Nana (32), pernah berhari-hari dirawat di rumah sakit akibat asam lambung. Ia mengalami stres dan kecapean. Selama berbulan-bulan, pola hidupnya memang kacau: sering begadang, telat makan, dan banyak pikiran.
Itulah kondisi yang terjadi pada Nana, dosen di salah satu universitas negeri di Sumatera, saat awal masuk kampus. Bukan hanya rentetan beban kerja yang harus ditanggung, dosen yang kini berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) itu mengalami telat gaji selama 3 bulan. Pun dengan uang makannya yang tidak cair.
Dalam sebulan, Nana menerima gaji pokok dan uang makan. Gaji yang diterima oleh Nana juga masih 80% (senilai Rp 2,3 juta). Ditambah uang makan sebulan Rp 700 ribu. Remunerasi di kampusnya hanya berlaku bagi dosen dengan status PNS.
Dia jadi kembali mengingat perkataan Dekannya ketika menyambut dosen baru seperti dirinya. Dalam bahasa daerah di Sumatera, Dekan fakultasnya itu sempat menyampaikan: “Dosen itu kerjanya banyak, tapi gajinya kecil”. Saat itu, dia belum tergambar apa yang akan terjadi, namun setelah menjalani pelan-pelan dia mengamini.
“Itu bercandaan dari Dekanku waktu pertama kali dia menyambut kami sebagai dosen CPNS. Dia bilang, selamat datang para calon dosen, yang kerjanya banyak gajinya kecil,” cerita Nana sambil terkekeh, saat berbincang dengan Konde.co, Jumat malam (18/1/2025).
Baca Juga: Urgensi Dosen Berserikat: Ini Cerita Para Dosen Perempuan
Saat masa pendidikan dasar (Latsar) CPNS, Nana hampir tiap malam selalu tidur terlambat. Sebab pukul 12 malam pun, masih berkutat dengan berkas-berkas tugas. Dalam sekali Latsar biasanya ada empat tugas yang harus diselesaikan dalam waktu singkat.
Sebagai dosen CPNS, Nana sehari-hari kini harus mengajar, penelitian, dan pengabdian. Tak jarang, kegiatannya itu mesti Ia tempuh sampai lintas daerah. Belum lagi, dia mesti jadi panitia kegiatan ini-itu yang seringnya “diserahkan” fakultas ke dosen muda seperti dirinya.
“Dilihatnya oh enak ya jadi dosen ngajar cuma 4 jam, tapi nggak. Di kepalaku tuh, isinya kayak: ini gimana ya, itu gimana, ini nulisnya gimana, ini apa yang harus disiapin,” kata dia.
Nana mengungkap, beban kerja yang banyak itu diperparah dengan sistem pengajaran yang Ia nilai amburadul. Sebagai dosen muda, dia bersama teman-temannya, tak mendapatkan hak informasi yang valid. Misalnya terkait jam mengajar tim yang tidak transparan sampai urusan administrasi yang serba “autopilot” karena tidak ada panduan yang jelas.
“Kita harus belajar semuanya sendiri, kayak gimana sih cara ngisi ini segala macam,” lanjutnya.
Di satu sisi, dia pun harus ekstra keras untuk mencari tahu informasi dan aktif berjejaring dengan senior dosen. “Dan mau gak mau, harus ngekor sama senior. Mau nggak mau, harus jadi ‘anak baik’ dengan segala drama-dramanya,” kata dia.
Nana bilang, situasi dosen perempuan juga rentan mengalami diskriminasi di lingkungan kampus. Dia mencontohkan, jurusan hukum di kampusnya, cenderung lebih sulit menerima dosen perempuan. Itu disebabkan adanya stereotip gender bahwa menerima dosen perempuan akan “lebih repot” karena ada cuti maternitas sampai potensi pindah tugas karena ikut suami.
Baca Juga: UKT Naik, Pendidikan Tak Terjangkau, Aktivis Tuntut Tanggungjawab Pemerintah
Nana termasuk dosen angkatan termuda di kampusnya. Dia masuk per Agustus 2024. Total CPNS di fakultasnya sekitar 20 orang. Sementara di kampusnya mencapai hampir 200 dosen baru.
Perempuan yang kini turut bergabung di Serikat Pekerja Kampus (SPK) ini pun, pernah melakukan advokasi rekan-rekan dosennya saat uang makan tidak cair di kampusnya. Dia membuat draft untuk menyurati rektor (mirip somasi), dengan argumentasi berbasiskan dasar hukum, agar uang makan yang sudah 2 bulan telat bisa segera cair.
