Namanya Hibat, usianya 24 tahun. Ia punya cerita kelam saat dikurung di sebuah panti rehabilitasi disabilitas mental di Serang, Banten.
Dalam seminar internasional ‘Hidden Torture: Penyiksaan yang Tersembunyi di Panti Rehabilitasi Mental di Indonesia’, ia berkisah. Dirinya harus bertahan dengan makan makanan busuk hingga tidur di sel kotor tanpa fasilitas sanitasi yang layak, selama dua tahun.
Kisah Hibat bukan satu-satunya. Seminar yang digelar di SMESCO Convention Hall, Gatot Subroto, Jakarta Selatan pada Selasa (22/8) lalu itu menguak berbagai praktik penyiksaan yang terjadi di balik pintu panti-panti rehabilitasi mental di Indonesia.
Selain seminar, terdapat pula pameran foto yang diambil oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia pada berbagai kunjungan ke sejumlah panti sosial di Pulau Jawa, sejak tahun 2012. Pameran tersebut menampilkan kondisi memprihatinkan panti-panti sosial di Pulau Jawa. Selain itu, tampak pula kondisi orang-orang dengan disabilitas mental yang diperlakukan secara tidak manusiawi di panti.
Ketua PJS Indonesia, Yeni Rosa Damayanti menyinggung buruknya institusionalisasi disabilitas mental di Indonesia. Salah satu panti sosial di Kebumen yang dikunjungi PJS, misalnya, diketahui merantai kaki para penghuninya yang berjumlah lebih dari 100 orang.
Bentuk dan situasi panti-panti rehabilitasi sosial ini beragam. Ada yang memasung penghuninya pada beton agar tak bisa pergi jauh. Atau yang berupa deretan sel isolasi perorangan. Juga ada yang berbentuk seperti penjara, dengan satu sel berisi 25-50 orang.
Pengalaman Penyintas
Seorang penyintas bernama Hibat (24), turut membagikan pengalamannya selama dikurung di panti rehabilitasi di Serang, Banten. Menurutnya, panti tersebut mengaku sebagai ‘pesantren’. Ia berada di sana selama dua tahun satu bulan sebelum akhirnya dapat keluar dengan bantuan PJS Indonesia.
Hibat bercerita, sebanyak lima orang dari panti itu pertama kali memasukkannya ke sana. Mereka datang ke rumahnya dan menjemputnya tanpa persetujuan.
“Dibawa ke mobil, bawa diri saja, lalu berangkat ke panti,” katanya.
Panti tersebut diisi oleh 30 penghuni laki-laki dan 10 penghuni perempuan.
Kala itu, saat baru tiba di depan panti, ia dapat mencium aroma kotoran manusia. Panti tempatnya dikurung terdiri dari lorong dengan sel-sel berpintu besi, yang digembok setiap malam. Ia tidak diperbolehkan keluar, kecuali untuk mengambil paket sumbangan makanan.
Baca Juga: Apakah Orang Dengan Disabilitas Mental Harus Berada Di Bawah Pengampuan Atas Hak Warisnya?
Terkait konsumsi yang disediakan panti untuk para penghuninya, Hibat bilang, makanannya tidak layak. “Berasnya beras busuk yang masih dimasak. Lalu sayurnya juga tidak layak; kadang semuanya hampir busuk tapi tetap dimasak.”
Panti sosial tempat Hibat dikurung juga tidak menyediakan layanan kesehatan. Ia sendiri menderita glaukoma dan tidak pernah mendapatkan perawatan di sana. Dirinya hanya pernah dibawa ke puskesmas sekali, untuk mengobati kulitnya yang berdarah akibat tidur di lantai sel yang kotor.
Tinggal di panti rehabilitasi pun rupanya tidak gratis. Berdasarkan keterangan Hibat, mereka yang masuk ke panti harus membayar Rp 2 juta per bulan. Amat berbanding terbalik dengan situasi panti yang mengenaskan dan tidak manusiawi.
