“Senyum, marah, senyum, marah, senyum, marah.”
Kalimat ini seperti mantra yang diteriakkan Bayu kepada para staf kantor pinjaman online (pinjol) ilegal yang digambarkan dalam film ‘Sleep Call‘.
Mimik para staf mesti berubah sesuai kata yang keluar dari mulut Bayu. Jika Bayu berkata “marah” maka raut wajah para staf menampilkan kemarahan dengan berbagai karakter, demikian pula sebaliknya. Posisi Bayu (seperti) manajer dalam tim ini.
Sepulang dari bioskop, saya mencari informasi berita tentang perempuan dan pinjol. Ada tiga kisah yang saya catat.
Pada Oktober 2021, seorang perempuan berusia 38 tahun di Wonogiri, Jawa Tengah bunuh diri karena depresi. Dia terjerat hutang pinjol ilegal. Di Bogor, seorang perempuan 25 tahun mengakhiri hidupnya dengan gantung diri karena pinjaman online pada Februari lalu. Kejadian terbaru, Agustus lalu, di Denpasar seorang perempuan berusia 25 tahun melakukan percobaan bunuh diri juga karena hal yang sama. Dalam reportase Kompas (3/2), perempuan paling rentan mengalami kekerasan dalam kasus pinjol.
Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Sosialis, Kapitalisme dan Ketidaksetaraan Gender Adalah Titik Opresi Perempuan
Film ‘Sleep Call’ mengangkat fenomena pinjol ilegal yang saat ini bagaikan ‘cawan madu beracun’. Jika ingin menawarkan pinjaman kepada calon klien, maka gelas madu yang disodorkan. Seperti mantra senyum yang diajarkan setiap pagi. Sebaliknya saat menagih, gelas racunlah yang dituangkan.
Dalam film ini, tidak melulu soal pinjol tetapi lebih dalam tentang kekerasan berlapis pada perempuan bernama Dina, pemeran utama yang dibintangi oleh Laura Basuki. Pinjol hanyalah jembatan untuk menghantar penonton memasuki detail film yang penuh lapisan kekerasan terhadap perempuan. Lewat realitas kejahatan pinjol ilegal yang telah merenggut nyawa banyak peminjam terutama perempuan.
Saya teringat kekerasan berlapis yang digambarkan dalam bentuk jaring laba-laba yang dialami Halosina dalam film ‘Tanah Mama‘ pada mata kuliah kelas kami, Sensitivitas Gender.
Kekerasan Berlapis terhadap Perempuan
Dina adalah salah satu staf perempuan yang bekerja di kantor pinjol ilegal milik Tommy. Dia terjebak sebagai korban pinjol kantor tersebut yang tidak mampu membayar pinjamannya. Ia lantas dipekerjakan oleh Tommy untuk melunasi hutangnya.
Dina terpaksa harus berhutang pada pinjol Tommy untuk membiayai pengobatan ibunya.
Jauh di masa lalunya, Dina mengalami trauma dalam kehidupan keluarganya saat masih kanak-kanak. Kehidupan rumah tangga orangtuanya menyimpan luka yang mendalam bagi Dina. Ayahnya pergi meninggalkan Dina dan ibunya, berujung depresi yang dialami ibu Dina dan akhirnya dirawat di panti.
Tommy dikisahkan sudah memiliki istri dan anak. Tommy memanfaatkan situasi dengan relasi kuasa yang dimilikinya terhadap Dina yang sedang terlilit hutang. Dia mengintimidasi Dina, mengingatkannya tentang hutangnya yang tak kunjung lunas.
Di saat yang sama Tommy memaksa Dina melakukan hubungan seks sebagai bagian dari keringanan pelunasan hutang. Hanya soal jatuh tempo yang dilunakkan, bukan soal jumlah yang dikurangi. Tommy memperkosa Dina.
Bayu, diam-diam menaruh hati pada Dina. Dia membujuk dan juga menggunakan relasi kuasanya agar Dina mau menjalin hubungan cinta dengannya. Dina menolak. Bayu menekan Dina agar menjalan tugasnya untuk menagih hutang pada peminjam, salah satunya adalah Andi.
