Sebagai sulung perempuan yang dibesarkan di keluarga yang patriarki, tentunya kamu gak asing dengan hal-hal seperti ini:
“Sebagai kakak perempuan tertua, kamu harus merawat adik-adikmu”
“Kalau pagi itu, anak perempuan apalagi paling gede itu mestinya bantuin masak dan bersih-bersih”
“Kakak perempuan itu mesti jadi teladan berbakti dan nurut ke orang tua”
“Jangan jadi contoh gak baik buat adik-adikmu, perempuan kok suka pulang malam”
“Kamu kuliahnya jangan jauh-jauh, nanti kalau ayah ibu sakit siapa yang rawat?”
Baca Juga: ‘Langgar Hak Asasi Perlindungan Anak, Bias Kelas, Sensasional’: Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi
Ada banyak lainnya perkataan yang menyasar sulung perempuan yang bernada sama. Yaitu, membebankan sulung perempuan dengan ekspektasi yang stereotipe gender. Bahwa perempuan itu dikonstruksikan menanggung peran domestik dan kerja perawatan.
Pembakuan gender itu tidak hanya ditujukan pada sosok ibu, tapi juga anak perempuan terlebih jika dia sulung. Tak jarang, sulung perempuan juga diekspektasikan menjadi “ibu kedua” bagi adik-adik dalam keluarga yang harus menjadi pengayom. “Penjaga keluarga”, merawat dengan sepenuh hati, mengurusi printilan rumah tangga dan lainnya.
Beban akibat stereotipe gender yang mesti dipikul sulung perempuan itu, meskipun berat, tapi sering pula tidak dilihat. Dianggap sebagai hal sepele karena berada di ranah domestik. Jika pun, ada ekspektasi sulung perempuan untuk “sukses” di ranah publik, dia juga masih harus menanggung beban ganda dan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke domestikasi.
Pengalamanku sebagai sulung perempuan, aku merasa seolah harus menjadi sosok yang sempurna di mata keluarga. Tanggung jawabnya tidak hanya seputar mencapai kesuksesan akademis atau karier. Tetapi juga tentang menjaga keharmonisan keluarga, merawat adik-adik, dan menjadi sosok yang selalu bisa diandalkan.
Hal ini sering kali terasa seperti beban yang berat. Namun, di sisi lain, tidak ada ruang untuk mengatakan “saya lelah” atau “saya butuh waktu untuk diri sendiri”. Ketika kita mencoba untuk mengambil langkah mundur dan berpikir tentang kebutuhan pribadi kita, sering kali ada suara-suara dari sekitar bahwa ada yang mesti kita “urus”. Makanya, tidak boleh egois bertindak sesuka kita.
Memutus Stereotipe Gender dalam Pengasuhan
Kesetaraan perlu diterapkan dalam pengasuhan. Hal itu bisa diciptakan jika kita bisa memutus stereotipe gender dalam keluarga. Bahwa semestinya tidak ada pembakuan gender termasuk yang membebani dan membatasi perempuan.
Tiap anak dalam keluarga mestinya punya relasi yang setara. Semuanya perlu dididik bertanggung jawab atas dirinya, menghormati dan mengerti batasan anggota keluarga. Semuanya juga perlu bahu membahu dalam urusan domestik dan menjadi support system untuk meraih mimpi masing-masing.
Kita perlu terus mengoreksi pola pengasuhan yang membebani dan mendiskriminasi berbasis gender. Tak terkecuali, terhadap sulung perempuan. Sulung perempuan dengan ekspektasi yang tinggi ini adalah masalah yang harus dikritik dan dihentikan.
Jika tidak, ekspektasi gender dan beban domestik yang menekan perempuan itu bisa berdampak serius. Bukan hanya fisik tapi juga psikis. Ada istilahnya, Eldest Daughter Syndrome atau sindrom anak sulung perempuan.
Konde.co pernah mengulas soal Eldest Daughter Syndrome ini sebelumnya. Disebutkan, Eldest daughter syndrome bukanlah kondisi yang dapat didiagnosis, kata Laurie Kramer, profesor psikologi terapan di Northeastern University. Urutan kelahiran dan jenis kelamin seseorang tidak secara otomatis menentukan sifat atau peran tertentu dalam keluarga.
Baca Juga: ‘Anak Perempuan Main Bola, Anak Laki Bantu Memasak’ Pengasuhan Mestinya Bikin Peran Gender Bisa Dipertukarkan
Namun, Kramer, yang meneliti hubungan saudara kandung, menyatakan bahwa banyak anak perempuan tertua akhirnya mengambil tanggung jawab tanpa pengakuan karena norma-norma masyarakat. “Ketika saya mendengar istilah sindrom anak perempuan tertua, saya membayangkan keluarga di mana secara tidak sengaja membebankan tanggung jawab pada individu tertentu. Hal ini terjadi di seluruh dunia, namun dampak negatifnya sering terabaikan.”
Kramer menyebutkan, penelitian yang menunjukkan bahwa anak perempuan sulung sering diminta mengasuh adik-adiknya, bahkan sejak usia 5 tahun. Ini menciptakan dinamika di mana anak perempuan sulung disosialisasikan untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dan lebih peduli terhadap kebutuhan orang lain.