Sanitasi Buruk, Kesehatan Reproduksi Perempuan Terganggu
Yeni menjelaskan, berdasarkan kunjungan PJS ke panti-panti sosial, kondisi para penghuni panti memprihatinkan. Mereka yang pergerakannya terbatas akibat kakinya dirantai, akhirnya melakukan semua aktivitas di satu tempat. Mulai dari makan, mandi, hingga buang air.
Sementara itu, menurut Hibat, hanya tersedia sebuah lubang di pojok ruangan untuk fasilitas buang air penghuni panti saat ia berada di sana. Panti tersebut juga tidak menyediakan air untuk menyiram dan membersihkan kotoran. Di ruangan yang sama pula, ia tidur dan melakukan aktivitas lain.
“Lantainya kotor. Saya kena sakit kulit sampai berdarah-darah semua,” tutur Hibat.
Buruknya sanitasi juga berdampak bagi penghuni panti perempuan, yang terancam gangguan kesehatan reproduksi. Ketika menstruasi, mereka tetap hanya bisa beraktivitas di tempat yang sama. Sehingga darah menstruasi berceceran ke mana-mana bahkan hingga ke badan mereka.
Yeni bercerita, dirinya bertemu dengan seorang penghuni panti perempuan yang kakinya dirantai. Rantainya kan, kira-kira 75 cm.
Saya tanya, ‘Kamu buang airnya di mana?’ Dia bilang, ‘Ya di sini, Bu’.”
“Terus, ‘Kalau mens, gimana?’ Katanya, ‘Ya udah, gimana lagi?’”
Kekerasan dan Ketidakpastian Masa Tinggal
Panti sosial juga rawan kekerasan, entah kekerasan fisik, mental, hingga seksual. Pun belum ada mekanisme pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan di panti. Peraturan yang melarang penghuni panti memegang atau menggunakan ponsel, membuat mereka kesulitan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi.
Apa lagi, orang-orang yang berada dalam sel tidak boleh keluar selama mereka tinggal di sana. Mereka hanya akan keluar saat waktunya makan siang dan sore. Kondisinya bahkan lebih buruk dari tahanan atau narapidana, yang biasanya boleh keluar dari sel sesekali.
“Kawan-kawan ini, dia tidak boleh keluar dari sel. Sehingga tidak ada namanya main ke blok, itu nggak ada,” papar Yeni.
Tidak seperti narapidana dengan periode penahanan yang jelas sesuai vonis. Penghuni panti sosial ini kerap tidak dapat mengetahui sampai berapa lama mereka harus tinggal di sana. Tak jarang, seseorang menempati panti sosial hingga bertahun-tahun.
“Ada yang bertahun-tahun, tidak pulang-pulang. Keluarganya sudah tidak mau dia lagi ada di rumah,” terang Hibat. “Ya sudah, dimasukkan ke panti saja.”
Namun, pada suatu hari, pemuda itu mengaku punya firasat bakal dikeluarkan dari panti. Sebab, saat itu dia didandani seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
“Dipakaikan pakaian muslim, sarung, peci. Difoto, lalu dikirim ke kantor,” Hibat menuturkan.
“Perasaan saya lega sekali. Ada firasat mau pulang, ada yang menjemput. Ternyata benar.”
Hibat berharap, orang-orang di panti rehabilitasi sosial dapat dibebaskan dan dirawat dengan semestinya. “Lebih baik masuk rumah sakit jiwa saja,” pungkasnya.
Pemasungan dan Pelanggaran HAM
Uli Parulian Sihombing, Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM dari Komnas HAM, memberikan tanggapan. Ia memaparkan hal-hal yang termasuk ke dalam pelanggaran HAM seperti penyiksaan, pemasungan, dan sebagainya. Pemasungan sendiri merupakan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Sehingga, ia dapat dianggap sebagai penyiksaan.
