persidangan AG, AG, penganiayaan D

AG Tidak Lakukan Penganiayaan Seperti Yang Disimpulkan Hakim: Pakar Hukum Kritik Vonis Hakim

Sejumlah pakar pidana, aktivis anak dan perempuan mengkritik sistem peradilan yang mengabaikan keadilan anak, dalam kasus yang menjerat anak perempuan, AG. AG diduga ikut menganiaya D bersama Mario Dandy.

Berita tentang persidangan AG (15), anak perempuan yang dihukum 3,5 tahun penjara atas kasus penganiayaan terhadap D (17), mendapat sorotan dari masyarakat karena rekaman persidangan yang tersebar luas di media sosial. 

Pada 10 April lalu hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan bersalah terhadap AG atas tindak pidana penganiayaan berat yang dianggap direncanakan lebih dahulu. Hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara kemudian menghukum AG tiga setengah tahun penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan bandingnya pada 27 April 2023. Sehari setelah memori banding diajukan pendamping hukum A, hakim tunggal Budi Hapsari menguatkan hukuman yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama.

Putusan yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama maupun banding tersebut mendapat sorotan sejumlah pihak. Proses peradilan dinilai tidak berpijak pada perspektif demi kepentingan terbaik anak. Sejumlah pakar pidana dan aktivis anak dan perempuan mengkritik sistem peradilan yang mengabaikan hak atas keadilan anak dalam kasus ini. Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berharap keadilan bisa didapat oleh semua anak dalam kasus ini. 

“Karena kami percaya bahwa keadilan terhadap anak D tidak mungkin dan tidak boleh dibangun atas dasar ketidakadilan lainnya,” ujarnya. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bedah kasus anak AG pada Minggu (7/5) yang diikuti Konde.co secara daring.

Baca juga: Perempuan dan Anak Bermasalah Dengan Hukum, Pedoman Baru Jaksa Bisa Membantu

Kasus ini bermula ketika terjadinya penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap D. AG dianggap bersalah karena berada di tempat kejadian dan dianggap terlibat dalam skenario kejadian tersebut. Media juga melakukan sensasionalisme dalam pemberitaannya. Dalam Sidang Vonis anak AG Senin, 10 April 2023 disinggung mengenai isi BAP Mario yang memuat bahwa AG dan korban D pernah melakukan hubungan seksual pada 17 Januari 2023. Berita mengenai sidang vonis anak AG inipun menyebar di media sosial. Dalam rekaman yang sempat didapatkan netizen dari salah satu akun media sosial berita nasional itu, sempat terdengar mengenai hubungan seksual antara AG dan Mario yang dibacakan oleh Hakim, Sri Wahyuni Batubara di pengadilan negeri Jakarta Selatan

Sidang ini juga menjadi bagian dari kritik yang dilemparkan oleh para pakar hukum dan aktivis.

Putusan Hakim Dinilai Keliru 

Putusan hakim PN Jakarta Selatan kemudian juga menyebutkan bahwa AG terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pasal 355 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 355 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan lebih dahulu. Sedang pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penyertaan.

Dosen hukum pidana Binus University Ahmad Sofian berpandangan, setelah membaca putusan PN dan PT, hakim punya kesimpulan bahwa AG turut serta melakukan bersama Mario dan S. Pertanyaan yang muncul adalah benarkah turut serta ini bisa dilekatkan pada diri AG atau tidak? Menurut Ahmad doktrin penyertaan medeplegen (turut serta melakukan tindak pidana) tidak dijelaskan secara expressis verbis di dalam KUHP. Tapi ajaran ini diakui dalam putusan-putusan pengadilan di Indonesia atau diakui oleh yurisprudensi.

