Tolak Revisi UU TNI

Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Dibahas sembunyi-sembunyi, Revisi UU TNI mengandung poin-poin yang membolehkan tentara aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Militerisme dan dwifungsi TNI lagi-lagi jadi ancaman serius bagi perempuan dan kelompok rentan. Tolak!

Sabtu (15/3/2025), DPR-RI tiba-tiba membahas rencana pengesahan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi UU TNI memungkinkan tentara aktif menduduki jabatan di kementerian dan lembaga. Ini berpotensi memperburuk risiko militerisme yang sudah lama menindas rakyat, terutama perempuan.

Di satu sisi, edaran wacana Revisi UU TNI bukan barang baru; ia sudah tersebar sejak 2024. Namun, sebelum ini, DPR tidak menempatkan revisi tersebut dalam Prolegnas 2024-2029. Situasi berubah pada saat Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Melalui Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoeddin, ia mengusulkan agar UU TNI direvisi.

Salah satu poin revisi dalam UU TNI tersebut adalah membolehkan tentara berstatus aktif menjabat dalam 16 kementerian atau lembaga tertentu. Termasuk Kejaksaan Agung, Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Baca Juga: Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan

Kontan pengajuan revisi tersebut memantik kemarahan masyarakat dan aktivis. Sebab, penempatan anggota militer aktif di jabatan-jabatan sipil adalah bentuk dwifungsi TNI yang mengancam ruang kebebasan sipil. Selain itu, seharusnya hal itu berarti melanggar azas trias politica yang mengedepankan independensi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Yang lebih mengecewakan lagi, usulan tersebut akhirnya diloloskan secara mutlak oleh seluruh anggota DPR-RI pada Selasa (18/3/2025). Revisi UU TNI disetujui untuk disahkan di Sidang DPR-RI pada Kamis (20/3/2025). Semua proses ini berlangsung tanpa pertimbangan atau partisipasi rakyat sipil. Dalam situasi ini, perempuan dan kelompok rentan kini kembali dibayangi penindasan lewat supremasi militer.

Militerisme dari Perspektif Feminis: Pemberangusan Kebebasan dan Gerakan Perempuan

Revisi UU TNI mengarah pada supremasi militer di ranah sipil, serta akan mengancam demokrasi secara umum. Kenapa kekuasaan militerisme berbahaya bagi demokrasi dan, di atas itu, perempuan?

Militerisme dapat mengancam demokrasi dan kebebasan perempuan dalam beberapa cara yang signifikan. Pengaruh militerisme cenderung memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis dan otoriter, yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan gender.

Militerisme sering dikaitkan dengan struktur kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan jarang memiliki peran dalam pengambilan keputusan tentang perang atau keamanan. Padahal, feminisme mendorong adanya perspektif perempuan dalam kebijakan perdamaian dan keamanan.

Carol John, seorang peneliti, menganalisis bahasa maskulin dalam kebijakan pertahanan dan keamanan global. Bahasa tersebut membentuk cara dunia memahami perang dan senjata nuklir. Dalam esainya ‘Sex and Death in the Rational World of Defense Intellectuals’ (1987), Cohn menunjukkan cara bahasa militer yang teknokratis menyembunyikan dampak kemanusiaan dari perang, terutama terhadap perempuan dan kelompok rentan. Masuknya tentara ke dalam ranah sipil berpotensi membawa serta retorika militeristik tersebut ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa lagi dengan statusnya yang masih menjadi anggota militer aktif.

Baca Juga: Kegilaan pada Mayor Teddy di TikTok: Bentuk Pengidolaan pada Militer di Media Sosial

Hal yang sudah banyak dipahami adalah bahwa militerisme identik dengan pelanggengan kekerasan. Indonesia punya banyak catatan kelam terkait kekerasan tentara terhadap warga sipil atas nama kekuasaan. Bahkan, beberapa di antaranya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. 

bell hooks, feminis ragam warna kulit dan interseksional, juga mengkritik militerisme sebagai bagian dari sistem patriarki dan kapitalisme rasis. Ia berpendapat bahwa militerisme memperkuat budaya kekerasan dan dominasi yang merugikan perempuan. Terutama perempuan dari kelompok marginal. Hal serupa diserukan feminis Audre Lorde. Menurutnya, rasisme, seksisme, dan militerisme saling terkait. Ia mengkritik upaya negara-negara menggunakan kekerasan dan militer untuk mempertahankan sistem penindasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Militerisme lekat dengan pemberangusan gerakan perempuan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara. Salah satu contohnya adalah pembubaran Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Gerwani adalah organisasi perempuan progresif yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Rezim militeristik Soeharto pada saat itu menggambarkan Gerwani secara negatif sebagai organisasi ‘tak bermoral’ untuk mendiskreditkan gerakan perempuan yang bersifat radikal dan anti-patriarki.