Teman-temannya yang sebelumnya gagal mengajukan hak uang makan ke rektorat, akhirnya meminta bantuan Nana agar membuatkan surat. Mereka melihat, Nana sebagai dosen hukum yang pernah mengajari soal cara menuntut hak.
Nana yang saat itu, tengah di rawat di rumah sakit karena asam lambung pun, membuatkan draft surat itu. Berbekal pengalamannya bekerja di lembaga bantuan hukum, suratnya “menggertak” rektorat. Dia wanti-wanti rektorat, jika mengabaikan tuntutan, akan dilaporkan ke Ombudsman. Tak kurang dari 3 hari, uang makan mereka pun akhirnya cair.
“Ini kemenangan kecil kami,” kata dia.
Menyoal tunjangan kinerja (Tukin), rekan-rekan dosennya juga banyak yang menanyakan. Karena sebagai ASN, hanya dosen di kemendikti Saintek yang tidak dapat. Beda dengan kementerian-kementerian lain. Nana menjawab “Ini masalah struktural. Kalian kalau ngomongin tukin, jangan di sini aja. Tapi berserikat sama dosen-dosen yang lain,” katanya.
Baca Juga: Perempuan Desa Gak Perlu Sekolah? Ini Mitos dan Stigma Patriarki
Nana sepakat, ada ketidakadilan dengan tidak dibayarkannya tukin pada kalangan dosen seperti dirinya yang ada di Kemendikti Saintek. Terlebih, bagi dosen yang sudah bertahun bahkan puluhan tahun mengajar. Dia harus menanggung biaya hidup pasangan dan anak, ditambah jika dia perantau.
Bagi dirinya yang kini masih single dan bukan perantau saja, gaji pokok dan uang makan pas-pas-an untuk hidup. Makanya, Nana harus memutar otak untuk side hustle (mencari uang tambahan) berbekal gelar dan pengalamannya sebagai pengacara.
Sebagai dosen di universitas negeri, Nana juga merasa termasuk yang “masih beruntung”. Dia tidak harus se-berjuang dosen-dosen dari universitas swasta. Sebab mereka, selain berjibaku dengan beban kerja, juga harus “mati-matian” mencari murid. Jika tidak ada murid, siap-siap kampusnya gulung tikar.
Dia mencontohkan kasus beberapa waktu lalu, salah satu kampus swasta di Bandung yang terancam tutup karena duitnya dikorupsi. Situasinya pun, kampusnya sepi peminat. Dosen-dosennya juga telat dibayar. Jadi, kampus swasta tantangannya semakin berat karena semuanya bergantung pada pemasukan dari mahasiswa.
Makanya tak heran kata Nana, kampus saat ini sistemnya sudah seperti pola pikir bisnis. Pemerintah seolah-olah membiarkan bahkan mendesakkan, kepada perguruan tinggi swasta untuk pontang-panting mencari pemasukan secara mandiri.
“Udah, makanya, kayak tagar ‘Jangan Jadi Dosen’ itu jadi masuk akal deh,” ujarnya.
Baca Juga: Belajar dari Kasus NewJeans, Kelas Pekerja Gen Z Lawan Stigma dan Kekerasan di Tempat Kerja
Sejak setahun ini, tagar Jangan Jadi Dosen memang menggema di medsos. SPK menyebut, tuntutan yang muncul dari tagar #JanganJadiDosen mencerminkan masalah yang mendalam dalam sistem pendidikan Indonesia. Khususnya terkait penghargaan dan kesejahteraan bagi para dosen di perguruan tinggi. Analisis dari berbagai unggahan di media sosial menunjukkan, masalah utama yang ditekankan adalah rendahnya gaji dan tunjangan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh para dosen. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan kesulitan finansial bagi para dosen. Terutama mereka yang bekerja di perguruan tinggi swasta atau lembaga non-pemerintah.
Selain masalah finansial, tuntutan ini juga menyoroti ketidaksetaraan antara honorarium dosen dengan tuntutan dan tanggung jawab yang mereka emban. Dosen dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks seperti mengajar, melakukan penelitian, membimbing mahasiswa, dan berpartisipasi dalam kegiatan akademik lainnya. Namun, kompensasi yang mereka terima tidak sebanding dengan upaya dan waktu yang mereka curahkan dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
“Hal ini mencerminkan perlunya penyesuaian sistem penggajian dosen agar lebih adil dan sesuai dengan kontribusi mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan,” tulis SPK.
