‘Ibu Digital’ dan Sharenting: Pentingnya Menjaga Hak Privasi Anak

Di era digital, sharenting dapat menjadi sarana berbagi pengalaman hingga membantu perempuan meraih kembali identitas dirinya. Namun, jangan sampai konten digital berujung membahayakan anak.

Sharenting adalah istilah yang muncul dari gabungan dua kata Bahasa Inggris, yakni share dan parenting. Istilah ini belakangan merujuk pada aktivitas orang tua berbagi pengalaman mengasuh anak-anak di media sosial. Aktivitas ini belakangan banyak dilakukan oleh ‘ibu digital’ dan orang tua milenial.

Kegiatan sharenting kerap menimbulkan perdebatan. Sebab, banyak yang menilai kalau sharenting yang dilakukan orang tua, melanggar hak privasi anak. Ditambah lagi, anak berada di usia yang belum memiliki consent untuk menyetujui atau menolak kontennya disebarkan di internet.

Di sisi lain, sharenting rupanya dianggap pula sebagai sesuatu yang positif bagi orang tua. Hal ini khususnya berlaku pada ibu yang melakukan sharenting dan mengasuh anak di rumah. Konon, sharenting dapat menjadi sarana berbagi pengalaman hingga membantu perempuan meraih kembali identitas dirinya, yang kerap terabaikan saat ia menjalani peran sebagai ibu.

Sharenting dan Privasi Anak

Dalam perdebatan terkait sharenting, privasi anak jadi pertanyaan. Orang tua yang melakukan sharenting, terutama dengan membagikan konten foto dan video sang anak, dianggap tidak menghargai privasi anak. Itulah yang membuat sejumlah orang kontra terhadap tren sharenting di dunia digital saat ini.

Di Perancis, misalnya, sedang dirancang undang-undang yang melarang orang tua untuk melakukan sharenting. Pasalnya, orang tua seharusnya bertanggung jawab atas hak privasi anak yang tidak bisa memberikan consent atas peredaran foto mereka di internet. Jika disahkan, undang-undang itu akan jadi yang pertama di dunia, yang mengatur tentang privasi dan penyebaran konten anak oleh orang tua.

Bahkan, pada kasus yang lebih ekstrem, pengadilan dapat mencabut hak orang tua untuk membagikan konten anak mereka jika dianggap berlebihan atau berbahaya. Orang tua dapat dihukum jika membagikan konten anak mereka untuk menarik followers dan mendapatkan uang. Pertimbangannya, jejak digital akan susah dihilangkan dan berisiko mengancam anak nantinya.

Namun rupanya, orang tua di Indonesia cenderung lebih santai mengetahui bahwa ada hukum di luar Indonesia yang mengatur tentang sharenting. Dalam sidang promosi doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Rabu (12/7/2023), Rony Agustino Siahaan memaparkan temuannya terkait identitas ibu digital yang tinggal di rumah (stay-at-home). Termasuk kegiatan sharenting yang mereka lakukan.

Baca Juga: Bahayanya Sharenting, Ketika Orangtua Membagi Foto dan Video Anak di Media Sosial

Pada sidang bertajuk ‘Performa Identitas Ibu Digital (Kompleksitas dan Pencapaian Peran Perempuan sebagai Ibu Stay-at-Home di Era Media Sosial)’ itu, Rony menyebut, karakteristik keluarga milenial di Asia berbeda dengan pengasuhan ibu di tempat lain. Anak lebih dekat dengan orang tua, terutama ibu. Bahkan setelah menikah dan berkeluarga, anak cenderung tinggal berdekatan atau bersama dengan orangtuanya. “Situasi itu dilihat sebagai hambatan sekaligus peluang,” ujar Rony.

Karakteristik keluarga seperti itu juga membuat ibu-ibu di Indonesia memiliki sikap berbeda terkait berbagi konten digital. Berdasarkan temuan Rony, ibu-ibu digital di sini cenderung santai saja saat mengetahui bahwa di Barat, anak bebas menuntut orang tua jika tidak terima foto masa kecilnya disebar. Pasalnya, di Indonesia, hubungan ibu dan anak bersifat relasional alih-alih melihat identitas sebagai sesuatu yang otonom.

Orang tua yang tinggal di rumah dan melakukan sharenting di Indonesia pun lebih santai terhadap risiko pesan langsung (direct message / DM) yang mengancam anak, misalnya terkait pedofilia. Sebab, menurut Rony, orang tua menjaga anak dengan ketat agar selalu bersama mereka.

