Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.
Tanya:
Halo kakak di Klinik Hukum Perempuan, saya mau tanya tentang maksud dari perlindungan sementara terhadap para korban didalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Serta, apa bentuk-bentuk dari perlindungan sementara bagi para korban KDRT? (Adel, Jakarta).
Jawab:
Halo Kak Adel, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami akan mencoba menjawab dua pertanyaan di atas.
Isu KDRT adalah isu terbanyak yang diterima pelaporannya. Hal ini terlihat dalam laporan yang diterima Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) pada tahun 2024. Jumlah kekerasan yang terjadi di ranah personal, Kekerasan terhadap Istri (KTI) paling tinggi dilaporkan dengan jumlah laporan yang diterima sebanyak 672 kasus. Atau sebanyak 83,70% total data pelaporan di ranah personal.
Tingginya data KTI juga menunjukkan ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam perkawinan[1]. Oleh karena itulah perlu penanganan yang serius terhadap kasus-kasus KDRT. Perlindungan sementara adalah salah satu upaya penting dari UU PKDRT yang harus diimplementasikan.
Baca juga: Kalau Kamu Korban KDRT, Kamu Bisa Jadi Saksi Dalam Proses Pembuktian
Perlindungan sementara merupakan salah satu bentuk perlindungan yang dimandatkan seperti diatur UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Terutama Pasal 16 yang berbunyi:
Ayat (1):
“Dalam waktu 1×24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.”
Ayat (2):
“Perlindungan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.”
Ayat (3):
“Dalam waktu 1×24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.”
Bentuk dari perlindungan sementara yang harus diberikan oleh kepolisian melalui proses penetapan permohonan dari pengadilan negeri adalah merupakan perlindungan hukum terhadap para perempuan korban KDRT. Upaya perlindungan sementara ini merupakan hak dari para perempuan korban KDRT agar dapat terlindungi secara hukum. Dan penegak hukum (khususnya kepolisian) dapat melakukan proses penyelidikan terhadap kasus KDRT yang dialami oleh para perempuan korban KDRT.
Ketentuan hukum lainnya yang juga mengatur tentang proses implementasi dari perlindungan sementara adalah Pasal 17 UU PKDRT yang menetapkan bahwa:
“Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”.
Baca juga: Berikut Langkah yang Bisa Diambil Korban KDRT Untuk Menyelamatkan Diri
Inti dari ketentuan Pasal 17 UU PKDRT ini adalah tentang bentuk kerja sama yang dapat dilakukan kepolisian dengan beberapa pihak. Seperti: tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dalam rangka memberikan perlindungan sementara kepada para korban KDRT. Dengan begitu pemberian perlindungan sementara dapat terlaksana secara maksimal sehingga hak para korban dapat terpenuhi dan mereka terlindungi secara hukum.
Ketentuan Pasal 16 UU PKDRT menjadi jaminan akan adanya perlindungan hukum dari negara dalam hal ini kepolisian sebagai garda pertama aparat penegak hukum (APH) dalam penanganan kasus KDRT. Termasuk juga untuk mencegah riwayat kekerasan yang berulang yang dialami oleh para korban KDRT (khususnya perempuan). Sekaligus juga upaya untuk melarikan diri atau perlindungan hukum dari pelaku.
Selain kepolisian, pihak yang juga berperan penting dalam menetapkan perlindungan sementara bagi korban KDRT adalah majelis hakim di pengadilan negeri. Peran dari para majelis hakim di pengadilan negeri menjadi hal penting kedua setelah kepolisian dalam melindungi para perempuan korban KDRT. Majelis hakim akan mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Perlindungan Sementara (ketentuan Pasal 16 ayat 3 UU PKDRT).
Pemenuhan hak korban atas perlindungan sementara juga akan membuka akses terhadap rumah aman/shelter. Dengan begitu korban dapat terlindungi dari potensi diserang, diintimidasi atau mengalami kekerasan untuk kesekian kalinya dari pelaku.
Terkait akses untuk mendapatkan fasilitas rumah aman/shelter dapat diperoleh melalui koordinasi atau bekerja sama dengan beberapa pihak. Seperti: lembaga layanan berbasis masyarakat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta (DPPAPP Provinsi DKI Jakarta) dan Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi DKI Jakarta. Pemberian akses terhadap rumah aman/shelter bagi para perempuan korban KDRT ini dapat dilaksanakan jika sudah ada Surat Penetapan Perintah Perlindungan Sementara dari pengadilan negeri.
Baca juga: Femisida Terjadi Lagi, Gimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Perempuan Berbasis Gender?
Mengenai akses para korban KDRT terhadap rumah aman/shelter lebih terfokus kepada proses pemulihan, baik dari segi psikologis dan kesehatan fisik. Untuk pengaturan mengenai proses pemulihan terhadap para perempuan korban diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT. Khususnya ketentuan Pasal 2 ayat 2 Bab II tentang Penyelenggaraan Pemulihan, yang berbunyi:
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- Ruang Pelayanan Khusus/RPK di jajaran kepolisian.
- Tenaga ahli dan profesional.
- Pusat pelayanan dan rumah aman.
- Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Pemberian akses terhadap rumah aman/shelter bagi para perempuan korban KDRT tidak terikat dengan batas waktu tertentu. Hal ini berbeda dengan pemberian perlindungan sementara yang dibatasi 1×24 jam sejak diterimanya laporan KDRT oleh kepolisian. Untuk itu kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Semoga para korban khususnya perempuan korban KDRT dapat memperoleh perlindungan hukum dari negara melalui perlindungan sementara sesuai mandat UU 23/2004 tentang PKDRT.
Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email ke Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669.
(Editor: Anita Dhewy)
[1] KOMNAS Perempuan, 2025. Ringkasan Eksekutif: “Menata Data, Menajamkan Arah: Refleksi Pendokumentasian Dan Tren Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2024”. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024.