Korban dari tindakan SM, diduga jumlahnya sangat banyak. Konde.co menemui salah satu korbannya.
Selama ini pasalnya, SM pernah menjadi pengajar di universitas swasta di Bandung pada 2013-2017 dan saat ini mengajar di Universitas Katolik di Bandung. SM juga seorang penulis dan kerap jadi pembicara baik di forum yang diadakan Kelas Isolasi maupun diundang di acara lain.
Lewat banyaknya aktivitas tersebut, SM kemudian bertemu dengan banyak orang, termasuk sejumlah perempuan yang kemudian ia dekati dan dijadikan target.
Seperti dituturkan S, terduga korban yang merupakan seorang content creator salah satu produk di Bandung, kepada Konde.co, Kamis (16/5/24). S mulai tahu sosok SM sejak tahun lalu dari seorang kawannya yang suka dengan gagasan demotivasi yang ditulis SM. Dari situ S dan kawannya sering sharing dan diskusi tentang buku-buku SM. Akhirnya S jadi follower akun Instagram (IG) SM. Saat itu S baru lulus kuliah.
Ia bertemu pertama kali dengan SM di sebuah gedung kesenian di daerah Baranangsiang, Bandung pada 14 September 2023. Saat itu berlangsung pentas teater yang menampilkan naskah Anton Chekov dan SM menjadi penata musiknya. Sehari sebelumnya S membalas story IG SM.
BACA JUGA: Tanda Bahaya Jika Permendikbud Stop Kekerasan Seksual Tersendat di Kzmpus
“Besok aku nonton, kang!,” katanya.
Ternyata komentarnya ditanggapi SM.
“Asik, ketemu yah,” balas SM.
S yang tidak berharap komentarnya ditanggapi ternyata direspons oleh SM. Ini membuat S senang karena penulis yang gagasannya ia sukai ternyata sosok yang rendah hati. Setelah pementasan teater selesai, mereka saling sapa.
“Aku pikir maksud ‘ketemu’ tuh ya udah ketemu face to face biasa untuk say hi. Ternyata dia ngajak ngopi, mbak. Dari situ aku ngerasa agak berlebihan,” ungkap S.
Saat itu S sempat mengabari kawannya soal ajakan dari SM. Mereka akhirnya ngopi di daerah Kiara Condong. S melihat SM sosok yang cukup vokal membahas isu kesetaraan dan feminisme, jadi hari itu S tidak punya prasangka apapun.
Bahkan saking respeknya S pada SM, saat itu ia membeli 4 buku demotivasi SM dan ditandatangani oleh SM.
Saat di kedai kopi itu SM sambil mengajar Kelas Isolasi lewat Zoom dan S membaca buku yang dibelinya. Mereka pulang jam 9 setelah Zoom Kelas Isolasi berakhir. S berniat pulang sendiri tapi dicegah oleh SM. Ia keukeuh mau mengantar S pulang dengan alasan sudah malam.
Karena tidak ada gelagat aneh, S akhirnya mengiyakan. Tapi dalam perjalanan pulang SM mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menurut S aneh.
BACA JUGA: Kalau Kamu Jadi Korabn Kekerasan Seksual, Pilih LApor Satgas TPKS Atau Polisi?
“Aku tipe kamu, bukan?,” tanya SM.
Ia juga melontarkan pernyataan seperti, “Sebenarnya cowok genit tuh bias ya, kalau dengan consent kan nggak apa-apa.”
Atau pernyataan sejenis, “Sebenarnya aku nggak lagi modus sama kamu.”
S merasa aneh ketika SM membahas hal tersebut. Ini lantaran menurutnya pertemuan saat itu adalah pertemuan antara pembaca dan penulis. Karena itu S lantas bersikap tegas.
“Nggak lah, Kang SM bukan tipe aku, justru cocoknya jadi coach aja gitu. Aku juga udah punya pacar,” kata S.
