Stigma dan Perda Diskriminatif Hambat ODHA Akses Layanan Kesehatan

Maraknya perda diskriminatif dengan dalih mencegah penyebaran HIV/AIDS membuat kelompok rentan dan minoritas seksual jadi terhambat atas akses kesehatan. Kondisi ini makin buruk pada perempuan dengan HIV/AIDS. Karena itu pendekatan berbasis HAM dipandang penting dalam penanganan dan pencegahan HIV/AIDS.

Stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHIV/ODHA) masih sering terjadi. Bahkan stigma ini juga datang dari para pihak yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM.

Tak hanya sekali dua kali kita mendengar pernyataan kontroversial dari pejabat publik terkait HIV/AIDS. Biasanya pernyataan tersebut diikuti dengan terbitnya peraturan yang diskriminatif di tingkat daerah.

Pernyataan dan kebijakan tersebut sering kali tidak didasarkan pada kajian akademis dan berpotensi menimbulkan diskriminasi dan kekerasan terhadap ODHA/HIV. Termasuk terhadap minoritas seksual; lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Seperti misalnya pernyataan Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), Mahyeldi Ansharullah pada 2023 lalu. Ia menyatakan jajarannya sedang menyiapkan peraturan daerah (Perda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).

Perda antiminoritas seksual (anti-LGBT) tersebut berangkat dari dalih untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS. Dalih ini didasari asumsi bahwa kelompok minoritas seksual merupakan penyebab utama maraknya penyebaran HIV dan AIDS. Asumsi ini tentu masih perlu dikaji dan dibuktikan kebenarannya. Selain itu mengaitkan kelompok minoritas seksual dengan HIV/AIDS sering kali menjadi pembenaran atas tindakan diskriminasi, persekusi dan kriminalisasi terhadap mereka.

Baca juga: Nasib Malang Pendidikan Penghayat Kepercayaan: Penyuluh Dilarang Mendidik, Murid Dipersekusi, Hingga Problematika RUU Sisdiknas

Sementara data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan hingga Juni 2022, jumlah orang dengan HIV (ODHIV) yang tersebar di seluruh provinsi mencapai 519.158 orang. Data tersebut juga menyebutkan penularan HIV di Indonesia masih didominasi kelompok heteroseksual, yakni sebanyak 28,1 persen dari total keseluruhan kasus. Sedangkan sebanyak 18,7 persen dari total keseluruhan kasus di Indonesia dialami oleh minoritas seksual.

Bisa dibilang langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar tersebut mengikuti kebijakan yang diambil Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor sebelumnya. Pada Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Wali Kota Bogor bahkan sudah mengesahkan Perda Nomor 10/2021 Tentang P4S tersebut.

Langkah Pemkot Bogor tersebut mengundang penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Salah satunya INFID yang menilai Perda Kota Bogor tersebut mengandung unsur pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.

“Kami menilai Perda ini tidak selaras dengan tujuan yang disampaikan dalam dokumen. Sebab masuknya homoseksual, lesbian, dan biseksual dalam perda ini tidak sejalan dengan pengetahuan yang ada. Hal tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia kelompok minoritas seksual dan gender,” jelas INFID dalam rilisnya.

Penolakan juga disampaikan Koalisi Kami Berani. Perda ini dinilai bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”. Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, sudah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Keberadaan perda-perda diskriminatif ini bisa meningkatkan kekerasan berbasis gender dan orientasi seksual. 

Baca juga: Menggugat Pasal Karet Penodaan Agama, Ini Membuka Jalan Bagi Diskriminasi dan Intoleransi

Lebih jauh perda-perda berbasis moralitas juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat 1. Bunyinya, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. 

Selain itu perda diskriminatif juga melanggar Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 3 UU ini berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasandasar manusia, tanpa diskriminasi”.

Munculnya perda-perda diskriminatif ini sebenarnya menunjukkan minimnya pemahaman pembuat kebijakan tentang konsep dasar hak asasi manusia.

Hambat Akses Layanan Kesehatan ODHA

Selain Kota Bogor dan Provinsi Sumatra Barat, sejumlah daerah juga tercatat menyatakan akan mengajukan rancangan perda diskriminatif yang anti-LGBT. Seperti kota Bandung, Garut, Makassar dan Medan.

Perda-perda yang mengatasnamakan moralitas selain berupa perda anti-LGBT juga berbentuk perda larangan pelacuran. Nama perdanya bisa bermacam-macam, tapi ruang lingkup pengaturannya hampir sama. Misalnya perda larangan prostitusi, perda pemberantasan pelacuran, perda larangan perbuatan tuna susila, dan sebagainya. 

Perda-perda semacam ini membuat orang dengan HIV terhambat mengakses layanan kesehatan. Selain itu, orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV akan makin enggan mencari layanan kesehatan. Pasalnya mereka takut akan mendapat stigma dan diskriminasi.

Kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini justru akan menjauhkan upaya pemerintah menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030. Situasi ini juga akan membuat ODHA/HIV yang posisinya sudah terdiskriminasi jadi makin termarginalkan.