Selain itu, kontrol militer terhadap kehidupan politik dan sosial membuat aktivisme perempuan sulit berkembang. Organisasi perempuan yang diizinkan beroperasi, seperti Dharma Wanita dan PKK, diarahkan untuk mendukung negara dan militer, dengan fokus pada peran domestik perempuan.

Baca Juga: Catatan 100 Hari Kerja Prabowo–Gibran Dari Perspektif Perempuan dan Keadilan Sosial: Kesetaraan Ditakluk, Populisme Menyunduk 

Militerisme di Indonesia memperkuat konstruksi gender yang menempatkan perempuan sebagai pendukung negara melalui peran tradisionalnya sebagai ibu dan istri. Program Ibuisme Negara yang dikembangkan Orde Baru mendorong perempuan untuk mendukung peran suami dalam militer dan pemerintahan. Sehingga membatasi ruang gerak perempuan dalam politik dan aktivisme independen.

Di daerah konflik seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari Indonesia, kehadiran militer sering kali dikaitkan dengan pelanggaran HAM terhadap perempuan. Termasuk kekerasan seksual. Banyak laporan tentang pemerkosaan dan pelecehan oleh aparat keamanan terhadap perempuan sebagai bagian dari strategi perang atau represi terhadap kelompok yang dianggap separatis.

Feminisme juga mengkritik prioritas anggaran yang besar untuk militer. Pasalnya, penganggaran tersebut seringkali mengorbankan investasi dalam layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Prioritas semacam ini lebih banyak menguntungkan elit politik dan militer, sementara perempuan dan anak-anak menjadi korban utama dari dampaknya.

Ketika pemerintahan mengedepankan kekuasaan militer di atas institusi sipil, hal itu melemahkan demokrasi. Sebab, terjadi pengurangan peran lembaga-lembaga sipil, seperti parlemen dan pengadilan. 

Baca Juga: Kamus Feminis: di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, masyarakat sipil, termasuk perempuan, memiliki akses lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika militer menjadi kekuatan dominan, ruang bagi partisipasi politik yang inklusif menyempit. Ini membuat perempuan tersingkir dari proses pengambilan keputusan.

Wacana Revisi UU TNI kontan meresahkan sebagian besar masyarakat sipil, termasuk organisasi dan gerakan perempuan dan kelompok rentan. Sistem militerisme yang patriarkal berpotensi bakal mendominasi ruang-ruang publik. Utamanya ruang kebebasan dan keamanan perempuan.

Perempuan Tolak Revisi UU TNI!

Aliansi Perempuan Indonesia (API) dengan tegas menyatakan tolak Revisi UU TNI dalam konferensi pers daring pada Selasa (18/3/2025). Pasal yang membolehkan anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil berpotensi mengganggu profesionalisme TNI, dengan mandat seharusnya untuk menjaga keamanan negara. Selain itu, masuknya TNI ke ruang-ruang sipil adalah tanda nyata krisis demokrasi yang mengancam kebebasan sipil, terutama perempuan dan kelompok rentan.

“Dengan situasi di mana TNI masuk menduduki jabatan-jabatan sipil, itu akan menebarkan ketakutan. Sehingga rakyat tidak bisa berpendapat dan berekspresi, karena yang terjadi itu adalah identik dengan ketakutan kita, warga sipil, dengan senjata yang dimiliki,” ujar Jumisih dari JALA PRT dan KPBI, Selasa (18/3/2025).

Menurut Jumisih, revisi UU TNI bertentangan dengan Undang-Undang P3. Revisi ini sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Ini artinya, Revisi UU TNI sudah cacat secara alur dan proses pembentukan perundang-undangan.