Ketika sampai di depan gang tempat tinggalnya SM minta nomor WA, tapi S mengelak. Setelah pertemuan itu, SM sering DM minta nomor WA. S akhirnya diskusi dengan pacar sekaligus kawan yang mengenalkannya pada buku SM.
Pacarnya menyarankan, “Kasih aja, siapa tahu berguna untuk relasi. Tapi kalau aneh-aneh, langsung blok aja.”
Setelah itu SM kerap mengirim WA berisi pujian, seperti, “kamu cantik”, “kamu menarik”, “aku nyaman sama kamu.”
SM juga minta bertemu, tapi S selalu mencari alasan. S lalu menggiring obrolan flirting itu ke arah diskusi tentang consent, selingkuh dan feminisme.
S juga tanya pandangan SM tentang ‘ngab-ngab’. Istilah ‘ngab’ merupakan kebalikan dari kata ‘bang’ kependekan dari ‘abang”, sapaan untuk figur laki-laki yang lebih tua. Istilah yang awalnya netral ini kemudian mengalami perkembangan makna. Di media sosial (medsos) kadang dipakai untuk merujuk kepada sosok laki-laki problematik yang menunjukkan sifat maskulinitas toksik.
Dari percakapan tersebut S menemukan fakta bahwa, “Oh, ternyata dia patriarki juga ya.” S lalu jarang merespons chat dari SM. Hingga SM suka merajuk, “Ih kok ilaaaanggg.” Pesan-pesan yang membuat S merasa geli atau jijik.
S mencari tahu latar belakang SM dengan mengulik akun medsosnya karena tindakannya dirasa sudah kelewatan.
BACA JUGA: Mau Spill Pelaku Kekeraan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!
“Aku kepoin lah Instagram-nya untuk tahu dia punya istri belum sih, kok berani amat merayu aku. Ternyata udah punya, bahkan udah punya anak,” ujarnya.
S pernah menyampaikan pada SM kalau tindakan yang dia lakukan adalah bentuk kekerasan psikologis terhadap istrinya. Selain juga merupakan bentuk pelecehan terhadap S karena seharusnya SM tidak menganggap S “bisa dijadikan sasaran”.
“Karena aku perempuan yang usianya jauh dari dia dan sebagai pembaca (bukunya), aku merasa dimanfaatkan,” papar S.
Setelah itu S tidak pernah berkomunikasi lagi dengan SM. Hingga pada 1 Desember 2023, sebuah kampus mengadakan kuliah umum mata kuliah Kewarganegaraan dengan topik Musik dan Nasionalisme. Pembicaranya saat itu selain SM, ada juga seorang ahli filsafat dan pelaku musik punk underground dari Bandung.
S berminat untuk datang tapi sudah tidak bisa mendaftar karena sudah penuh. Ia lalu mengirim DM (pesan pribadi) ke SM menanyakan apakah bisa tetap datang walau tidak mendaftar? SM menjawab bisa. Ia melanjutkan percakapan dengan mengajak S untuk bertemu.
S merasa enggan tapi saat itu ia mengiyakan. S berniat memakai kesempatan tersebut untuk menegaskan pada SM bahwa dirinya punya prinsip dan nilai saat nanti bertemu. Mereka bertemu di sebuah kafe dan galeri di kawasan Dago.
Awalnya SM diam dan sibuk dengan laptopnya. S juga diam, membaca buku. SM lalu memulai pembicaraan dan mengajak S untuk pacaran. SM juga menceritakan kehidupan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja dengan istrinya.
Saat itu S mendapat kesempatan untuk menegaskan sikapnya bahwa ia tidak suka dengan SM dan tidak akan pernah mau diajak pacaran. Setelah pertemuan itu SM tidak pernah lagi menghubungi S.
“Aku ngeliat dia malu dan kesal sama aku, and that’s my point,” ujar S.
Saat itu S sempat berpikir untuk speak up soal tindakan SM tapi lantas urung.