Baca Juga: ‘Sleep Call’ Perempuan Urban di Pusaran Eksploitase Seksual dan Teknologi Digital
Berbekal cara-cara khas manajemen pinjol ilegal, dengan berat hati Dina mengikuti anjuran rekan kantornya. Dia mengancam Andi untuk melunasi pinjamannya, “Jika Anda tidak segera membayar, kami akan menyebarkan ke seluruh kontak Anda.”
Informasi personal Andi yang menggunakan pinjaman untuk kepentingan istri kedua diungkapkan oleh Dina berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh staf IT kantornya.
Andi menghiba agar pembayaran ditunda. Layaknya kisah pinjol ilegal yang kerap dipublikasikan di media massa, tekanan terhadap Andi membuatnya marah dan stress. Andi berang dan menghadang Dina dalam perjalanan pulang ke rumah. Andi mengancam Dina.
Tekanan bertubi-tubi ini menyebabkan Dina depresi. Ditambah lagi, Dina mendapat kabar yang menyakitkan, Andi kliennya mengakhiri hidupnya dengan gantung diri karena tidak sanggup menghadapi tagihan, tekanan dan intimidasi dari Dina dan timnya. Di saat yang sama, Dina mendapatkan apresiasi atas prestasinya dalam penagihan.
‘Sleep Call‘, Ruang Relaksasi Semu
Pikiran Dina kalut. Jika berhenti bekerja, bagaimana cara melunasi hutangnya, bagaimana cara membayar pengobatan ibunya? Dina kehilangan kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya.
“Gue nyerah jatuh cinta di dunia nyata,” kata Dina. Dia mengikuti anjuran rekan kantornya Bella (Della Dartyan) agar mulai mencari kawan di aplikasi kencan untuk mencari pacar.
Dalam kehidupan sehari-hari masa kini, aplikasi seperti ini kerap digunakan untuk mencari seseorang yang diimpikan akan menjadi pelabuhan hati, pohon rindang di tengah gurun.
Dina akhirnya mendapatkan seorang kawan, namanya Rama. Mereka tidak pernah bertemu. Di dunia maya ini, Rama adalah tempat dia menumpahkan isi hatinya, gundah gulana, keperihannya, lukanya dan kemarahannya. Dalam dunia mereka berdua pula, Dina dapat mencipta dan menikmati indahnya percintaan.
Setiap malam sebelum tidur, Dina dan Rama bercakap hingga kantuk menyergapnya. Dina tertidur dengan senyum dan bahagia. Dina makin kecanduan karena hanya dalam dunia ini dia bisa tersenyum dan bahagia. Aktivitas sebelum tidur Rama dan Dina inilah yang diangkat menjadi judul film ini, Sleep Call.
Sleep Call adalah kebiasaan dalam melakukan panggilan telepon atau video call pada waktu malam hari hingga kedua belah pihak tertidur. Kegiatan sleep call biasanya akan dilakukan oleh pasangan untuk mengobrol hingga larut malam dan keduanya jadi tertidur.
Manipulasi, Intimidasi dan Perkosaan
Jerat jaring laba-laba bagi Dina belum berakhir. Bayangan Rama yang merasuki kesepiannya membawanya dalam halusinasi bayangan semu yang dia ciptakan. Di saat yang sama, Bayu tidak berhenti mengintimidasi, membujuk dan merayunya (masih dengan relasi kuasa dan tekanan sebagai seorang laki-laki patriarki) agar Dina mau menerima lamaran cintanya.
Relasinya dengan Rama yang sangat indah ini membingkai imajinasinya bahwa Bayu adalah Rama. Lagi, Dina terjebak dalam hubungan seks dengan Bayu. Bayu memperkosanya. Sebuah hubungan yang tidak dia inginkan. Dari sisi Bayu, dia merasa menang telah menaklukkan perempuan “keras kepala” ini dengan penisnya.
Tommy dan Bayu menggunakan pemaksaan hubungan seks (baca pemerkosaan) dan relasi kuasa sebagai alat untuk menundukkan Dina. Dalam tekanan psikis dan ketidakberdayaannya Dina membunuh Tommy dan Bayu.
Dalam film ini, sudut pandang penonton (juga Dina) bahwa Ramalah yang melakukan dua pembunuhan ini untuk melindungi dirinya.