“Kita juga menyaksikan bagaimana TNI menjadi alat dari penguasa dan pemerintah untuk menjaga pabrik,” lanjutnya. “Ini adalah ancaman bagi kemerdekaan sipil; kemerdekaan bagi buruh untuk berpendapat, menyuarakan pendapat, menyampaikan gagasan, menyampaikan tuntutan-tuntutan sebagai buruh dan juga sebagai buruh perempuan.”

Baca Juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan

Sementara itu, Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika mengatakan, Revisi UU TNI yang dikebut oleh pemerintah dan DPR-RI menjelang masa reses pada 21 Maret menandakan kehendak politik yang ingin melegalkan dwifungsi TNI. Ini akan membawa Indonesia kembali seperti ke masa Orde Baru.

“Jadi ketika kita bicara soal militerisme, secara ideologi adalah sebuah ideologi yang selalu mengutamakan pendekatan kekerasan sebagai pendekatan utama untuk menyelesaikan situasi persoalan sosial, atau juga persoalan konflik atau dalam situasi konflik,” ujar Ika. “Ketika kita melihatnya dari perspektif perempuan, ini bermakna penundukan terhadap perempuan. Jadi dominasi militer ini itu sama dengan penguatan penundukan terhadap perempuan.”

Ika juga mengingatkan sejarah kelam kekerasan dan penundukan lewat seksualitas perempuan di masa Orde Baru. Selain itu, ketimpangan gender pun sangat kentara melalui pembakuan peran-peran gender seperti munculnya ‘ibuisme’ dan sebagainya. Perempuan dibakukan hanya sebagai ‘obyek seksual’ dan didomestikasi. Berbagai organisasi perempuan progresif dihancurkan dan diubah sedemikian rupa sehingga hanya menjadi ‘organisasi pendamping suami’. Hal itu dilegitimasi karena posisi-posisi berwenang yang seharusnya diduduki sesama sipil, justru berada di bawah kontrol anggota militer aktif.

“Pendekatan kekerasan selalu menjadi yang utama. Dan ketika kita melihat dampaknya bagi gerakan perempuan, atau bagi perempuan itu sendiri adalah bagaimana metode-metode kekerasan itu digunakan sebagai upaya untuk menundukkan kelompok tertentu, etnis, atau dalam situasi-situasi konflik bersenjata,” tegas Ika. 

“Itulah kenapa kemudian kita dapat melihat bagaimana perkosaan, penyiksaan seksual di daerah-daerah operasi militer yang ada dalam sejarah Indonesia. Seperti di Aceh, di Papua, di Timor Leste. Ini banyak sekali praktek-praktek perkosaan dan penyiksaan seksual yang dialami oleh perempuan dan hingga kini belum diusut tuntas.”

Marsinah, Militer, dan Trauma Kolektif Perempuan

Jumisih menyinggung kasus pemerkosaan dan pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh perempuan di era Orde Baru. Meski sudah puluhan tahun berlalu, kasus tersebut belum pernah betul-betul diusut tuntas. Diduga, ada potensi keterlibatan TNI di dalamnya. “Dan itu adalah upaya untuk menebarkan ketakutan kepada warga sipil,” tegas Jumisih.

Hal ini diamini Dian Septi dari Marsinah.id. Sebutnya, praktek kekerasan dan kontrol terhadap rakyat dan perempuan oleh militer menjadi diwajarkan karena tampuk kekuasaan negara juga diduduki oleh militer di era Orde Baru. 

Kasus Marsinah adalah salah satu contoh bahwa represi militer Orde Baru menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai medan pertempuran kekuasaan, penundukan terhadap perempuan, dan pergolakan rakyat.

“Hingga kini kasus Marsinah dan pelanggaran HAM berat lainnya tidak pernah dituntaskan. Dan kita sekarang ini menghadapi ancaman yang sama dengan dipaksakannya Revisi Undang-Undang TNI untuk mengembalikan dwifungsi ABRI (TNI).” Dian menukas, “Ini sama artinya, Marsinah dan korban pelanggaran HAM berat lain di masa lalu dibunuh untuk kedua kalinya.” 

Baca Juga: Nasib Kesetaraan Gender di Era Prabowo Makin Pesimis, Apakah Ada Harapan?

Ketua Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menambahkan ingatan tentang kontrol militer atas perempuan saat Orde Baru. Salah satunya dalam penerapan program Keluarga Berencana (KB).

