyarakat bisa jadi tak dapat banyak membantu bila aku mengalami kesulitan saat menjadi janda.

BACA JUGA:

6 Tips Hidup Sebagai Janda Agar Bahagia

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!