Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya

Seorang santriwati sebuah pondok pesantren di Kabupaten Bogor mengalami pelecehan seksual. Saat lapor kasusnya, korban diintimidasi terduga pelaku. Namun korban tak goyah, meski kasusnya masih tahap penyelidikan di Polres Kabupaten Bogor sejak dilaporkan 8 bulan lalu.

Peringatan pemicu: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren kembali terjadi. Beberapa waktu lalu seorang santriwati (15) mengalami pelecehan seksual oleh pemilik pondok pesantren (MY) di Kabupaten Bogor.

Kasus terjadi pada Desember 2022. Modus yang dipakai terduga pelaku dengan mengajak ziarah dan plesir ke tempat pemandian air panas. Dalam perjalanan, kiai pimpinan pondok pesantren tempat korban menimba ilmu tersebut melakukan pelecehan seksual. Terduga pelaku meraba, memeluk dan mencium anak korban.

Anak korban lalu menceritakan kejadian tersebut pada tiga teman santriwati yang lain yang juga diajak ziarah oleh terduga pelaku. Korban lalu kabur dari pondok pesantren dan pulang ke rumah orang tuanya dan menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya.

Pada Januari 2023 korban bersama orang tuanya membuat aduan ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bogor atas tindak pidana cabul terhadap anak dibawah umur. Laporan pengaduan tersebut diterima. Namun karena lokasi kejadian ada di wilayah Kabupaten Bogor, KPAID Kota Bogor kemudian merujuk anak korban dan orang tuanya ke lembaga yang ada di Kabupaten Bogor.

Baca Juga: Pekerja Magang di Pengadilan Negeri Alami Pelecehan Seksual, Oknum Hakim Diduga ‘Intimidasi’ Korban

Setelah anak korban mengadukan kasusnya, terduga pelaku mendatangi rumah orang tua korban. Ia mengancam korban dan orang tuanya. Kalau mereka sampai melaporkan kasusnya, terduga pelaku akan melaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik. Terduga pelaku juga mengatakan kalau tidak ada saksi dan bukti yang mengetahui peristiwa pelecehan seksual tersebut.

Saat datang ke kantor KPAID Kota Bogor, orang tuanya menjelaskan kepada pendamping kondisi anak korban.

“Anak ini lemah, bu Dede,” kata sang Ibu.

Di awal sebelum proses pendampingan kepada korban, pendamping KPAID selalu membangun komitmen korban terkait proses yang akan dilalui. Ini dilakukan dengan menanyakan dan memastikan kesiapan dan komitmen korban.

Saat itu orang tua korban belum bisa memastikan apakah anaknya akan mampu melalui seluruh proses dan tahapan yang akan berjalan. Pasalnya dalam kasus kekerasan seksual, biasanya proses hukum dan pendampingan sangat berliku dan butuh waktu lama.

Namun pada Mei 2024, anak korban dan orang tuanya kembali datang menemui Ketua KPAID Kota Bogor, Dede Siti Amanah. Anak korban menyampaikan fakta-fakta tambahan yang berkembang dalam kurun waktu satu tahun lebih sejak pengaduan kasus ke KPAID Kota Bogor.

“Ternyata ada semangat yang luar biasa yang saya rasa malah bertambah kekuatannya dari si anak ini dibandingkan dengan pertama kali saat berjumpa,” ujar Dede dalam Webinar tentang “Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren” yang diikuti Konde.co pada Jumat (28/2/25).

Baca Juga: Marak Pelecehan Seksual di Fasilitas Umum: Kebijakan Pemerintah Mesti Serius Lindungi Perempuan

Dede menambahkan ia melihat sisi semangat yang luar biasa dari anak korban yang menunjukkan kesungguhan dan keseriusan.

“Saya tidak ingin teman-teman saya yang lain menjadi korban,” kata anak korban.

Sikap anak korban ini menurut Dede memperlihatkan sosoknya sebagai pejuang keselamatan dan keamanan bukan hanya untuk dirinya tetapi juga teman-temannya. Dede menambahkan selain anak korban ada korban-korban baru dari terduga pelaku yang menghubungi anak korban. Terduga pelaku memakai modus yang sama seperti yang dilakukan kepada anak korban. Ada bukti-bukti percakapan antara terduga pelaku dengan korban-korban baru.