Baca Juga: Upah Tak Cukup, 76 Persen Buruh Terjerat Hutang Rentenir Modern
Selain itu, tagar #JanganJadiDosen juga mengekspos ketidakpastian dalam karir akademik. Terutama bagi dosen non-pemerintah atau berstatus tidak tetap. Banyak dosen yang mengalami kondisi kontrak kerja yang tidak jelas, termasuk perihal perpanjangan kontrak atau kemungkinan pengangkatan sebagai dosen tetap. Ketidakpastian ini memberikan tekanan tambahan bagi para dosen dan dapat menghambat produktivitas serta motivasi mereka dalam menjalankan tugas-tugas akademiknya.
Dalam konteks ini, tuntutan #JanganJadiDosen dapat dipandang sebagai upaya para dosen untuk menyuarakan hak-hak mereka dalam mendapatkan perlakuan yang adil dan layak sebagai tenaga pendidik. Masalah kesejahteraan dan penghargaan bagi dosen bukan hanya masalah individual, tetapi juga berkaitan dengan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
“Oleh karena itu, tuntutan ini juga menekankan pentingnya peran pemerintah dan lembaga terkait dalam memperbaiki sistem pendidikan dan menjamin kesejahteraan para dosen. Reformasi dalam pengaturan kebijakan penggajian, perlindungan tenaga kerja akademik, serta peningkatan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur pendidikan merupakan langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan para dosen di Indonesia,” katanya.
Dosen Bersolidaritas Desak Tukin Segera Dibayarkan
Puluhan karangan bunga terpampang di depan kantor Kemendikti Saintek pada 6 Januari 2025. Bunga-bunga di papan itu jadi simbolik aksi protes yang dilakukan oleh Aliansi Dosen ASN Kemendikti Saintek di seluruh Indonesia (ADAKSI). Mereka mengungkapkan kekecewaan karena belum terealisasikannya tukin dosen ASN yang dijanjikan sejak 2020.
Itu merujuk pada pelaksanaan teknis pembayaran yang masih berlaku, yaitu berdasarkan Perpres No. 136 Tahun 2018, Permendikbud No. 49 Tahun 2020 dan Kepmendikbud Ristek 447/P/2024.
Mereka mendesak Kemendikti Saintek untuk melakukan revisi anggaran kementerian Rp 57 T tahun 2025 agar Tunjangan kinerja dosen segera dapat dibayarkan.
“Jika sampai tanggal 24 Januari 2025 tidak ada kejelasan soal revisi anggaran untuk tunjangan kinerja dosen, maka ADAKSI akan melakukan aksi serentak secara nasional,” tulis mereka dalam hasil konsolidasi Nasional ADAKSI.
Gelombang protes pun kian bergejolak usai Mendikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, membuat pernyataan bahwa anggaran tukin dosen yang mencapai 2,8 triliun rupiah tidak dapat direalisasikan, lantaran adanya perubahan nomenklatur. Yaitu dari Kemendikbud menjadi Kemdiktisaintek, yang diklaim menghambat proses administrasi pemberian tunjangan. Namun, dosen yang berada di bawah kementerian lain tetap menerima tunjangan kinerja sesuai aturan yang berlaku.
Baca Juga: ‘Love and Labour’: Cinta dan Perjuangan Myrtle Witbooi
Serikat Pekerja Fisipol UGM (SPF) mengeluarkan pernyataan resmi, situasi tersebut dapat berdampak menciptakan praktik diskriminasi di antara ASN di Indonesia, khususnya terhadap dosen di bawah naungan Kemdiktisaintek, yang berhak atas pengakuan dan penghargaan yang setara.
Mereka menolak alasan permasalahan administrasi perubahan nomenklatur sebagai pembenaran kebijakan untuk tidak memberikan tunjangan kinerja bagi para dosen ASN Kemdiktisaintek.
“Melihat kebijakan untuk tidak memberikan tunjangan kinerja bagi para dosen ASN Kemdiktisaintek sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk mengayomi para dosen ASN Kemendiktisaintek dalam upaya mereka menjalankan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata mereka.
SPF lantas mendesak pemerintah mempercepat proses administrasi dan penyelesaian teknis terkait nomenklatur kementerian. Selain itu, mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan pembayaran Tukin bagi dosen ASN Kemdiktisaintek yang telah tertunda sejak 2020. Pembayaran ini seharusnya dilakukan sebagaimana Tukin telah diberikan kepada dosen ASN di Kementerian lain sejak 2015.