BACA JUGA: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?
“Entah kenapa aku tidak merasa sebagai korban. Entah (karena) dia yang suka pakai dalih, ‘aku pakai consent, aku selalu nanya dulu’. Atau juga (karena) aku yang berani untuk ngadepin dia sebagai bentuk perlawananku,” kata S.
April 2024, SM kembali mengirim WhatsApp/ WA. Dia mengabarkan dirinya sudah tidak bersama istrinya.
“Ngopi yuk, aku udah jomlo nih. Kamu nggak usah khawatir bakal nyakitin perempuan lain, istriku udah pergi,” ajak SM.
S menolak dengan tidak menanggapi WA tersebut. Hingga kemudian ramai cuitan di Twitter yang membahas SM dan dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukannya. Ia tak mengira tindakan SM sampai mengirim pesan mesum dan ajakan berhubungan seksual pada korban yang lain.
“Ternyata korbannya sebanyak itu. Bahkan sampai (mengirim) teks mesum dan ajakan hubungan seksual. Dari situ aku merasa diriku pun adalah korban, makanya aku speak up, mbak,” kata S.
Karena itu S ingin ada penyelidikan atas kasus ini. Ia juga berharap para korban mendapat perlindungan dan pemulihan.
“Aku pengennya investigasi soal kasus ini betul-betul dikerjakan dengan baik. Dan ada perlindungan serta pemulihan untuk korban-korban lain yang kasusnya lebih dari flirting itu,” ungkap S.
Ia juga merasa perlu ada sanksi untuk SM.
“Soalnya ngeri juga, title dia sebagai akademisi lah, ahli filsafat lah, bahkan suka jadi speaker untuk ngomongin isu perempuan. Tapi ternyata dia pelaku yang betul-betul gatel banget, jadi (perlu) dikasih sanksi yang fair gitu mbak,” pungkasnya.
Selain S, dari postingan-postingan di X terungkap dugaan adanya korban-korban lain. Hal ini juga diakui Kelas Isolasi dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan untuk menanggapi kasus ini.
Dipecat Dari Kelas Isolasi
Berbagai unggahan di X yang menyebut SM sebagai terduga pelaku kekerasan seksual membuat sejumlah pihak bereaksi.
Kelas Isolasi mengaku menerima berbagai pesan lewat aplikasi X terkait kasus kekerasan seksual yang melibatkan founder dan direkturnya. Pesan-pesan yang diterima pada Kamis (9/5/24) tersebut membuat mereka mengambil sejumlah langkah.
“Kami mengambil tindakan cepat dengan mengunggah cuitan di X mengenai pengambilalihan akun dari pelaku dan hanya ditangani 1 admin. Melalui unggahan tersebut kami juga membuka kanal pengaduan untuk korban lewat mitra advokat Kelas Isolasi, LBH Berani Hadapi,” demikian pernyataan sikap mereka.
Laporan dari para korban masuk baik lewat DM Kelas Isolasi, maupun secara personal ke beberapa anggota Kelas Isolasi. Termasuk juga lewat beberapa teman di luar Kelas Isolasi yang secara sukarela membantu mengawal penanganan kasus tersebut.
Mereka mengungkapkan setiap aduan yang sudah mendapatkan persetujuan korban akan segera diteruskan ke LBH Berani Hadapi. Kelas Isolasi menjelaskan mereka sudah melakukan koordinasi internal pada Kamis (9/5/24) malam. Anggota aktif komunitas ini menyepakati untuk memecat terduga pelaku.
“Kelas Isolasi memutuskan bersama-sama mencabut status Direktur SM dengan tidak hormat. Seluruh tulisan dalam website dan konten Kelas Isolasi yang melibatkan pelaku akan dicabut.”