Baca Juga: Cuma Jadi Pemanis: 5 Stereotip Negatif Pada Perempuan Penggemar Piala Dunia
Rama sosok yang diandalkan Dina, seperti Rama sang penyelamat yang dinantikan Shinta dari kisah klasik Ramayana. Rama yang akan menyelamatkan Dina dari jeratan “Rahwana” pinjol dan kejahatan patriarki lainnya. Namun Rama kekasih imajiner Dina bukanlah Rama yang dinantikan Shinta.
Di akhir film, Dina menemukan kenyataan bahwa Rama, sang kekasihnya bukanlah lelaki impian dalam lukisan imajinasinya. Bukan kekasih penuh pesona dan menjadi oase kemalangannya, mata air untuk kekeringan batinnya seperti kehangatan yang memeluknya dari dunia yang dingin dan dunia yang kehilangan cinta. Tidak!
Di dunia nyata, Dina menemukan Rama adalah jelmaan Tommy dan Bayu. Dina memilih membunuh Rama dalam imajinasinya, membunuh Rama dalam dunia nyata.
Sebuah narasi satir menutup film ini, “Jika Rama tidak datang kepadamu, selamatkan dirimu. Shinta tidak butuh Rama, karena dalam diri Shinta ada Rama yang menjelma.”
Perjuangan Melawan Patriarki Dari Balik Layar
Selepas 100 menit yang menegangkan, dada yang sesak dan sesekali diselingi isak penonton, kami melanjutkan nonton bareng ini dengan diskusi. Ada delapan puluhan peserta yang terlibat, lebih dari 80% adalah perempuan.

Para penonton dengan beragam latar belakang. Ada aktivis perempuan, jaksa, pemerhati media, pegiat di lembaga internasional, penyintas disabilitas mental, difabel, transpuan, jurnalis, penulis, dokter, ibu rumah tangga, Komnas Perempuan, pegiat dari lembaga HAM lainnya, artis, pegiat dari NU dan Muhammadiyah dan lain-lain.
Seorang perempuan penyintas yang hadir dalam nobar dan diskusi itu pun bicara. Sebagai penyintas, dia tahu betul rasanya dicap ‘kotor’ dan tak layak hidup. Dia mengalami sakit mental hingga membuatnya dibawa ke rumah sakit jiwa. Sampai sana, ternyata tekanan pun bukannya mereda. Dia malah dikurung.
“Sebagai korban nggak ada tempat yang aman. Dan film ini, cukup menjelaskan agar orang bisa paham. It’s hard to be a victim,” ujarnya.
Baca Juga: Dilupakan dan Tak Diperhitungkan: Cerita Perempuan Pekerja Seni di Belakang Panggung
Dia begitu mengapresiasi adanya film ini, agar lebih banyak para korban yang berani bicara. Juga lingkungan terdekat korban yang memberikan dukungan serta ruang yang aman bagi mereka.
“Film ini benar-benar menolong untuk orang yang nggak berani speak up. Saya sangat berterima kasih. Terima kasih sekali.”
Diskusi ini langsung digelar dalam bioskop Kuningan City XXI dan dipandu oleh Sita Aripurnami dan Yuniyanti Chuzaifah. Hampir semua pemeran penentu hadir, kecuali Laura Basuki (Dina) dan Bront Palarae (Tommy). Sutradara film ini Fajar Nugros dan produsernya, Susanti Dewi hadir untuk berdiskusi bersama.
Perasaan saya mirip dengan pendapat beberapa peserta yang merasa seperti hadir dalam film ini. Realitas yang sangat dekat dengan kehidupan hari ini. Relasi manusia yang hambar, relasi kuasa untuk menindas, kelalaian negara memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas mental, motif patriarki yang selalu hadir dalam berbagai laku kehidupan.
Apa yang mereka (sutradara, produser, pemain, penulis naskah) lakukan di balik layar untuk melawan patriarki? Ambil contoh the male gaze yang lazim atau sengaja dilakukan dalam proses pembuatan film. Bagaimana pengambilan gambar dalam adegan-adegan film menggunakan perspektif (naluri dan birahi) laki-laki.
Baca Juga: Apa Sih Makna dari ‘Male Gaze’ dan ‘Female Gaze’ pada Media Visual?
Fajar Nugros dan timnya melawan male gaze ini. Fajar memberikan contoh, “Ketika Dina naik tangga menuju rumah Pak Tommy. Karena dia naik tangga kamera itu akan berpusat di pantat Laura Basuki. Dan itu take berkali-kali. Semua orang bingung. Saya tidak bisa ngomong ke yang lain, Ini agar mata penonton tidak ke pantat. Jadi kaki dulu, baru naik.”