“Penggunaan akseptor KB atau keluarga berencana itu dijaga oleh polisi,” kata Mike. “Pasar-pasar, di mana 90% ada perempuan, di dalamnya—di situ juga ada mereka yang berseragam atau tentara.”

Kini situasinya serupa. Distribusi program bantuan sosial (bansos) sarat cawe-cawe militer di dalamnya. Yang paling kentara sejauh ini adalah pelaksanaan program kerja Prabowo-Gibran, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG). Pengelolaan MBG, dari penyediaan hingga pengawasan, secara terang-terangan dilakukan oleh tentara di sekolah-sekolah.

“Ini sebenarnya sudah sangat jelas. Cawe-cawe mereka sudah sangat jelas dan Revisi Undang-Undang TNI bukan memperbaiki, mengevaluasi, atau memperbaiki institusi militer dan kepolisian yang selama ini menjadi PR negara untuk menyelesaikan. Tetapi hanya untuk memperkuat bagaimana cawe-cawe militer di dalam ranah sipil,” tukas Mike. “Mereka juga diperkuat untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah konflik yang selama ini justru banyak sekali korban yang jatuh di dalamnya. Termasuk perempuan, anak, dan kelompok minoritas.”

Ia melanjutkan, “Jadi pasal 47 yang diubah dalam Revisi Undang-Undang TNI ini jelas-jelas membuka ruang untuk TNI memperlebar cakupan. Memperlebar ranah sipil dan ranah masyarakat yang itu bukan sama sekali tugas dari militerisme.”

Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Perempuan?

Sementara itu, Pendeta Emmy Sahertian memutar balik ingatan sebagai penyintas 1998. Wajah-wajah yang pernah bercokol di tampuk kekuasaan saat itu, kini kembali duduk di posisi strategis dalam pemerintahan Prabowo. “Itu membuat kami trauma,” ujar Emmy.

Revisi UU TNI, seru Emmy, juga merupakan upaya legitimasi cara-cara ilegal aparat bersenjata untuk merepresi rakyat. Terutama masyarakat Indonesia Timur. Militer selama ini hadir sebagai pengawal pemangku kepentingan, seperti pemerintah dan korporasi. Mereka pun tidak segan melakukan kekerasan terhadap rakyat yang melawan.

Emmy mengajukan saran agar masyarakat Indonesia membuat ‘buku putih’ untuk mencatat dosa-dosa HAM pemerintah dan militer di Indonesia.

“Saya pikir, kalau Duterte di Filipina bisa dibawa ke pengadilan itu, kenapa Indonesia tidak?” Emmy berkata. “Karena dia punya catatan sejarah pelanggaran HAM yang tercatat dengan baik dan sudah dibahas secara ilmiah. Misalnya tentang pelanggaran HAM di Papua, kemudian kasus ‘65, di Aceh—kebetulan saya di dalam situ. Lalu Timor Timur.”

Dominasi Militer Dikebut, RUU Pro-Perempuan Mandek

Ironisnya, Revisi Undang-Undang TNI terkesan begitu terburu-buru dibahas dan menuju disahkan oleh DPR-RI. Sementara ada sejumlah rancangan dan revisi undang-undang yang lebih berpihak pada rakyat dan perempuan, justru dibiarkan menggantung tanpa kejelasan selama bertahun-tahun.

Dua di antaranya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat). Kedua RUU tersebut diabaikan dan tak kunjung disahkan meski telah diajukan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. 

Padahal, PRT yang mayoritas adalah perempuan masih mengalami kekerasan dan tidak memiliki kondisi kerja yang layak karena mereka tak punya payung hukum untuk melindungi hak-hak mereka. Sementara itu, masyarakat adat—terutama perempuan adat—masih harus berjuang mempertahankan tanah leluhur yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Sampai saat ini, mereka melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan korporasi pencaplok lahan dengan perlindungan hukum yang lemah.

“Kita semua tahu, orang bodoh pun tahu. Bagaimana ketika kita dilibatkan, kita dihadapkan oleh TNI atau polisi di mana pun aksi penggusuran atau perampasan tanah. Perempuan itu selalu menjadi korban karena dihadapkan oleh oleh TNI atau tentara,” ucap Ren dari KABAR BUMI.