Menempatkan tanggung jawab kerja perawatan pada anak sulung perempuan adalah dinamika umum yang sering berlanjut hingga mereka dewasa. Mereka akhirnya merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan, tidak hanya antara orang tua dan anak, tetapi juga antara saudara kandung. Bagi banyak sulung anak perempuan, tanggung jawab ini membentuk kepribadian dan hubungan mereka di luar keluarga.
Anak sulung laki-laki juga tidak dikecualikan dari tanggung jawab keluarga, kata Kramer. Namun, mereka sering diharapkan untuk mengambil tanggung jawab keuangan daripada tanggung jawab rumah tangga atau pengasuhan anak, yang cenderung lebih diabaikan. Menurutnya, anak sulung perempuan di beberapa keluarga diharapkan menjadi orang yang bisa menyatukan dan menjaga keluarga tetap rukun. Namun, kontribusi mereka sering tidak dihargai secara eksplisit.
Baca Juga: Seorang Ibu Korban KDRT Lakukan Kekerasan Pada Anak, Bagaimana Penyelesaiannya?
Ahli antropologi UCLA, Molly Fox, dari penelitiannya menjelaskan bahwa kematangan dini pada anak sulung perempuan memungkinkannya membantu ibunya dalam membesarkan anak-anak lain.
Anak sulung perempuan yang mengalami eldest daughter syndrome mungkin juga menghadapi perfeksionisme. Dengan keyakinan bahwa mereka harus selalu menjadi panutan yang bertanggung jawab.
Mereka juga bisa mengalami kesulitan dengan over-functioning, terutama dalam hubungan. Itu istilah yang merujuk pada mengambil tanggung jawab untuk orang lain, seperti pasangan, teman, keluarga, kolega, bahkan orang asing. Praktiknya bisa berupa mengingatkan orang lain tentang tugas yang perlu diselesaikan, selalu menjadi orang yang membuat rencana kelompok. Juga sering membuat keputusan untuk orang lain, dan menahan pendapat pribadi demi mengelola reaksi orang lain.
Dengan beban mental yang berat disertai tanggung jawab praktis yang diemban oleh anak sulung perempuan, tidak mengherankan jika kecemasan, stres, dan kelelahan dapat dengan mudah datang.
Beri Ruang bagi Anak Perempuan Bertumbuh
Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, kita harus mulai dengan mengubah pola pengasuhan yang sudah ada. Ini bukan hanya soal bagaimana orang tua mendidik sulung perempuan. Tetapi juga bagaimana kita, sebagai masyarakat, memandang peran perempuan dalam keluarga.
Kita harus berhenti membebani anak pertama perempuan dengan tanggung jawab yang tidak adil. Mulailah memberi mereka ruang untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan impian mereka.
Untuk menghentikan rantai ketidaksetaraan ini, kita harus mengubah cara pandang kita terhadap perempuan. Pendidikan dan kesadaran akan pentingnya memberi ruang bagi perempuan untuk mengejar impian mereka tanpa merasa terbebani oleh ekspektasi keluarga adalah langkah pertama yang harus kita lakukan.
Selain itu, orang tua juga perlu lebih sadar tentang dampak psikologis yang ditimbulkan oleh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap sulung perempuan. Kita harus mengajarkan kepada anak perempuan bahwa mereka berhak untuk mengejar kebahagiaan mereka sendiri tanpa merasa bersalah atau takut mengecewakan orang lain.
Baca Juga: Yuk Ganti Pertanyaan Kapan Nikah dan Punya Anak Saat Lebaran Dengan Ini
Lebih penting lagi, kita perlu mengajarkan kepada generasi berikutnya bahwa perempuan berhak untuk memiliki pilihan dalam hidup mereka. Perempuan tidak hanya dilihat sebagai pengurus rumah tangga atau penjaga keluarga. Tetapi sebagai individu yang memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.
Anak pertama perempuan tidak boleh lagi merasa terjebak dalam peran yang dibentuk untuk mereka, mereka harus diberi kebebasan untuk menentukan siapa mereka sebenarnya, apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana mereka ingin hidup.
Saya berharap bahwa di masa depan, anak perempuan terutama yang menjadi anak pertama akan diberi kesempatan untuk tumbuh tanpa terbebani oleh ekspektasi yang tidak realistis. Dunia harus memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi siapa mereka sebenarnya, tanpa harus selalu mengorbankan impian dan kebahagiaan mereka demi memenuhi standar yang ada.
Harapan saya sebagai generasi selanjutnya yang juga akan menjadi orang tua adalah bahwa generasi mendatang tidak akan lagi merasa terjebak dalam pola pengasuhan yang membebani mereka.
Kita harus menciptakan dunia di mana perempuan bisa mengejar impian mereka dengan bebas, tanpa merasa harus selalu memenuhi harapan keluarga yang terkadang terlalu besar. Penting juga bagi kita untuk memutus rantai ketidaksetaraan ini dan memastikan bahwa setiap perempuan, tanpa terkecuali, diberi kesempatan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.
Baca Juga: Anak Perempuan di Persimpangan Hukum: Keadilan Restoratif Terlunta, Korban Dibiar Nestapa
Di masa depan, saya ingin melihat dunia yang berpihak pada perempuan. Dunia yang memberi mereka hak untuk merasa aman, dihargai, dan bebas untuk menjalani hidup sesuai dengan impian mereka.
Semoga kita bisa mencapainya, dimulai dari menghentikan pola pengasuhan yang membelenggu dan memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi siapa diri mereka tanpa rasa takut atau beban yang tidak perlu.