Pernah nggak, kalian ingin melihat trending topic media sosial—misalnya X—tapi saat diklik, malah muncul foto-foto atau konten perempuan yang bernuansa seksual?
Sadar atau tidak, mungkin sebagian dari kita sudah mengalaminya 1-2 kali, atau bahkan berkali-kali setiap mengecek konten yang sedang ramai di media sosial.
Contohnya, di halaman trending topic artis terkenal, muncul sejumlah konten vulgar yang tidak berhubungan sama sekali dengan pemberitaan terkait dirinya. Konten tersebut bisa jadi muncul di kolom reply atau dalam tagar khusus. Tidak hanya mendistribusikan, banyak akun pengguna juga melakukan jual-menjual konten pornografi. Lagi-lagi, kebanyakan sosok yang dijadikan objek adalah perempuan.
Hmm… kenapa begitu, ya?
Ternak Akun Pornografi: Dari Reply Sampai Trending Topic
Makin meluasnya jangkauan akses terhadap media sosial seperti X, membuat fenomena penyebaran konten berbau pornografi pun kian marak. Sengaja atau tidak sengaja, pengguna media sosial sedikitnya terpapar dengan konten-konten seperti itu.
Akun-akun yang dibuat khusus untuk “mengoleksi” konten dewasa pun banyak ditemukan di X. Salah satu yang paling banyak terjadi adalah penyebaran konten-konten pribadi bernuansa seksual seseorang, biasanya selebritas atau influencer ternama.
Bukan cuma di X, kejadian serupa juga marak terjadi di platform media sosial lainnya, salah satunya TikTok. Biasanya, para “distributor” menggunakan kata kunci khusus yang memang sudah biasa digunakan dalam kegiatan sebar-menyebar konten-konten tersebut.
“Share link”, “Info link DM”, dan kalimat-kalimat serupa digunakan dalam ruang penyebaran konten pribadi secara ilegal di media sosial. Tak lupa pula menggunakan tagar yang bernuansa seksual dan mengobjektifikasi perempuan. Selain itu, prostitusi secara digital pun marak terjadi. Unggahan-unggahan semacam itu dapat dengan mudah diakses oleh siapa pun yang memiliki akun media sosial dengan menggunakan kata kunci tertentu.
Bahkan, tak perlu repot-repot mencari. Terkadang konten pornografi di X muncul dengan sendirinya saat kita mengakses topik yang sedang ramai dibahas di bawah tagar yang sedang menjadi trending topic. Ia juga bisa muncul tanpa persetujuan ketika kita tidak sengaja menulis kata kunci yang biasa mereka gunakan. Para distributor konten pornografi tak segan menyambangi akun orang lain yang tak sengaja menggunakan kata kunci “pancingan” mereka, lalu membalas cuitannya.
Yang kemudian menjadi pertanyaan: bagaimana konten-konten tersebut didistribusikan dan dapat dengan bebas tersebar luas di media sosial? Apakah tindak penyebaran konten pribadi tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan dalam ruang digital?
Kebijakan Platform
Jika mengacu kepada kebijakan X, konten dewasa bernuansa seksual diizinkan untuk beredar dan diakses oleh siapapun selama disukai oleh pengguna lain yang melihatnya dan diberi label/tags dengan jelas.
Bagi X, pengguna yang membuat, membagikan, dan mengonsumsi konten yang bersifat seksual merupakan bagian dari ekspresi artistik yang sah selama dilakukan secara konsensual.
Selain itu, X juga memperbolehkan pengguna untuk mendistribusikan konten kekerasan selama tidak mencolok dan tidak mengandung kekerasan seksual.
Namun, kebijakan X ini juga menerapkan bahwa anak-anak di bawah 18 tahun maupun pengguna yang tidak mencantumkan tanggal lahirnya tidak dapat mengakses konten-konten dewasa. Pun, pengguna dewasa dapat memilih agar X tidak menampilkan konten dewasa di laman X mereka. Jadi, meski “dibatasi” sesuai dengan usia, konten dewasa masih bebas diakses oleh pengguna.
Di Indonesia, penyebaran konten dewasa ini dapat dijerat dengan aturan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 UU ITE menyebutkan bahwa tindakan menyebarkan foto/gambar dan video bermuatan pornografi pada dasarnya dilarang. Jadi, seseorang dapat dipidana karena dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan bahkan membuatnya dapat diakses melalui media elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Hukumannya? Enam tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Baca juga: #KBGOut: Deepfake Serang Jurnalis Perempuan, Pembuat Konten Gunakan Perempuan sebagai Tools
Maka, jangan heran kalau ada beberapa wacana pemerintah ingin memblokir platform A, B, atau C, yang dianggap sebagai medium distribusi konten pornografi. Selain memang di Indonesia masih cukup sensitif terhadap semua hal yang berbau seksual. Beberapa platform digital yang pernah diblokir oleh Kominfo antara lain Telegram, Tumblr, Bigo Live, dan Reddit. Platform tersebut diblokir dengan alasan banyak memuat konten terlarang yang salah satunya adalah pornografi.