Selain itu mulai 10 Mei 2024, Kelas Isolasi juga memutuskan untuk menonaktifkan semua program dan menghormati proses investigasi dan penanganan kasus. Mereka menegaskan meski SM sudah menyampaikan permintaan maaf, Kelas Isolasi tetap akan melakukan proses penanganan kasus hingga ada sanksi tegas.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas
“Kami menyepakati bahwa surat permintaan maaf tidak berarti menyelesaikan masalah yang muncul. Karena ada pengutamaan penanganan dan pendampingan para korban, serta sanksi tegas kepada pelaku,” demikian pernyataan mereka.
Kelas Isolasi menegaskan bahwa penanganan kasus dan pendampingan korban dilakukan oleh LBH Berani Hadapi, dan bukan oleh Kelas Isolasi. Kelas Isolasi tetap akan mengawal proses investigasi dan terus mendukung akses keadilan bagi Korban.
“Kami tetap melakukan upaya investigasi secara internal melalui pengumpulan cuitan dan unggahan sosial media terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan pelaku. Temuan kami akan langsung diserahkan kepada LBH Berani Hadapi untuk menjadi bagian dari penyelidikan dan penanganan kasus para Korban.”
Kelas Isolasi berjanji akan segera menyampaikan hasil investigasi, penanganan laporan kasus dari para korban, dan rekomendasi sanksi kepada publik.
“Akan segera kami unggah dalam rilisan pernyataan berikutnya dalam kurun waktu secepatnya.”
Pengakuan Bersalah SM
Sebelum Kelas Isolasi mengeluarkan pernyataan, di hari yang sama SM menyampaikan permohonan maaf dan pengakuan bersalah melalui akun medsos pribadinya.
SM mengakui mengirim pesan lewat Whatsapp, DM X dan IG pada sejumlah orang berisi pesan genit dan flirting. Seperti permintaan foto diri, ajakan bertemu, ajakan berelasi, dan dalam kasus tertentu berujung pada pengiriman pesan mesum, tidak sopan dan tidak senonoh. Bahkan sampai ajakan untuk berhubungan seksual.
Ia mengakui perbuatannya tersebut menyebabkan perasaan tidak nyaman dan bahkan trauma pada korban. Pesan-pesan tersebut dikirim ke sejumlah orang yang ia kenal langsung atau sebatas mutual di media sosial.
BACA JUGA: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan
Pesan-pesan tersebut tidak hanya dikirimkan secara online, tapi juga disampaikan saat bertemu muka.
“Saya mengaku bersalah atas perbuatan yang dilakukan pada saat pertemuan tatap muka dengan sejumlah orang yang saya kenal langsung. Yang menunjukkan dan menyampaikan pesan genit dan flirting. Yang dalam kasus tertentu berujung pada pesan mesum, tidak sopan dan tidak senonoh. Berupa ajakan berelasi hingga ajakan berhubungan seksual, yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan bahkan trauma pada korban,” kata SM.
Menanggapi postingan di X soal kasus kekerasan seksual saat SM mengajar di sebuah universitas pada 2013-2017, ia menyatakan bersedia diperiksa tim investigasi. Ia siap bekerja sama mengikuti proses yang akan berjalan.
“Saya memohon maaf sebesar-besarnya pada para korban. Saya juga memohon maaf pada para pihak yang telah dirugikan akibat perbuatan saya ini,” katanya.
SM mengatakan perbuatannya tersebut adalah murni kesalahan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan komunitas, jejaring, dan pihak-pihak lain. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan akan menanggung biaya pemulihan korban.
“Saya meminta maaf, sangat menyesal atas perbuatan-perbuatan tersebut, berjanji untuk tidak mengulanginya,” kata SM.
“(Saya) bersedia menerima segala konsekuensi dan bekerja sama penuh dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim investigasi. Serta bertanggung jawab menanggung seluruh biaya dan menjalankan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pemulihan psikis para korban.”
Sejumlah Korban Melapor Ke Satgas PPKS UNPAR
Respons terhadap laporan kekerasan seksual yang diduga dilakukan SM juga disampaikan oleh Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Ini lantaran SM juga menjadi pengajar di kampus tersebut. UNPAR mengeluarkan siaran pers pada Senin (13/5/24).