“Kriminalisasi, penyiksaan, bahkan pemerkosaan tadi sudah banyak sekali disampaikan. Akan mempersempit, bagaimana suara perempuan ini akan tertutup ketika dwifungsi ABRI akan diterapkan kembali.”

Pembahasan Tertutup Revisi UU TNI

Pembahasan Revisi UU TNI dilakukan secara diam-diam di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, yang dikenal sebagai salah satu hotel termewah di Jakarta. Ini seakan bertentangan dengan kondisi efisiensi anggaran yang mencekik rakyat akhir-akhir ini. Marah, tiga aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan segera menyambangi Hotel Fairmont pada Sabtu (15/3/2025) malam. 

Mereka membawa poster kritik dan menggelar aksi dengan merangsek masuk ke ruang rapat, sebelum diseret keluar dan didorong oleh aparat keamanan. Di tengah keriuhan itu, para wakil rakyat yang hadir tidak berbuat apa-apa.

Usai kejadian, sejumlah masyarakat sipil lainnya turut mendatangi Hotel Fairmont malam itu, tapi tidak diizinkan masuk oleh petugas. Malah, di pagi hari, hotel dijaga Komando Operasi Khusus (Koopsus) dengan kendaraan baja dan tentara yang berjaga di sekitar lokasi. Satpam hotel juga melaporkan massa aksi ke kepolisian karena, “Mengganggu hak konstitusional peserta rapat.”

KontraS sebagai salah satu organisasi dalam koalisi itu juga mendapatkan ancaman usai turut menginterupsi rapat. Menurut Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, kantor mereka didatangi tiga orang tak dikenal pada Minggu (16/3/2025) pukul 00:16 WIB. Mereka mengaku sebagai ‘media’ dan menekan bel berkali-kali tanpa tujuan yang jelas. 

Selain itu, nomor KontraS mendapatkan telepon berulang dari nomor yang sama. Dimas menduga hal itu adalah teror pasca-interupsi yang mereka lakukan untuk mengkritisi rapat pembahasan Revisi UU TNI.

Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil

Penolakan Revisi UU TNI tidak berhenti sampai di situ. Pada Senin (17/3/2025), sebanyak 15 tokoh publik dan perwakilan jaringan masyarakat sipil berdiri di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat. Sosok-sosok tersebut antara lain Sulistyowati Irianto, Maria Catarina Sumarsih, Halida Hatta, dan sebagainya. Mereka menyerukan petisi menolak kembalinya dwifungsi TNI melalui Revisi UU TNI.

“Kami menilai Revisi Undang-Undang TNI tidak memiliki urgensi transformasi Revisi Undang-Undang TNI ke arah yang profesional,” ucap Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. “Justru akan melemahkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.”

Maria Catarina Sumarsih, pegiat Aksi Kamisan, juga membacakan petisi. Sumarsih juga adalah ibu dari Bernardius Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta yang tewas ditembak tentara dalam Tragedi Semanggi I 1998.

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran

“Kami menilai RUU TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI. Yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil,” kata Sumarsih. “Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah. Seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil, dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda.”

Sumarsih juga menyebut bahwa Indonesia melakukan impunitas dengan merevisi UU TNI pada poin yang membolehkan tentara aktif menjabat di ruang sipil. “Kemudian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan, dibuat hanya untuk aksesoris Indonesia sebagai negara hukum.” 

Hingga kini, banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh militer, belum diusut tuntas. Termasuk Tragedi Semanggi I yang menewaskan anak Sumarsih. Lanjutnya, berkas yang diajukan Komnas HAM untuk peristiwa penembakan mahasiswa, baik dalam peristiwa Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti, tidak kunjung ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung selama 23 tahun.

”Oleh karena itu, perluasan penempatan TNI aktif di lembaga-lembaga negara, tidak menutup kemungkinan untuk mengembalikan dwifungsi TNI dan artinya membahayakan masa depan bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

M. Isnur, Ketua YLBHI, kemudian mengajak para aktivis yang membacakan petisi untuk sama-sama menyerukan penolakan terhadap Revisi UU TNI.

“Dengan petisi ini, kami menegaskan sekali lagi. Bahwa dengan proses percepatan pembahasan RUU TNI, maka kami semua sepakat: kami, kelompok masyarakat sipil, tolak RUU TNI disahkan secara serampangan dan terburu-buru!” seru Isnur, diikuti para aktivis.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!