Secara doktrinal memang turut serta tidak harus memenuhi semua unsur, tapi ada kriteria yuridis yang disepakati oleh para ilmuwan. Kriteria yuridis itu meliputi,  pertama adanya kerja sama yang dilakukan secara sadar. Kedua, pelaksanaan tindak pidana secara bersama-sama. Ketiga, tidak adanya kualifikasi tertentu pada seseorang yang turut serta melakukan. Keempat, sifat accesoir medeplegen tidak sepenuhnya dapat diabaikan.

Baca juga: Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Terkait unsur kerja sama, Ahmad berpendapat tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa AG secara sadar dan bersama-sama melakukan penganiayaan berat bersama Mario. Tidak ada keinginan AG untuk memunculkan akibat luka berat sebelum perbuatan itu dilakukan, sebagaimana tertera dalam putusan halaman 155-157. Jadi pertimbangan itu menyimpang secara fundamental dalam memberikan tafsir terhadap bersama-sama atau bekerja sama.

Yang kedua, hakim juga tidak bisa membuktikan sikap batin jahat atau kesengajaan yang dilakukan AG. Sikap batin jahat dalam merencanakan penganiayaan hanya disimpulkan hakim dari rencana memulangkan kartu pelajar.

“Memulangkan kartu pelajar itukan hal yang positif. Kenapa ditafsirkan sebagai rencana AG bersama sama dengan Mario untuk memunculkan akibat yang dilarang. Ide untuk penganiayaan itu ada dalam diri Mario, bukan dalam diri AG,” ujar Ahmad dalam diskusi bedah kasus anak AGH.

Terkait pelaksanaan tindak pidana atau unsur objektifnya, menurut Ahmad itu tidak ada. Ketika pelaksanaan tindak pidana penganiayaan berat tidak ada peran yang dilakukan oleh AG untuk bersama sama melakukan tindak pidana. Tidak ada perbuatan fisik yang dilakukan oleh AG di TKP. Sehingga unsur objektif bersama sama melakukan tindak pidana pun tidak terbukti.

“Sudah dibantah oleh pengacara ya dalam memori bandingnya bahwa anak A itu tidak ikut dalam merekam. Tapi di dalam tuntutan (disebut, red) dia merekam bagian akhir. Jadi merekam tafsiran hakim adalah berkontribusi terhadap penganiayaan,” jelas Ahmad.

Baca juga: Ruang Pengadilan Menjadi Tempat Menyeramkan Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual

Soal tafsir hakim ini Ahmad memberikan catatan dengan merujuk pada pandangan Van Der Ven dan Jan Remmelink. Dia mengilustrasikan ada dua orang yang secara bersama-sama hendak menganiaya orang ketiga. Orang pertama memegang korban, orang kedua memukul korban. Apakah yang memegang korban dapat dikatakan turut serta melakukan penganiayaan atau ia hanya membuka kesempatan bagi temannya untuk melaksanakan tindak pidana penganiayaan? Menurut Van Der Ven dalam konteks kasus ini, ini adalah pembantuan atau medeplegen, bukan ikut serta melakukan penganiayaan.

“Ilustrasi berikutnya ketika ada dua aktor, yang satu ingin membunuh, yang lain ingin menganiaya. Ternyata korban meninggal, maka orang yang ingin menganiaya tidak bisa dikatakan turut serta melakukan pembunuhan, tetap dipisahkan. Ini lantaran keinginan dia adalah melakukan penganiayaan, yang satu lagi adalah pembunuhan. Jadi kalau dia ditarik menyebabkan pembunuhan, menurut Jan Remmelink hal itu juga tidak tepat.”

Karena itu Ahmad menegaskan penggunaan logika yang berlebihan secara fundamental menyimpang dari maksud perundang-undangan merupakan tindakan yang berbahaya dan menyesatkan. 

“Jadi ketika hakim memperluas tafsir pernyataan yang menyimpang secara fundamental dari maksud perundang-undangan tentang pernyataan itu sendiri maka bisa dikatakan ini adalah tindakan yang menyesatkan dan berbahaya.”