Lebih Dari Itu, Ini Termasuk KBGO!
Nah, apa yang terjadi kalau tidak dilakukan secara konsensual—atau bahkan memanipulasi konten dewasa menggunakan wajah seseorang tanpa sepengetahuan dan consent?
Meski kebijakan X telah mengatur konten dewasa yang tidak dilakukan secara konsensual dapat dilaporkan (report), tetapi kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) marak terjadi. Belum lagi, memang aparat penegak hukum (APH) di Indonesia memiliki kecenderungan “cepat tanggap” dalam memberantas konten dewasa/pornografi. Namun, kecenderungan tersebut tidak diiringi dengan tujuan untuk mencegah tindak kekerasan seksual maupun melindungi korban KBGO.
Persis ujaran netizen yang kerap ditemukan. Polisi mah, cepat kalau urusan pornografi. Akan tetapi, yang dilakukan hanya sebatas menyusuri konten dewasa di media sosial. Lalu menangkap pelaku—bahkan korban ikut ditangkap dan dianggap pelaku. Alih-alih mengidentifikasi apakah korban (yang mayoritas perempuan) dijebak atau dipaksa yang mengarah pada eksploitasi seksual.
Baca juga: Pemberitaan KBGO Harusnya Berperspektif Korban, Media Jangan Nirempati
Arus pertukaran informasi yang cepat kilat di media sosial banyak diminati oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia (atau bahkan dunia). Tidak hanya dapat menyajikan informasi secara real-time, penyebaran informasi di media sosial sangat luas. Hal ini dikarenakan ada banyak akun pengguna yang bisa meneruskan informasi kapanpun. Maka, tidak heran, kita bisa mengetahui banyak hal atau peristiwa yang tidak terjadi dan jauh dari daerah tempat kita tinggal.
Ini akan menjadi sangat buruk bagi penyebaran konten seksual yang mengarah pada KBGO. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), perekaman atau pengambilan gambar tanpa persetujuan/consent termasuk ke dalam KBGO. Banyak terjadi kasus penyebaran gambar ataupun video seksual yang diambil tanpa persetujuan. Belum lagi kita juga harus menyadari bahwa meski konten sudah dihapus, tapi belum tentu kita dapat memastikan apakah konten KBGO sudah betul-betul terhapus di ruang digital, atau malah disimpan atau didistribusikan lagi oleh pengguna lain.
Untuk itu jejak digital sangat sulit dihilangkan begitu saja dari peredaran dan dapat makin memperparah trauma yang dialami oleh korban KBGO.
Perempuan Masih Rentan dalam Ruang Digital
Gertakan pemerintah dalam “memberantas” pornografi di ruang-ruang digital menjadi contoh lain dari implementasi kebijakan yang tidak berperspektif korban. Diperparah dengan kebijakan dari platform X yang memperbolehkan diunggahnya konten pornografi di sana. Memang, konten yang diunggah harus konsensual dan tidak mengandung unsur kekerasan. Tetapi sekarang realitanya, X masih menjadi sarang konten pribadi yang disebar tanpa persetujuan. Bahkan menjadi “tempat” maraknya penyebaran foto/video intim tanpa persetujuan. Perempuan dan anak di bawah umur masih menjadi kelompok yang rentan akan KBGO di media sosial.
Fokus yang ada dalam pembenahan kasus seperti ini selalu terbatas berpusat pada penghapusan, pemblokiran, dan penghukuman kepada orang-orang di balik akun-akun pornografi tersebut. Namun, proses pemulihan korban malah diabaikan, bahkan tak sedikit korban yang dikriminalisasi. Dalam lingkaran penyebaran konten pribadi di media sosial, khususnya dalam kasus penyebaran foto/video intim tanpa persetujuan. Korban, terlebih jika seorang perempuan, selalu menjadi pihak yang disalahkan.
Bukannya menyalahkan dan menindak pelaku yang menyebar tanpa persetujuan, tetapi korban perempuan malah makin dipermalukan di ruang digital. Hal ini makin mempersempit ruang gerak perempuan di dunia digital, meletakkan perempuan dalam posisi rentan akan KBGO. Belum lagi jika korbannya merupakan seorang publik figur atau masih di bawah umur.
Seharusnya tindak lanjut kasus KBGO, termasuk pornografi dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan yang mengobjektifikasi perempuan, tak luput memastikan keadilan dan perlindungan bagi korban. Jika pihak platform media sosial dan penegak hukum menggunakan perspektif korban, kita mungkin bisa selangkah lebih maju dalam memutus rantai KBGO. Jangan sampai korban malah mengalami reviktimisasi akibat penindakan kasus KBGO yang tidak berpihak pada mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Series #StopNgelesUUTPKS, serial tentang liputan kasus-kasus kekerasan seksual dan implementasi UU TPKS.