Dalam rilisnya kepada media UNPAR menyatakan menonaktifkan SM yang berstatus sebagai dosen luar biasa di Fakultas Filsafat. SM tercatat mengajar secara team teaching pada satu kelas untuk mata kuliah Filsafat Sosial dan Politik Pada semester genap 2023/2024.
BACA JUGA: Apa Yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kekerasan Seksual?
“Yang bersangkutan sudah tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk tetapi tidak terbatas pada kegiatan akademik dan non akademik di lingkungan UNPAR yang diselenggarakan baik secara daring maupun luring per 13 Mei 2024,” demikian rilis UNPAR.
Penonaktifan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan agar proses pemeriksaan dan pelaporan dapat berjalan. Langkah ini juga diambil untuk mencegah meluasnya kasus dan terjadinya pengulangan perbuatan serupa.
Keputusan ini berimplikasi aktivitas yang dilakukan SM di luar kampus tidak ada lagi sangkut pautnya dengan UNPAR.
“Sejak tanggal tersebut, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan (jika ada) di luar Universitas Katolik Parahyangan tidak terafiliasi dengan kami.”
UNPAR juga membuka layanan pengaduan melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) pada 12 Mei 2024. Aduan atau laporan yang masuk akan jadi dasar bagi UNPAR untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap SM.
Sejak layanan pengaduan untuk kasus SM dibuka pada Minggu (12/5/24) dalam waktu 3 hari sudah ada laporan yang masuk. Ketua Satgas PPKS UNPAR, Niken Savitri mengatakan hingga Rabu (15/5/24) sudah ada korban yang melapor ke Satgas.
“Sudah ada beberapa, tidak lebih dari 5 orang,” kata Niken kepada Konde.co, Rabu (15/5/24).
Dari laporan yang masuk Satgas akan menindaklanjuti dengan memanggil pelapor/korban untuk dimintai keterangan. Diikuti dengan prosedur penanganan kasus seperti diatur dalam Peraturan Rektor Nomor III Tahun 2022.
“Langkah yang diambil Satgas sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang ada dalam Peraturan Rektor (yaitu), pertemuan dengan korban dan verifikasi bukti, pemanggilan terlapor, rapat rekomendasi dan pemberian rekomendasi kepada rektor,” jelasnya.
BACA JUGA: Satgas PPKS di Kampus Rentan Eksploitasi Kerja, Minim Kompensasi dan Mekanisme Pengawasan
“Nanti yang akan memberikan sanksi adalah Rektor sesuai dengan aturan yang ada,” tambahnya.
Niken juga mengungkapkan Satgas berencana untuk memanggil terduga pelaku setelah mereka bertemu dengan korban.
“Sejauh ini Satgas tidak melakukan tindakan apapun kepada pelaku kecuali rencana pemanggilan setelah satgas bertemu dengan para korban,” pungkas Niken.
Penghentian Kerja Sama Oleh Sejumlah Pihak
Selain pemberhentian dengan tidak hormat oleh Kelas Isolasi dan penonaktifan sebagai dosen oleh UNPAR, sejumlah penerbit menghentikan kerja sama dengan SM.
Penerbit yang pernah menerbitkan buku-buku yang ditulis SM mengeluarkan pernyataan memutus kerja sama dengan terduga pelaku. Penerbit Buruan & Co. yang pernah menerbitkan Buku Demotivasi I dan Demotivasi II secara self-publishing mengeluarkan pernyataan sikap pada Jumat (10/5/24).
Pernyataan yang dirilis melalui akun medsos tersebut menyebutkan kerja sama berakhir. “Tidak akan ada lagi kerja sama untuk cetakan ulang berikutnya,” jelas penerbit tersebut.
Mereka menyatakan tidak memberikan toleransi untuk pelaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun. “Kita semua wajib menciptakan ruang aman bagi siapa saja.”
