Hukum mengenai hak waris

Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, Bagaimana Aturan Pembagiannya?

Apakah anak di luar perkawinan yang sah berhak mendapatkan warisan? Ada aturan terkait pembagian hak waris untuk kasus tersebut. Berikut ini penjelasannya dari sisi hukum.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo Klinik Hukum Perempuan, perkenalkan saya Y usia 37 tahun. Saya mempunyai saudara beda ibu namun ayah kami sama. Satu bulan yang lalu ayah saya meninggal dunia, dan meninggalkan warisan berupa tanah, rumah dan beberapa aset benda bergerak. Saya tinggal bersama ibu dan saudara saya, namun saudara saya merupakan anak hasil di luar perkawinan yang sah. Saudara saya menginginkan bagian harta warisan ayah saya. Saya tidak ingin saudara saya menerima harta warisan dari ayah saya karena dia adalah anak di luar perkawinan. Pertanyaan saya, apakah anak di luar kawin berhak mendapatkan warisan? Terima kasih.

Jawab:

Halo, terima kasih telah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian waris dan hak waris terhadap anak di luar perkawinan yang sah. Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi yang sering digunakan ketika berhadapan dengan sengketa waris. Mengingat pada kronologi yang disampaikan tidak dijelaskan agama dari ayah selaku pewaris dan agama anda, serta agama para pihak terkait yang menjadi ahli waris. Maka kami akan menjawab pertanyaan anda berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pembagian Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a KHI).

Pada kronologi yang disampaikan, ayah anda selaku pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b KHI). Selanjutnya, ibu selaku janda merupakan ahli waris menurut hubungan perkawinan dan anda selaku anak dari pewaris merupakan ahli waris menurut hubungan darah (Pasal 174 KHI). Sedangkan saudara anda yang memiliki ayah yang sama namun berbeda Ibu sebagai anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya sehingga bukan merupakan ahli waris dan tidak berhak atas harta peninggalan (Pasal 186 KHI).

Namun, jika ayah anda selaku pewaris meninggalkan wasiat yang menetapkan saudara anda sebagai penerima wasiat, maka ia berhak atas harta yang ditetapkan dalam wasiat. Perlu diketahui, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia, dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris (Pasal 195 ayat 1 dan 171 huruf f KHI). Selanjutnya, ahli waris selain berkewajiban membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak, juga berkewajiban untuk menyelesaikan wasiat (Pasal 175 ayat (1) huruf c dan d KHI). Namun, apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya (Pasal 201 KHI).

Baca Juga: Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya yang dapat diwariskan, adalah harta bawaan. Ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf d KHI).

Terkait pembagian besarnya bagian harta waris, ibu anda yang merupakan janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Jika pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180 KHI). Lalu anda yang merupakan anak perempuan, bila hanya seorang, ia mendapat separuh bagian. Bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176 KHI).

Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata, penerima waris diatur di Pasal 832. Mereka pun dipisahkan menjadi empat golongan, berikut penjelasannya.

Golongan I: Keluarga yang ada dalam garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri yang hidup lebih lama, dan anak-anak yang ditinggalkan.

Golongan II: Keluarga yang berada dalam garis lurus ke atas, seperti orangtua dan saudara kandung.

Golongan III: Kakek, nenek, dan leluhur.

Golongan IV: Anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga lain hingga derajat keenam. Contohnya adalah paman, bibi, serta saudara kakek dan nenek.

Adapun golongan ahli waris ini didasarkan oleh prioritas pembagian waris. Selama golongan I masih hidup, maka golongan II tidak berhak atas harta waris, begitu pun seterusnya.

Baca Juga: Suami KDRT, Bisakah Saya Gugat Cerai dan Tuntut Harta Bersama?

Selanjutnya, pewarisan bila ada anak-anak di luar perkawinan diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 866 KUH Perdata. Anak luar kawin mewarisi sepertiga dari bagian yang sedianya mereka terima seandainya mereka adalah anak-anak sah menurut undang-undang. Mereka mewarisi separuh dari harta peninggalan, bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan, suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas, atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan-keturunan mereka. Dan warisan menjadi tiga perempat bila hanya tinggal keluarga sedarah yang masih hidup dalam derajat yang lebih jauh lagi (Pasal 863 KUH Perdata).

Selanjutnya, ayah anda selaku pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah (Saudara Y) dalam garis ke bawah. Maka bagian warisan itu terdiri dari seperdua dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian (Pasal 914 KUH Perdata).

Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam UU Perkawinan

Akan tetapi, kedudukan anak luar kawin mengalami perubahan dalam UU Perkawinan. Ketentuan Pasal 43 UU Perkawinan menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Dengan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar perkawinan termasuk hak anak biologis dalam hukum perkawinan. Dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Langkah-Langkah Pembagian Waris Keluarga

Terkait proses pembagian warisan seperti yang anda tanyakan, setidaknya terdapat 5 langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan pembagian waris dalam keluarga:

  1. Menyepakati hukum waris yang akan digunakan. Jika beragama Islam dapat memilih pembagian waris secara islam atau pembagian waris menurut Hukum Perdata;
  2. Menentukan harta warisan pewaris. Pewaris dapat menginventarisir aset tanah, rumah dan beberapa aset benda bergerak termasuk penyusutan nilai aset dan utang-piutang yang ditinggalkan Ahli Waris;
  3. Menentukan ahli waris dari pewaris; Setelah menyepakati hukum waris yang akan digunakan dan juga jumlah harta warisan dari Pewaris, kemudian dapat ditentukan ahli waris berdasarkan hubungan sedarah dan hubungan perkawinan maupun menurut golongan waris dalam Hukum Perdata;
  4. Menghitung bagian perolehan ahli waris; Setelah menentukan Ahli Waris barulah dapat ditentukan bagian perolehan untuk masing-masing ahli waris;
  5. Membuat kesepakatan pembagian waris, apabila hal yang tidak disetujui atau disetujui bersama untuk mencapai keadilan dalam pembagian waris.

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!