Hari IDAHOBIT

Tahukah Kamu 17 Mei Hari IDAHOBIT: Yuk, Hapus Kebencian Terhadap LGBT

Setiap tanggal 17 Mei, seluruh dunia memperingati Hari International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism, and Transphobia (IDAHOBIT). Agar setiap orang dengan ragam gender dan seksualitas bebas dari kebencian, kekerasan, dan diskriminasi.

Perayaan Hari IDAHOBIT tahun 2023, mengambil tema ‘Together Always: United in Diversity’ atau ‘Bersama Selalu: Bersatu dalam Keberagaman’.

“Saat kita bersatu, dalam semua keberagaman kita yang indah, kita benar-benar bisa membawa perubahan,” tulis organisasi global IDAHOBIT

Secara internasional, International Day Against Homophobia atau Hari IDAHOBIT dirayakan pertama kali pada tahun 2004. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan, politisi, pemerintah dan masyarakat agar menghilangkan atau menghapuskan rasa kebencian terhadap homoseksual dan transeksual. 

BACA JUGA: Manifesto IDAHOBIT 2022: Cabut Aturan Diskriminatif bagi Minoritas Seksual dan Gender 

Selang tiga tahun itu, Indonesia merayakan peringatan Hari IDAHOBIT pada 2007. Sebanyak 4 kota besar di Indonesia merayakannya serentak yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Purwokerto. 

Situasi yang terjadi, kebencian terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas semakin terbuka. Kebencian seringkali berwujud pada kekerasan, penangkapan dan pembubaran kegiatan atau forum yang diadakan LGBTIQ+ maupun kelompok lain yang membahas isu LGBTIQ+. 

Kebencian dan kekerasan yang menyasar LGBTIQ+ bisa terjadi di ranah privat maupun publik. Bentuknya beragam: kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan domestik, bullying, drop out sekolah, pemecatan dari tempat kerja, hingga perkosaan untuk mengoreksi orientasi seksual. 

Situasi di Indonesia: Aturan Diskriminatif Mengancam LGBT

Pada tahun 2022, Arus Pelangi pernah mengeluarkan manifesto IDAHOBIT. Salah satu manifesto dalam rangka Hari IDAHOBIT tersebut meminta agar negara mencabut aturan diskriminatif bagi minoritas seksual dan gender. 

Berdasarkan penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2018, sekitar 70,59% responden pekerja memiliki sentimen negatif. Pengekangan dan penyangkalan terhadap kebebasan sipil dan hak sipil politik terhadap minoritas seksual dan gender memang bisa menimbulkan dampak yang meluas. Dampaknya, peningkatan kerentanan, pembatasan akses dan pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya. 

“Meskipun terkadang akses pekerjaan dapat diakses oleh kelompok minoritas seksual dan gender, tetapi stigma, diskriminasi dan kekerasan masih cukup tinggi di ruang kerja,” ujar Ketua Badan Pengurus Harian Arus Pelangi, Ryan Korbarri, Selasa (31/5/2022).

Minimnya akses pekerjaan bagi kelompok minoritas seksual dan gender bukan alasan untuk mengabaikan hal tersebut. Per tahun 2017 saja, angka pengangguran pada kelompok minoritas seksual dan gender mencapai 17%. Angka ini hampir mencapai tiga kali lipat dari angka pengangguran nasional tahun tersebut, yaitu 5,8%. Inilah yang menyebabkan 31% minoritas seksual dan gender hidup di bawah garis kemiskinan. 

BACA JUGA: Aktivis: Dear Pemerintah, Perjuangkan Anti Diskriminasi Pada Disabilitas dan LGBT di Sidang HAM Jenewa

Ryan melanjutkan, situasi penyangkalan dan pengekangan kebebasan sipil dan hak sipil politik ini diakibatkan karena adanya kekosongan perlindungan hukum terkait kebebasan sipil dan hak sipil politik individu dan atau kelompok minoritas seksual dan gender. 

“Ini adalah bentuk kegagalan Indonesia dalam menjalankan mandat dan prasyarat sebagai negara hukum. Khususnya kegagalan dalam produksi produk hukum (law making) yang memastikan perlindungan atas Hak Asasi Manusia secara menyeluruh dan juga kegagalan dalam aspek penegakan konstitusi (law enforcing),” terangnya.  

Konstitusi UUD 1945 pasal 1 ayat 3 secara jelas menyatakan, Indonesia adalah negara hukum. Sehubungan dengan ini, sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus menjunjung tinggi dan memenuhi elemen-elemen penting sebagai negara hukum. Dua di antaranya adalah perlindungan HAM dan persamaan dihadapan hukum (equality before the law)

Dua elemen penting ini, harus terefleksi secara mutlak melalui produk-produk hukum yang menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dalam penikmatan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights)

Jaminan ini juga telah ditetapkan pada UUD 1945 Pasal 28I ayat 2. “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” Sebagai negara hukum, UUD 1945 merupakan konstitusi tertinggi (the supreme law of the land) Indonesia yang digunakan sebagai acuan dasar menjalankan mandatnya sebagai negara hukum. 

“Meskipun jaminan atas perlindungan hukum dan persamaan di hadapan hukum di atas tertuang dalam konstitusi, sayangnya hal ini tidak banyak terefleksi pada produk-produk hukum dan perundang-undangan turunannya,” katanya. 

Negara Harus Benahi Produk Hukum

Aktivis LGBT itu menekankan, kegagalan ini harus segera diatasi dan direspon dengan cara melakukan pemulihan kebebasan sipil dan hak sipil politik minoritas seksual dan gender di Indonesia. Termasuk mendorong produk hukum nasional anti-diskriminasi.

“Untuk perlindungan kelompok rentan termasuk minoritas seksual dan gender dari diskriminasi sebagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak kelompok rentan,” imbuhnya. 

Pihaknya menyebut, produk hukum ini yang ada dan akan dibuat seharusnya bisa memuat beberapa hal. Pertama, jaminan secara eksplisit bahwa orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik biologis (SOGIESC) adalah salah satu dasar yang dilarang untuk didiskriminasi.

BACA JUGA: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Kemudian, akses keadilan terhadap minoritas seksual dan gender dari diskriminasi dan kekerasan, dengan menguatkan mekanisme akuntabilitas pemulihan yang efektif dan mudah diakses oleh minoritas seksual dan gender di Indonesia. Selain itu, negara harus memastikan adanya jaminan upaya-upaya memadai yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap minoritas seksual dan gender. 

“Upaya ini dapat dilakukan namun tidak terbatas pada pengintegrasian pendidikan terkait penghormatan HAM, toleransi, dan inklusivitas dalam kurikulum pendidikan dan mencabut segala produk-produk hukum dan perundang-undangan yang mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalisasi minoritas seksual dan gender,” pungkasnya. 

(Artikel ini pernah dimuat pada 9 Juni 2022 dengan melakukan pengeditan ulang)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!