Selain Buruan & Co, penerbit Footnote Press juga mengeluarkan pernyataan di hari yang sama. Footnote Press menerbitkan Buku Charles Handoyo pada 2022 sebagai karya kolaborasi antara SM (penggagas ide cerita) dengan Eko Priyantoro sebagai illustrator.
“Kami mengutuk perilaku dan tindakan kekerasan seksual yang telah dilakukan SM serta mendukung proses penyelidikan dan penyelesaian kasus,” demikian rilis mereka.
“Kami juga berharap hak-hak korban terus terlindungi dan terpenuhi selama proses tersebut berlangsung.”
Footnote Press menyatakan akan menghentikan penjualan buku baik lewat daring maupun luring. Mereka juga akan menarik kembali buku yang telah dikonsinyasikan pada beberapa toko buku yang jadi mitra mereka.
BACA JUGA: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya
Selain itu mereka akan menghentikan promosi buku tersebut dan menghapus konten-konten promosi terkait yang pernah dipublikasikan lewat medsos penerbit Footnote. Sedang akun medsos dengan nama Charles Handoyo dikelola penulis dan bukan merupakan tanggung jawab penerbit Footnote Press.
Tindakan serupa diambil penerbit Cantrik Pustaka yang menerbitkan buku SM dengan judul Seni Berfilsafat Bersama Anak. Cantrik Pustaka mengecam tindakan SM.
“Kami mengecam dan tidak memberi ruang toleransi sedikit pun atas tindak kekerasan seksual, apa pun jenisnya, yang dilakukan oleh SM. Kami mendukung proses investigasi yang independen dan transparan terhadap pelaku sampai hak-hak korban terpenuhi dengan baik,” ungkap penerbit dalam pernyataan sikap.
Pernyataan yang dikeluarkan Jumat (10/5/24) tersebut juga menyebutkan kesepakatan antara penulis dan penerbit batal sesuai ketentuan pasal 8 ayat 3.
“Terhitung sejak kasus pelecehan seksual yang dilakukan SM terkuak ke publik, segala bentuk kerja sama penerbitan otomatis batal dan tidak berlaku lagi untuk seterusnya.”
BACA JUGA: 6 Hal Yang Tidak Boleh Kamu Lakukan Dalam Menangani Pelecehan Seksual
Cantrik Pustaka juga akan menghentikan promosi dan penjualan buku yang terbit pada 2023 tersebut.
“Per hari ini kami akan menghentikan segala bentuk promosi dan penjualan buku tersebut. Kami akan menarik semua buku tersebut. Dan meminta mitra reseller yang terikat kerja sama konsinyasi dengan kami untuk segera mengembalikan semua buku yang tersisa,” kata penerbit.
Mereka juga meminta maaf kepada pihak-pihak yang telah bekerja sama untuk mempromosikan dan mendiskusikan buku SM. Mereka mengakui tidak tertutup kemungkinan kegiatan diskusi yang pernah diselenggarakan justru jadi momentum bagi pelaku untuk bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sehingga memberi peluang munculnya korban-korban baru.
“Kami dengan tegas menyatakan berada di pihak korban. Kami pun terbuka menerima pengaduan dari korban, terutama bila itu terjadi seusai mengikuti kegiatan yang pernah kami selenggarakan.”
Selain penerbit, media independen, Bandung Bergerak dan sejumlah website seperti Indoprogress dan Omong-Omong Media juga mengambil tindakan serupa. Mereka menyatakan menghapus artikel-artikel yang ditulis SM dan dipublikasikan di media dan website tersebut.
SM Persoalkan Pemutusan Kontrak dan Hubungan Kerja
Namun sanksi sosial yang diberikan sejumlah pihak sebagai tanggapan atas dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan SM membuat dirinya kembali mengeluarkan pernyataan.