Ahmad juga menyimpulkan hakim telah keliru dalam membuat putusan yang menyatakan A terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Kekeliruan pertama tidak menyatakan secara tegas jenis penyertaan yang dilakukan oleh AG. Kekeliruan kedua adalah berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan termasuk keterangan AG. Bahwa AG tidak memenuhi unsur subjektif yaitu memiliki sikap batin jahat dalam merencanakan tindak pidana penganiayaan seperti didakwakan jaksa penuntut umum. AG juga tidak memenuhi untuk objektif yaitu melakukan tindak pidana penganiayaan dan atau membiarkan melakukan penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu.

Baca juga: Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Soal kualifikasi AG yang dijatuhi putusan sebagai pelaku yang turut serta melakukan juga dikritik dosen hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Lucky Endrawati. Dalam konferensi pers kasus AGH yang diikuti Konde.co pada Rabu (10/5) Lucky menyatakan peran A hanya menelepon. Padahal ada beberapa syarat agar seseorang dapat masuk kualifikasi turut serta.

 Yang pertama dia sadar bahwa dia akan melakukan kerja sama. Sadar ini artinya ada kesadaran dengan maksud bekerja sama untuk melakukan tindak pidana. Sementara yang terjadi realitasnya tidak demikian.

 “Yang kedua kerja sama perbuatannya itu memang dilakukan untuk melanggar norma yang ada dalam undang-undang hukum pidana. Logika sederhananya menurut Lucky kalaupun AG melakukan perbuatan kerja sama dia pasti tidak mau. Jadi ada perilaku-perilaku yang memang dilakukan terdakwa yang kualifikasinya sebagai pelaku untuk mengajak AG melakukan perbuatan pidana. Sedang A sendiri tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana atau medepleger.”

Selain unsur turut serta, Lucky juga menyoroti tidak adanya dokumen hasil penilaian kemasyarakatan (HPK) baik di tingkat penyidikan maupun persidangan. Sementara UU Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan hakim untuk menggunakan HPK dalam putusannya.

 “Kata wajib ini berkonsekuensi kalau tidak menggunakan (artinya, red) putusan itu batal demi hukum. Ini sudah jelas, HPK itu tidak ada,” kata Lucky.

Selain HPK, hakim juga tidak menggunakan hasil asesmen dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) dalam konstruksi pasal 18 ayat 1 KUHAP terkait alat bukti. “Ini menunjukkan bahwasanya tidak ada kemauan. Kalau kemampuan saya yakin APH mampu. Tapi tidak ada kemauan untuk membuat konstruksi hukum yang objektif sesuai dengan rambu-rambu hukum yang ada,” tegasnya.

Baca juga: 4 Hal Sensasional di Persidangan AG: Dalam Kasus Penganiayaan D

Karena itu Lucky mempertanyakan peran Komisi Yudisial (KY). Ia berharap KY tidak menjadi pengawas yang hanya berfungsi sebagai CCTV tapi tidak bisa mengambil tindakan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana anak.

Ia juga menilai jenis pidana yang dijatuhkan hakim terhadap A yakni pidana penjara 3 tahun 6 bulan sangat keterlaluan. Ini bisa jadi faktor kriminogen bagi anak setelah nanti dia dewasa.

“ini menunjukkan hakim anak sangat tidak mempunyai perspektif. Anak inikan masih punya masa depan jangan sampai putusan pidana penjara ini menjadi faktor kriminogen nantinya setelah dia dewasa,” ujarnya.

Menurut Lucky, hakim tidak jeli, tidak teliti, tidak cermat dan tidak memahami posisi atau status anak. Dari jenis kualifikasi pelaku yang tidak masuk kriteria, tidak digunakannya HPK hingga alat bukti yang diabaikan, menunjukkan adanya kelemahan hakim. Karena itu tidak wajar dan tidak proporsional ketika hakim menjatuhkan pidana penjara 3,5 tahun.