“Mendesak badan anggaran DPR dan Kementerian Keuangan untuk segera menyetujui anggaran tunjangan dosen ASN Kemdiktisaintek,” lanjutnya.
Untuk diketahui, Serikat Pekerja Fisipol UGM terdiri dari berbagai elemen pekerja kampus seperti Dosen ASN, Dosen Non-ASN, Tenaga Kependidikan, maupun pekerja kampus yang berstatus kontrak dan honorer. SPF UGM mendukung hasil konsolidasi nasional Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) yang akan melakukan aksi serentak secara nasional apabila anggaran tukin dosen tidak mendapatkan kejelasan sampai dengan tanggal 24 Januari 2025.
Baca Juga: Pergub DKI Jakarta 2/2025: Benarkah Mengatur Poligami atau Justru Mendiskriminasi Perempuan?
“Kami percaya bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai para pendidiknya, dan kebijakan yang adil adalah pondasi bagi pendidikan tinggi yang bermartabat dan berkualitas,” tulis SPF.
Dalam diskusi yang diikuti Konde.co, para dosen yang tergabung dalam Serikat Pekerja Kampus pun mengkritisi mangkirnya pemerintah untuk menjalankan amanat UU dalam pembayaran tukin.
Fatimah dari Serikat Pekerja Kampus menyoroti ketimpangan upah yang diterima oleh dosen kemendikti saintek dibandingkan dosen di kementerian lain. Akibat tukin yang tak pernah dibayarkan.
(Tangkapan layar paparan Fatimah)
“Selama ini, gaji yang diterima dosen (Kemendikti Saintek) di Indonesia masih belum bisa disebut layak,” kata Fatimah dalam diskusi Dilema Serikat Pekerja Kampus.
Survei Tim Riset Kesejahteraan Dosen (UGM-UI-Unram, 2023) menunjukkan 42,9% dosen berpenghasilan tetap di bawah Rp 3 juta, 29,8% Rp 3-5 juta dan hanya 27,3% di atas Rp 5 juta. Survei ini melibatkan hampir 1.200 dosen aktif. Mayoritas bergelar S2 (82,2%) dan memiliki pengalaman kerja 0-10 tahun (79,8%).
Dosen berpenghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan umumnya berada di awal karier, berusia 26-35 tahun (63,5%), bergelar S2 (82,2%) dan bekerja kurang dari 3 tahun (39,4%). Karena belum lama bekerja, mereka belum menerima tunjangan serdos atau fungsional. Tunjangan fungsional pertama sekitar Rp 375.000 biasanya baru didapat setelah menjadi asisten ahli dalam 2-3 tahun.
Di luar itu, sebagian dosen menerima pendapatan variabel (tidak tentu) seperti honor narasumber, insentif publikasi, dan honor insidental lainnya. Bagi lebih dari setengah partisipan (53,6%) jumlah pendapatan tidak tentu ini masih di bawah Rp 1 juta per bulan. Sebagai catatan, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia berkisar senilai Rp 2.910.632 pada 2023.
Sebagian besar (71,6%) harus mencari tambahan pemasukan dari aktivitas seperti kepanitiaan, hibah penelitian, atau jabatan struktural. Namun, lebih dari separuh mengatakan pendapatan tambahan in di bawah Rp 1 juta per bulan.
Dari 583 partisipan, 45,8% memiliki pekerjaan sampingan, seperti konsultan, guru, atau berdagang. Namun, mayoritas tetap berpenghasilan di bawah Rp 3 juta dari kegiatan tersebut, hanya 3% yang mengaku mendapatkan Rp 6-10 juta per bulan.
Baca Juga: Bermodus Pengantin Pesanan: Korban Dinikahi, Disuruh Kerja Tanpa Digaji
Di satu sisi, Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun menyebut, diskriminasi gender yang terjadi berkaitan dengan tukin ini adalah soal hak-hak maternitas yang tak tampak.
“Pendekatan tukin masih unisex. Tidak memberikan afirmasi terhadap perempuan dan disabilitas,” kata Dhia kepada Konde.co, Senin (13/1).
Maka dari itu, menurut Dhia saat ini SPK tengah mengembangkan data terpilah upah layak yang berbasiskan sensitivitas gender. “SPK progresif dalam hal ini, Ketua, Sekjen dan Bendahara semua perempuan (di SPK) dan konsen ke gender,” lanjutnya.