“Jadi tentunya kami berharap proses (penyelidikan) yang cepat. Karena anak ini dan orang tuanya selalu bertanya kepada kami sudah sejauh mana, seperti apa progresnya. Harapannya anak korban ini mendapatkan keadilan yang paripurna,” ujar Dede.

Pada Juli 2024, korban dengan didampingi pendamping KPAID membuat laporan ke Polres Kabupaten Bogor. Penyidik kemudian merujuk korban untuk melakukan visum di RSUD Kabupaten Bogor didampingi staf KPAID Kota Bogor.

Baca Juga: Pekerja Magang Di Kedubes Alami Pelecehan Seksual, Lapor Polisi Kasusnya Malah Dihentikan

Meski delapan bulan sudah berlalu sejak pelaporan kasus, tetapi belum ada progres yang signifikan terkait kasus ini. Konde.co menanyakan perkembangan kasus ini kepada anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kabupaten Bogor, Aipda Angga Permana. Ia mengatakan akan menanyakan dahulu kepada penyiidik yang menangani kasus ini.

“Saya lagi tanyakan LP-nya (laporan polisinya) ke anggota. Kebetulan saya masih baru Bu, mau melihat dulu seperti apa dan bagaimana kendalanya Bu. izin Bu, jadi belum bisa saya jawab pertanyaannya soal kendalanya seperti apa,” kata Angga.

Data Kasus Kekerasan Seksual Anak di Kabupaten Bogor

Kasus yang dialami anak korban hanyalah satu dari sekian kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang dilaporkan. Kemungkinan besar kasus yang terjadi lebih banyak karena tidak semua kasus dilaporkan.

Data Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor terkait laporan kasus anak yang masuk menunjukkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kasus yang cukup banyak dilaporkan.

TahunJumlahUrutan 1Urutan 2
2021112 kasusPengasuhan (perebutan kuasa asuh)Kekerasan seksual terhadap anak
2022161 kasusKekerasan seksual terhadap anakPengasuhan (perebutan kuasa asuh)
2023154 kasusPengasuhan (perebutan kuasa asuh)Kekerasan seksual terhadap anak
202481 kasusKekerasan seksual terhadap anakPengasuhan (perebutan kuasa anak)
Sumber: KPAD Kabupaten Bogor

Wakil Ketua KPAD Kabupaten Bogor, Waspada mengungkapkan data tersebut berasal dari pengaduan yang masuk maupun temuan lapangan. Meskipun pada 2023 dan 2024 secara kuantitatif terjadi penurunan, Waspada mengatakan kemungkinan ada beberapa hal yang membuat masyarakat tidak melaporkan kasus yang terjadi.

“Kami beranggapan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bogor turun mungkin ada hal-hal lain yang membuat pengaduan masyarakat jadi turun. Mungkin karena takut diintimidasi dan sebagainya sehingga enggan mengadu,” kata Waspada.

Baca Juga: Orang dengan Disabilitas Jadi Tersangka Kekerasan Seksual, Gimana Proses Hukumnya?

Terkait kasus yang terjadi pada anak korban, Waspada mengungkapkan KPAD Kabupaten Bogor juga turut mengawal kasusnya bersama KPAID Kota Bogor. Ia juga berharap kasus tersebut bisa diselesaikan dan korban mendapat keadilan.

“Kami berharap kasus ini bisa dituntaskan setuntas-tuntasnya dan seadil-adilnya. Karena itu sampai sekarang kami mengawal,” katanya.

Masih Ada Upaya ‘Mendamaikan’ Kasus Kekerasan Seksual Anak

Catatan penting dari proses pendampingan yang dilakukan KPAID terhadap kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah masih adanya upaya untuk “mendamaikan” pelaku dengan korban. Dede menuturkan alasan khilaf kerap dipakai hingga membuat korban atau keluarganya kemudian luluh. Padahal mestinya kita berpegang pada keyakinan bahwa kejahatan bisa terjadi pada siapa saja, kapan dan dimana saja. Termasuk juga bisa dilakukan oleh siapa saja.

“Artinya seseorang yang berilmu, seseorang yang mungkin memiliki jabatan tinggi juga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang sama dengan masyarakat lainnya yang bisa melakukan tindak pidana kejahatan,” kata Dede.