Kendati demikian, ketika sudah beranjak dewasa, anak mungkin baru menyadari bahwa ia tidak suka ketika orangtuanya membagikan konten dirinya kepada orang lain. 

Nisa (24) salah satunya. Kepada Konde.co pada Senin (24/7/2023), ia mengatakan bahwa kadang ia keberatan saat orangtuanya membagikan foto dirinya waktu masih kecil di media sosial.

“Kadang risih aja, misal fotonya yang kebetulan lagi malu-maluin,” ujarnya. 

“Tapi ya, mungkin ortu lagi flashback aja atau apa, gitu. Kalau memang menurutku nggak perlu di-share, biasanya aku bilang aja ke mereka,” lanjutnya.

Keuntungan Sharenting Bagi Ibu Digital

Di sisi lain, sharenting dilihat sebagai sarana berbagi informasi, terutama bagi ibu yang mengasuh anak sekaligus bekerja dari rumah. Bagi mereka, sharenting merupakan cara berbagi pengalaman pengasuhan dengan sesama orang tua di internet.

Selain itu, selama ini, peran pengasuhan kerap dibebankan kepada ibu sebagai sesuatu yang mutlak. Sehingga, pekerjaan apa pun yang dilakukan perempuan jadi kurang berarti apabila ia tidak melaksanakan pengasuhan anak.

Paradoks sering muncul ketika orang-orang meragukan peran ibu sebagai orang tua, sekaligus tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Sharenting pun menjadi sarana aktualisasi diri bagi ibu. Dalam sidang promosi doktor, Rony melihat sharenting sebagai sarana ibu stay-at-home untuk lebih mementingkan dan memperhatikan diri sendiri.

Sharenting membuat para ibu tidak merasa sendirian. Pengasuhan yang tidak berimbang antara ibu dan ayah bisa jadi mengalienasi perempuan yang berperan sebagai ibu. Sharenting membantu ibu agar dapat berbagi perjuangan, tantangan, dan kesulitan yang dialami saat mengasuh anak.

Riri (bukan nama sebenarnya) mengutarakan makna sharenting bagi dirinya sebagai ibu muda. “Mungkin lebih ke sharing aja sih, ya. Apa lagi kayak aku yang baru pertama punya anak. Banyak hal yang mungkin aku belum paham dan beda sama cara mamaku ngasuh aku dulu. Ada insight juga lihat cara orang lain ngurus anak,” katanya kepada Konde.co, Selasa (25/7/2023).

Perempuan berusia 27 tahun itu mengatakan, sharenting sedikit-banyak membantunya mengatasi kesepian yang kadang muncul saat harus bekerja sekaligus mengasuh anaknya yang masih bayi. “Jadi sadar juga kalau yang ngalamin susah-senangnya ngurus anak bukan aku sendiri aja. Ditambah posisinya ibu yang mengasuh iya, bekerja juga iya. Kadang saling menguatkan walau nggak langsung, gitu.”

Sharenting yang Aman

Meski masih menjadi perdebatan, sharenting mungkin memang dapat berdampak positif bagi orang tua, termasuk ibu. Sebab, aktivitas ini membuat mereka dapat mengaktualisasi diri saat melakukan peran pengasuhan.

Namun tentu sharenting harus tetap memperhatikan privasi dan keamanan anak. Jika orang tua hendak membagikan pengalaman terkait anak dan pengasuhan, ada beberapa hal yang harus diingat.

Contohnya, orang tua sebaiknya lebih bijak memilah konten apa saja yang bisa dibagikan di media sosial. Hindari menulis nama lengkap anak karena penyalahgunaan data digital rawan terjadi belakangan ini. 

Baca Juga: Dunia Tanpa Kekerasan Bagi Anak

Tidak hanya nama, sebaiknya jangan terlalu membuka informasi terkait tempat anak tinggal dan bersekolah. Selain itu, memastikan wajah anak tidak terekspos hingga usia tertentu bijak untuk dilakukan. Pertimbangkan juga untuk membagikan konten anak dalam keadaan yang layak.

Orang tua mungkin merasa sah-sah saja berbagi foto dan video anak mereka, tapi tetap harus waspada akan penyalahgunaan konten oleh orang tak bertanggungjawab. Jangan sampai konten digital tersebut berujung membahayakan anak, atau setidaknya mempermalukan mereka.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co

Let's share!