Ferry Norila, Koordinator Komunikasi, Kampanye, & Advokasi Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengatakan perda pelarangan pelacuran misalnya akan menghambat akses pekerja seks perempuan ke layanan kesehatan. seperti layanan tes HIV dan akses ke kondom. 

Ferry menjelaskan kalau di salah satu wilayah ada perda larangan prostitusi, dinas kesehatan dan layanan kesehatan akan kesulitan melakukan pengecekan. Misalnya melakukan tes HIV ke teman-teman pekerja seks perempuan.

“Jadi ada yang namanya mobile test, istilah lainnya datang ke lokasi tempat pekerja seks perempuan itu berkumpul. Nah kalau ada perda itu, layanan kesehatan dan Dinkes akan kesulitan untuk melakukan tes. Karena ini sama saja memvalidasi bahwa di situ ada tempat prostitusi. Jadinya mereka (pekerja seks perempuan) tidak akan bisa mendapatkan akses,” ungkap Ferry kepada Konde.co, Jumat (5/7/24).

Baca juga: Aku Tidak Takut Meski Puluhan Kali Diserang dan Dikucilkan: Pengalaman Beragama Perempuan Ahmadiyah

“Walaupun misalnya petugas lapangan bisa mengantarkan pekerja seks perempuan ke layanan kesehatan, tapi dalam pencatatannya tidak diakui sebagai pekerja seks perempuan. Karena itu juga akan memvalidasi bahwa di situ ada pekerja seks perempuan,” tambahnya.

Hambatan lain yang ditemui orang dengan HIV ketika stigma masih kuat adalah layanan kesehatan yang belum ramah terhadap ODHIV. Ini bisa berbentuk pertanyaan atau anjuran moral yang diberikan tenaga medis kepada pasien ODHIV saat berobat atau menjalani pemeriksaan.

“Ketika teman-teman komunitas datang ke layanan (kesehatan), dia tetap dilayani tapi pelayanannya kurang ramah. Kalau dia homoseksual, nanti diceramahin, ‘Kenapa sih nggak kawin sama perempuan aja’, gitu misalnya. Terus kalau dia pekerja seks perempuan, dibilang, ‘Emang kamu nggak ada pekerjaan lainnya selain menjual seks?’ Kayak gitu,” ujar Ferry.

Hasil pemantauan yang dilakukan IAC sepanjang Januari-Mei 2024, terdapat 35 kasus kekerasan yang dialami ODHIV/ODHA berdasarkan lokasi kejadian. 

Sumber: Indonesia AIDS Coalition

Retty Ratnawati Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan perda diskriminatif, apapun bentuk diskriminasinya, pada dasarnya merugikan. Karena itu Komnas Perempuan mendorong penghapusan perda diskriminatif terutama yang menyasar tubuh perempuan. Dalam konteks ini termasuk perda larangan pelacuran dan perda antiminoritas seksual.

Ia menegaskan layanan HIV/AIDS harus bisa diakses siapa saja tanpa kecuali. “Siapapun bisa mendapatkan layanan HIV/AIDS di setiap puskesmas pemerintah dan itu free. Kalau biasanya perempuan yang dilacurkan (pedila) didatangi, sekarang mereka harus mencari layanan kesehatan sendiri. Jadi dibutuhkan sosialisasi bahwa layanan HIV/AIDS bisa diakses di mana saja, oleh siapa saja tanpa ada diskriminasi,” papar Retty kepada Konde.co, Senin (8/7/24).

Perempuan dengan HIV/AIDS Lebih Rentan

Situasi yang dihadapi orang dengan HIV akan menjadi lebih rumit ketika dirinya adalah perempuan. Ini lantaran perempuan dengan HIV dan AIDS mengalami semua bentuk kekerasan atau kental dengan diskriminasi gender.

“Jadi misalnya dia (seorang perempuan) diperiksa dan ketahuan kalau HIV positif, lalu dia bilang sama suaminya. Harusnya suaminya kan diperiksa juga tapi kemudian suaminya tidak mau. Suaminya ini malah melakukan kekerasan terhadap istrinya atau istrinya tidak boleh datang ke layanan kesehatan. Kemudian bisa jadi dia dipaksa untuk melakukan sterilisasi. Jadi bertubi-tubilah kekerasan terhadap si istri ini karena dia adalah perempuan dengan HIV,” beber Retty.

Singkatnya permasalahan perempuan dengan HIV sangat kental dengan diskriminasi gender. Selain karena pasangan yang lebih dominan, perempuan dan anak yang akhirnya menjadi korban, menyandang stigma seumur hidup terutama dari lingkungannya. Mereka juga bisa kehilangan hak bereproduksinya. Perempuan lebih rentan karena peran tradisional mereka dalam masyarakat, terutama dalam hal perannya dalam rumah tangga.

Siaran pers Komnas Perempuan pada Hari AIDS sedunia pada 2021 menyebutkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan pada 2017-2021 ada 229 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV/AIDS (PDHA).