Sebelum aksi ADAKSI, Fatimah dan Dhia termasuk dosen yang vokal menyuarakan soal hak para dosen di SPK. Mereka juga terlibat dalam audiensi tentang kelamnya realitas pendidikan di Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi X DPR RI, pada Selasa, (5/11/2024).
Dhia mendorong agar regulasi standar upah layak untuk dosen swasta secepatnya dikeluarkan. Selain itu, juga tukin dosen Kemenristekdikti termasuk empat tahun tunjangan kinerja yang tertahan tidak dibayarkan. Ia juga menambahkan remunerasi menjamin batas bawah yang layak, berbasis pemerataan yang saat ini hanya terpusat di elit kampus.
“Serikat Pekerja Kampus juga menuntut penghapusan beban kerja dosen sebagai syarat pemberian sertifikasi dosen. Secara tegas, Serikat Pekerja Kampus menuntut upah layak tanpa syarat,” ujar Dhia yang dikutip dari pernyataan resmi SPK.’
Baca Juga: Bersahaja di Ruang Kecil, Belajar Menerangi Diri dari Keberanian Munir Said Thalib
Pada kesempatan yang sama, anggota Serikat Pekerja Kampus Fatimah juga menyampaikan tuntutan agar pemerintah membayarkan tunjangan kinerja dosen.
“Dukungan disampaikan melalui surat resmi DPR RI kepada Kemendiktisaintek untuk mengakomodir pembayaran tunjangan kinerja sejak Januari 2020 sesuai yang telah diundangkan,” ujar Fatimah.
Selain soal upah dan tukin, mereka juga mendesak agar tidak ada lagi pengkotak-kotakan dosen. Selain itu juga tuntutan untuk menghapus beban kerja dosen (BKD), transparansi manajemen kampus dan jaminan kebebasan akademik hingga memberikan sanksi pembekuan/penutupan pada kampus (terutama swasta) yang tidak beri upah layak.
“Biarkan pekerja kampus berserikat (untuk menuntut hak itu),” katanya.
Usai mendapat desakan dari para dosen termasuk yang bergabung di SPK, pada Selasa (21/1/2025) kemarin, pemerintah melalui Kemenkeu menyetujui anggaran Tukin dosen ASN. Namun, hanya seperempat dari yang konon diajukan Kemendikti-Saintek.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani bilang, Kemendikti-Saintek telah mengajukan anggaran sebesar Rp10 triliun untuk tukin dosen ASN, tetapi yang disetujui baru Rp2,5 triliun.
“Namun untuk kepastian besaran tukin dosen ASN, kita tunggu data resmi dari Kemenkeu dan Kemendikti-Saintek. Yang jelas kami akan kawal pencairan tukin dosen sampai tuntas,” ujar Lalu Ari dalam keterangan tertulis, di Jakarta, dikutip dari situs DPR.
Baca Juga: Ruang Laktasi Tak Layak, Buruh Pabrik Sering Kehilangan Alat Pumping ASI
Dalam melakukan pencairan tukin dosen ASN, Ari melanjutkan, pemerintah membutuhkan peraturan presiden (Perpres) yang menjadi dasar hukum dalam mencairkan tukin dosen. Perpres itu diharapkan mengatur secara jelas dan detail pencairan tukin yang ditunggu-tunggu para dosen.
Dihubungi terpisah pada Kamis (23/1), Ketua SPK, Dhia Al Uyun mengatakan pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan informasi soal pencairan Tukin. Kalangan dosen pun, tidak mendapatkan sosialisasi mengenai mekanisme pencairan dll. Mereka tidak mau langsung percaya “angin segar” pencairan tukin.
“Kita belum mau menanggapi dalam artian menganggap itu benar adanya, jika belum masuk ke nomor rekening. Kami tidak mau dibohongi lagi, diberikan harapan kosong, kami maunya bukti,” lanjutnya.
Menyoal soal besarnya rencana anggaran tukin yang sudah disetujui Kemenkeu, Dhia menyangsikan itu cukup memenuhi kebutuhan tukin ASN. Dia juga tidak setuju jika anggaran yang dijanjikan bakal dicairkan jadi tukin itu masih dipersulit dengan banyak persyaratan.
“Kalau itu dipersyaratkan lagi kami tidak setuju. Hak pekerja harus diberikan tanpa syarat, tanpa diskriminasi, ke semua pekerja,” pungkasnya.
(Sumber Foto: SPK)