Penonton bisa menyaksikan dalam adegan lainnya, setelah Bayu (Kristo Immanuel) memperkosa Dina, ada gerakan Dina memakai kembali BH-nya. Kamera hanya menampakkan bagian punggung Dina saja.
Susanti Dewi atau Santi memastikan Laura Basuki merasa nyaman saat beradegan intim. Mereka memakai intimacy coordinator.

Setiap hari saat akan mulai ataupun pulang, Santi menanyakan perasaan Laura. Peran Santi sangat penting karena dalam setiap tahapan pengambilan gambar dan keutuhan film ini. Santilah yang menyaring apakah ada eksploitasi, apakah ada male gaze.
Bagaimana dengan pemeran lainnya? Kristo Immanuel berkisah untuk mempersiapkan peran masing-masing diadakan workshop. Para pemain memilih karakternya masing-masing berdasarkan riset yang mereka lakukan.
Adegan pengucapan “mantra senyum marah senyum marah.”
Ada adegan Bayu membentak Mona “Hei marah dong, kayak lu marahin anak lu yang haram itu. Itu sebuah celetukan yang improve ya. Nugros memberikan kebebasan pada kita untuk improve. Memang waktu nonton banyak yang ketawa ya. Sebagai Kristo yang memerankan Bayu, aku merasa sakit. Termasuk saat menjadi cowok yang gaslighting dan manipulatif.”
Adegan gaslighting ini ada dalam percakapan Bayu dan Dina dalam mobil. Waktu itu Bayu menekan Dina untuk menjawab pertanyaan (pernyataan cinta Bayu) hanya dengan jawaban pendek, “ya atau tidak” serta pertanyaan intimidatif lainnya.
Baca Juga: Male Gaze Di Dunia Film: Perlakuan Pada Artis Perempuan
Benedictus Siregar pemeran Surya menyampaikan suara hatinya. Dia menanggapi dan memberi apresiasi atas ide peserta untuk melakukan nonton bareng keliling Indonesia. Pada detik berikutnya, Benedictus terbata-bata mengucapkan kalimat. Dia berhenti sejenak, dengan nada tersendat, dia terisak dan air matanya berlinang.
Benedictus menyampaikan ajakan kepada seluruh peserta dan perempuan lainnya di Indonesia.
“Saya ingin perempuan di Indonesia semua bersatu. Terakhir saya nonton berita ada seorang istri dibunuh suaminya. Dia sudah lapor polisi dan ditolak. Di sini ada kejaksaan juga. Saya ingin perempuan-perempuan Bersatu, gunakanlah power kalian untuk membantu sesama perempuan karena kenyataannya menjadi perempuan itu susah. Tugas kami sebatas memberi karya yang mungkin akan men-trigger penonton. Selanjutnya tugas Bapak Ibu semua untuk merealisasikan bagaimana membantu perempuan di luar sana.”
Saya sebagai penonton, memberikan apresiasi untuk langkah tidak biasa yang diambil IDN Pictures ini. Bagaimana secara terencana mereka membuat film yang berisi kampanye melawan patriarki.
Baca Juga: Patriarki Telah Menyusup dalam Panggung Teater Kita
Misalnya adegan film yang menunjukkan contoh relasi kuasa yang seringkali dalam kehidupan nyata dimanipulasi dengan berbagai alasan (termasuk alasan suka sama suka). Pilihan menggunakan intimacy coordinator, menekan budaya male gaze semoga bisa menjadi contoh bagi pembuat film lainnya di Indonesia.
Satu catatan saya, andaikan saya diperkenankan meramu kalimat ini “Jika Rama tidak datang kepadamu, selamatkan dirimu. Shinta tidak butuh Rama, karena dalam diri Shinta ada Rama yang menjelma.”
Saya akan memilih menggunakan term ini, “Jika Rama tidak datang kepadamu, selamatkan dirimu. Shinta tidak butuh Rama, bukankah dalam diri Shinta ada cinta dan kekuatan yang menjelma.”
Tetap menggunakan Rama pada … dalam diri Shinta ada Rama yang menjelma bukankah juga sedang melanggengkan patriarki (kuasa laki-laki) yang diwakili Rama?
(Foto: Instagram @sleepcall.film)