Dari jumlah tersebut, 89%-nya mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan. Sementara 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis, dalam bentuk stigma dan pengucilan, juga 12 kasus pengusiran dan 88% mengalami kekerasan seksual. PDHA juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami dalam bentuk penganiayaan. Selain itu, mereka juga mengalami kekerasan ekonomi misalnya ditinggalkan dan ditelantarkan oleh pasangan.

Baca juga: Memeluk Perdamaian, Menerima dan Membuka Identitas, Mengakui Dosa Bangsa: Pengalaman Beragama Perempuan Penyintas Tragedi 1965

Pelaku terjadinya kekerasan tersebut adalah anggota keluarga sebanyak 93% dengan mayoritas pelaku adalah suami (86%). Pada tatanan kesehatan, dengan memiliki pasangan seksual lebih dari satu, akan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terpapar infeksi menular seksual, atau HIV/AIDS.

Sementara data Kementerian Kesehatan (2021) menunjukkan dari total populasi ODHA di Indonesia, sebanyak 35% adalah perempuan dengan HIV dan 33% hidup dengan AIDS. Data juga menunjukkan 70% infeksi baru dialami oleh kelompok heteroseksual. Pada tahun 2018, jumlah infeksi baru pada ibu rumah tangga sebanyak 16,405 kasus. Data ini menunjukkan tingginya kerentanan perempuan ibu rumah tangga tertular dari pasangannya. 

Menurut UNAIDS (2019), perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya. Sedangkan NACA (2019) menunjukkan perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan kerentanan perempuan positif yang hamil terhadap kekerasan fisik di masa kehamilan tercatat 6 kali lipat lebih rentan.

Karena itu Komnas Perempuan melihat perlu ada layanan yang terintegrasi bagi perempuan dengan HIV/AIDS yang juga korban kekerasan. Selain itu perlu ada terobosan kebijakan terkait ketersediaan obat, tenaga kesehatan, layanan konseling, dan rumah aman.

Pentingnya Pendekatan HAM

Masih kuatnya stigma terhadap ODHA di layanan kesehatan coba diatasi IAC dengan mengadakan pelatihan etika medis bagi tenaga kesehatan. Harapannya tenaga kesehatan yang melayani ODHA bisa mengedepankan profesionalitas dalam bekerja.

“Tidak masalah mereka punya nilai atau pandangan sendiri terhadap LGBT karena pengaruh nilai agama atau nilai budaya. Tapi nilai-nilai tersebut jangan sampai mempengaruhi profesionalitas mereka. Jangan sampai ketika melayani (ODHA) mereka menjadi tidak ramah atau bahkan tidak menerima layanan,” papar Ferry. 

Tahun ini merupakan tahun kedua IAC mengadakan pelatihan etika medis. Sejauh ini dari pemantauan yang mereka lakukan di wilayah-wilayah yang mendapatkan intervensi pelatihan etika medis, layanan kesehatannya sudah lebih baik. 

“Masalahnya pelatihan etika medis ini hanya dilakukan di sebagian kecil kota Indonesia saja. Tahun ini hanya di 34 kota/kabupaten sedangkan kota/kabupaten di Indonesia ada ratusan,” ujar Ferry. 

Ia menambahkan penting juga untuk mengadvokasi regulasi-regulasi yang antidiskriminasi dalam penanganan HIV/AIDS. Karena itu pihaknya mengidentifikasi aturan-aturan yang diskriminatif dan selanjutnya melakukan advokasi untuk mengubah regulasi tersebut.

Selain regulasi yang diskriminatif, ada juga aturan yang berseberangan. Misalnya layanan kesehatan sudah punya standar pelayanan minimal (SPM) tentang penanganan dan pencegahan HIV, tapi regulasi di tingkat atasnya berseberangan. Akhirnya upaya penanganan dan pencegahannya jadi tidak maksimal.

Baca juga: Menerima Diri, Menerima Tuhan, Menerima Kasih: Cerita Perjalanan Spiritual Transpuan

Misalnya terkait ketentuan dalam KUHP yang mengatur soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan. Tindakan ini tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang. Petugas yang berwenang ini termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang.

Ferry berpendapat pasal ini berpotensi menghambat program pencegahan HIV yang salah satunya dilakukan dengan membagikan kondom. Bahkan bisa mengkriminalisasi petugas lapangan yang membagikan kondom. 

Sementara Retty menekankan pentingnya pendekatan berbasis HAM universal dalam penanganan dan pencegahan HIV/AIDS. “ODHA harus mendapat perlakuan sesuai dengan HAM universal. Mereka berhak untuk hidup, berhak untuk mendapatkan informasi, dan berhak mendapatkan layanan yang sudah disediakan negara,” tuturnya. 

Retty menambahkan tidak ada yang boleh menghalang-halangi ODHA untuk mendapatkan haknya. Karena ODHA juga manusia, ketika dia sakit seharusnya tidak ditinggal atau dibiarkan melainkan diobati. 

Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan Konde.co sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di situs INFID.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!