Berdasarkan pengamatan Komnas HAM di penjara-penjara, ada orang dengan disabilitas mental yang mengalami pemasungan. Menurut Uli, penyiksaan berkaitan dengan pemasungan dan panti sosial (penyiksaan di luar penjara) telah diatur dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM. Selain itu, KUHP terbaru juga memuat tentang penyiksaan dan perilaku yang merendahkan martabat.
“Di KUHP yang baru sebetulnya sudah ada. Tidak boleh melakukan penyiksaan dan merendahkan martabat. Itu merupakan tindak pidana,” papar Uli.
Negara mestinya melakukan tindakan efektif untuk menghapus stigma terhadap orang dengan disabilitas mental. “Di samping harus adanya pemulihan. Entah itu akses terhadap kesehatan, pendidikan, kemudian juga kelanjutan hidupnya, dan segala macam,” kata Uli.
Tutur aktivis HAM Haris Azhar, dalam perbincangan mengenai HAM, kita harus paham bahwa yang sedang didiskusikan adalah manusia. “Kalau dia manusia, apapun kondisinya—orientasinya, kondisi kesehatannya, dan lain-lain—maka form dia manusia,” tegasnya.
Cara mewujudkan HAM pun harus manusiawi dan sesuai dengan hak asasi tersebut. Maka, ia tidak melihat adanya konsep atau justifikasi bahwa seseorang harus masuk panti sebagai disabilitas mental. Tidak ada pula ukuran yang melandasi pemantian seseorang.
“Ukurannya denial. Lucunya, di Indonesia itu sering sekali yang diamankan itu yang ditolak oleh warga,” imbuh Haris.
“Pelanggaran HAM-nya itu ketika unsur negara tahu, memfasilitasi, mengetahui, membiarkan, dan bahkan turut serta menciptakan situasi tersebut,” ujarnya.
Stigma dan Bobroknya Institusionalisasi Disabilitas Mental
Stigma terhadap disabilitas mental masih sangat melekat. Ini membuat orang dengan disabilitas mental kerap dimasukkan ke panti sosial hingga penjara, alih-alih ditangani secara medis.
Uli bercerita, ia terkejut saat suatu hari berkunjung ke sebuah lembaga pemasyarakatan (LP) atau penjara di Ternate. Di sana, ia menemukan tahanan dengan disabilitas mental. Padahal seharusnya disabilitas mental tidak dihukum, karena ia tidak punya tanggung jawab pidana.
“Dari situ sebetulnya, kita juga memandang masih ada stigma terhadap mental disability,” ujar Uli.
Haris Azhar juga bersuara terkait kondisi bobrok institusionalisasi disabilitas mental dalam bentuk panti sosial dan panti rehabilitasi mental.
“Panti narkoba aja ada banyak kontroversinya. Tapi kalau panti yang diungkap oleh teman-teman PJS ini, justifikasinya apa? Otoritasnya siapa?” tanyanya.
Baca Juga: Dipecat Saat Sakit, Penyandang Disabilitas Mental Gugat Pemerintah
Haris pun menyebut, stigma terhadap disabilitas mental yang membuat seseorang dipaksa masuk panti dapat berbahaya. Bisa jadi, orang yang sebetulnya baik-baik saja, malah memburuk kondisinya lantaran mengalami penyiksaan di panti sosial.
Di sisi lain, Haris mengingatkan untuk tidak lantas melabeli semua panti sosial dengan stigma buruk.
Nyatanya, masih ada panti sosial yang memperlakukan penghuninya dengan baik. Meskipun, memang banyak panti yang melakukan praktik penyiksaan terhadap penghuni dengan disabilitas mental.
Deinstitusionalisasi menjadi sesuatu yang harus dilakukan pemerintah. Bukan hanya tentang pembebasan orang dengan disabilitas mental dari panti. Deinstitusionalisasi juga berarti membongkar praktik sistemik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut.
“Siapa yang menikmati? Siapa yang membiarkan, siapa yang sengaja membiarkan? Itu harus diungkap supaya nggak menjadi kesalahan di masa depan. Kalau negara nggak mau membantu, warga sebagai pemilik negara yang akan turun tangan,” tutup Haris.