Hal lain yang patut disayangkan adalah meski UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah disahkan tetapi tidak bisa meyakinkan masyarakat bahwa mestinya tidak ada kata damai untuk segala macam bentuk tindak kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dewasa dengan korban anak.

Dede menuturkan hal ini juga terjadi pada kasus yang sedang didampinginya. Pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Bogor, terdapat tiga orang korban. Namun satu orang korban sampai sekarang masih bersikukuh tidak mau melaporkan kasusnya.

“Korban menganggap kasusnya sudah tuntas karena ayahnya sudah melakukan perdamaian dengan terduga pelaku. Ini sangat disayangkan, artinya memang praktik-praktik di tengah masyarakat masih banyak terjadi,” tutur Dede.

Baca Juga: Bernadya Speak Up Soal Komentar Melecehkan: Stop Normalisasi KBGO 

Terkait kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di pondok pesantren, Dede mengungkapkan dirinya pernah beraudiensi dengan Kementerian Agama. Ketika itu Kementerian Agama menyampaikan ada solusi yang sudah mereka lakukan dengan menyediakan kotak pengaduan di seluruh pondok-pondok pesantren di Indonesia.

Langkah ini bagi Dede bukanlah solusi karena pengaduan/saran/masukan yang dimasukkan oleh para santriwan santriwati di pondok pesantren akan dibaca oleh pimpinan atau pengasuh pondok pesantren. Sementara kita harus tetap berpegang pada prinsip soal kejahatan yang bisa terjadi dan dilakukan oleh siapa saja. Jadi keberadaan kotak pengaduan bukanlah solusi.

Karena itu menurut Dede penting untuk memberikan efek jera bahwasanya hukum itu tidak pandang bulu.

“Siapapun dia apapun jabatan dia berapapun tinggi ilmunya, bagi saya kalau dia adalah pelaku, proses hukum harus diberlakukan agar anak-anak yang jadi korban mendapatkan keadilan,” tegasnya.

Waspada menambahkan upaya “mendamaikan” pelaku dengan korban pada kasus kekerasan seksual terhadap anak biasanya dilakukan oleh tokoh masyarakat atau orang-orang yang berpengaruh di lingkungan/komunitas tersebut.

“Alasannya karena kalau tidak dimediasi katanya akan mencoreng nama baik desanya, nama baik kampungnya, dan sebagainya. Sehingga ketika keluarga korban punya keinginan untuk melapor justru dipengaruhi, dengan dirayu bahkan diancam,” papar Waspada.

Baca Juga: Jadi Korban Manipulasi Foto Sensual dengan AI, Bagaimana Menjerat Hukum Pelaku?

Sementara kalau keluarga korban berasal dari latar belakang yang kurang beruntung saat dirayu dengan materi mungkin tidak berhasil tapi saat diancam bisa jadi akhirnya menyerah. Bahkan selain oarng tua mendapatkan ancaman, anak korban pun sering kali diteror. Dikatakan tidak tahu terima kasih oleh oknum ustaz, kiai, atau guru yang menjadi pelaku.

Waspada menambahkan dalam beberapa kasus proses mediasi dilakukan di kantor Polsek. Karena itu penting mendorong aparat penegak hukum agar mengedepankan aturan yang ada.

Terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di pondok pesantren di Kabupaten Bogor, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kabupaten Bogor menegaskan agar hukum ditegakkan.

Waspada yang sekaligus juga Wakil Ketua PC NU Kabupaten Bogor menegaskan pihaknya mendukung penuh upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan.

“Siapapun yang melakukan pelanggaran kekerasan seksual, baik itu oknum-oknum ustaz, kiai, ulama dan mereka terbukti bersalah, maka hukum harus ditegakkan, tidak panjang bulu. Jadi tidak ada istilah kriminalisasi ulama. Ini penting dicatat menurut saya karena sering kali oknum-oknum tersebut mencoba mencari perlindungan di lembaga atau di organisasi-organisasi sosial keagamaan yang kemudian dia menempel di situ seakan-akan dia menjadi korban kriminalisasi,” pungkas Waspada.

(Editor: Nurul Nur Azizah)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!