Lucky mencontohkan yurisprudensi terkait hal ini. Pada kasus begal anak yang terjadi di Malang, jaksa menuntut pidana penjara. Tapi hakim secara bijak melihat masa depan anak sehingga putusan pidana penjaranya tidak sesuai tuntutan jaksa. Pada kasus A putusan hakim baik di tingkat pertama maupun banding tidak memahami aspek kebutuhan terhadap masa depan anak.

Bukti-Bukti dalam Persidangan Tidak Dipertimbangkan

 Hal menarik lainnya dari putusan ini adalah keberadaan bukti CCTV, seperti diungkapkan dosen hukum pidana Universitas Padjajaran, Nella Sumika Putri. 

Jaksa menempatkan bukti CCTV sebagai salah satu alat bukti dan barang bukti, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan isi CCTV tersebut. Termasuk juga pertimbangan hakim dalam membandingkan antara keterangan para saksi dengan CCTV yang ada.

Pertanyaan yang muncul dari kasus ini adalah kapan perencanaan terjadi terhadap penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Apakah chat terkait kartu pelajar, pengelabuan jenis mobil, adalah bagian dari perencanaan? Apakah anak mengetahui motif, maksud, niat dan berujung pada kesengajaan, sehingga memunculkan perbuatan A melakukan chat terhadap korban?

 Nella berpendapat, pertimbangan hakim dibangun hanya dengan melihat pada dakwaan jaksa penuntut umum. Sedang keterangan saksi, terutama saksi Mario dan S tidak cukup dipertimbangkan. Padahal kalau dilihat secara utuh maka keterangan saksi Mario sebenarnya cukup bertolak belakang dengan fakta hukum yang dibuat oleh hakim. Hal ini didukung dengan adanya bukti CCTV yang tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

“Apabila hakim mempertimbangkan rekaman CCTV itu secara tepat terdapat fakta hukum yang berbeda. Dan akan berdampak pada keputusan yang nantinya diambil oleh hakim,” terang Nella dalam diskusi bedah kasus.

Misalnya soal memegang HP yang menurut fakta hukum di putusan untuk merekam perbuatan saksi Mario. Sementara menurut Nella kalau dibandingkan dengan rekaman CCTV sebenarnya anak hanya memegang, tidak merekam. Lantas apakah ini adalah bentuk kerja sama fisik? 

Baca juga: Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini

Pertimbangan hakim tidak cukup menjelaskan apakah perbuatan yang dilakukan oleh AG dilakukan secara sengaja karena dia mengetahui atau menghendaki? Ataukah perbuatan itu dilakukan atas dasar permintaan dari saksi Mario tanpa memiliki pengetahuan yang memadai atas apa yang dikehendaki Mario?

Karena itu menurut Nella, ada beberapa permasalahan yang menarik untuk diulas dari putusan PN. Seperti adanya perbedaan antara keterangan saksi dan fakta hukum yang dihasilkan, juga ada barang bukti yang tidak dipertimbangkan. Karena itu equality of arms menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Jadi pada saat hakim tidak secara imbang melihat para pihak dalam membuktikan satu fakta hukum, ini mempengaruhi cara hakim membangun keyakinannya yang berdampak pada pertimbangan yang dibuat hakim. Sehingga putusan itu kita anggap sebagai putusan yang tidak menimbulkan keadilan, khususnya bagi AG.

Terkait putusan PT, Nella berpendapat putusan ini juga menarik karena diputus dalam waktu satu hari. Putusan ini juga diputus oleh hakim tunggal yang baru satu hari ditunjuk sebagai hakim anak.  Hakim juga tidak memberikan pertimbangan yang memadai terhadap permohonan banding. Padahal sebenarnya posisi hakim di tingkat banding maupun PN sama-sama judex factie. Jadi sebenarnya hakim bisa mengevaluasi lebih lanjut mengenai fakta-fakta hukum yang ada di dalam putusan pengadilan negeri.

(Sumber Foto: Katadata)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!