Dalam pernyataan yang disampaikan Selasa (14/5/24) lewat akun medsosnya, SM membela diri dan “mengancam” sejumlah pihak yang memutus kerja sama.
“Pernyataan pengakuan bersalah atas perbuatan genit dan flirting sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, telah dipakai pihak tertentu untuk membuat tuduhan kepada saya. Bahwa saya telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual,” kata SM.
SM mengatakan kekerasan seksual harus dibuktikan melalui lembaga berwenang seperti Satgas PPKS dan pengadilan. Sebelum tuduhan itu terbukti dirinya berhak menyandang status tidak bersalah berdasarkan asas presumption of innocence.
Karena itu ia menyayangkan tindakan sepihak berupa pemutusan kontrak dan hubungan kerja oleh kampus dan penerbitan tanpa menunggu hasil investigasi. Menurutnya tindakan tersebut punya konsekuensi hukum.
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Penanganan kasus kekerasan seksual dapat memakai 2 jalur, yakni melalui mekanisme internal lembaga atau lewat prosedur hukum. Lucky Endrawati, ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menjelaskan hal tersebut kepada Konde.co, Rabu (15/5/24).
“Untuk kekerasan seksual di lingkungan akademik, penggunaan Permendikbud 30/2021 itu sifatnya internal. Artinya penyelesaian, penanganan, atau pendampingan dan perlindungan korban dilakukan secara internal. Jadi dibatasi oleh kode etik di masing-masing kampus,” papar Lucky.
Sementara penanganan secara eksternal diselesaikan melalui kepolisian atau lewat jalur hukum. Acuan yang dipakai adalah UU TPKS yang berlaku bagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tahun 2022 ke atas.
Pilihan atas kedua mekanisme tersebut merupakan hak korban/penyintas. “Mau pakai jalur internal silakan, mau pakai jalur eksternal juga silakan. Atau pakai dua-duanya. Itu semua dikembalikan kepada korban dan/atau penyintas, karena itu memang pilihan,” ujarnya.
Sementara terkait pengakuan bersalah dari terduga pelaku, Lucky menjelaskan hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pengakuan. Istilah yang dikenal adalah keterangan saksi. Ketika keterangan saksi tersebut dilengkapi dengan bukti permulaan yang cukup, maka statusnya dari penyelidikan bisa naik menjadi penyidikan. Ketika bukti permulaan cukup, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka.
BACA JUGA: 4 Catatan Kritis Belum Optimalnya Implementasi UU TPKS
Dalam kasus ini, pengakuan terduga pelaku identik dengan keterangan saksi. Sementara keterangan saksi termasuk 1 dari 5 alat bukti dalam hukum acara pidana, yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Lalu ditambah perluasan terkait dengan alat bukti UU ITE, seperti misalnya bukti chat, bukti rekaman video, dll. Sementara bukti permulaan yang cukup meliputi 2 alat bukti.
Dalam konteks kasus ini, pengakuan terduga pelaku yang identik dengan keterangan saksi bisa dilengkapi dengan bukti ITE sehingga ada dua bukti permulaan. Dengan begitu kasusnya bisa dinaikkan ke tahap penyidikan.
Lebih lanjut Lucky menegaskan dalam penanganan kasus melalui mekanisme internal, ada kode etik yang menjadi pegangan. Kode etik ini klausulnya bersifat universal, perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma sosial, norma susila, norma hukum.
Dengan begitu ketika seseorang melakukan perbuatan yang dianggap melanggar kode etik, secara kelembagaan (internal) dia bisa mendapat sanksi.
“Karena kode etik itu kan ada sanksinya juga. Dari yang ringan sampai yang paling berat, misalnya dikeluarkan,” terang Lucky.
Karena itu sebuah lembaga bisa mengeluarkan sanksi etik tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan melalui jalur hukum. Ini lantaran kedua mekanisme tersebut punya prosedur penanganan masing-masing. Sanksi etik dan putusan pengadilan tidak saling menafikan.