Di tengah gempuran “konten kemanusiaan” yang menyasar orang Papua di media sosial, muncul kritik dari seorang perempuan muda Papua.
Ia mempertanyakan kehadiran seorang influencer perempuan dari luar Papua yang datang ke Wamena, memasak dan membagikan makanan kepada warga setempat. Lalu membagikannya dalam bentuk video yang viral.
Kritik ini segera menuai respons keras. Sebagian orang menuduhnya tidak tahu berterima kasih, terlalu sinis, atau bahkan menolak kebaikan. Padahal, kritik itu tidak pernah diarahkan pada niat personal seseorang. Melainkan pada cara sebuah wilayah yang selama ini terpinggirkan kembali dihadirkan sebagai latar dari narasi heroik orang luar.
Kasus ini membuka percakapan penting tentang siapa yang punya kuasa untuk bercerita, siapa yang diberi ruang untuk bicara, dan siapa yang terus-menerus dijadikan objek representasi. Baik dalam proyek-proyek kemanusiaan maupun konten digital. Lebih dari itu, ia memperlihatkan betapa sulitnya bagi perempuan muda dari pinggiran untuk menyampaikan suara kritis. Tanpa segera dibungkam oleh tuduhan bahwa ia “tidak tahu terimakasih”.
Tulisan ini lahir dari kegelisahan tersebut. Bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk merenung bersama: apakah semua bentuk kebaikan selalu bebas dari bias kuasa? Bagaimana kita, terutama Perempuan, baik yang berada di pusat maupun pinggiran, bisa membangun solidaritas yang setara, bukan hanya empati yang cepat lalu hilang?
Representasi dan Kuasa: Papua sebagai Objek, Bukan Subjek
Dalam bukunya Orientalism (1978), Edward Said menjelaskan bagaimana dunia Barat (Eropa dan Amerika) membangun gambaran tentang “Timur” (Asia, Timur Tengah, dan wilayah jajahan lainnya) sebagai sesuatu yang primitif, eksotik, tidak rasional, dan perlu diselamatkan atau dijelaskan oleh Barat.
Orientalisme bukan sekadar cara pandang. Ia adalah sebuah sistem kuasa dan pengetahuan, di mana dunia Barat memproduksi narasi tentang Timur bukan berdasarkan kenyataan, melainkan berdasarkan hasrat dan kepentingan mereka sendiri. “Orang Timur tidak berbicara; mereka dibicarakan. Mereka tidak menulis sejarah mereka sendiri karena sejarah mereka ditulis oleh orang lain,” tulis Said.
Sekalipun konteks yang dibahas Said adalah “Orient” dalam artian geografis dan historis tertentu, pola ini juga berlangsung di banyak wilayah bekas jajahan lainnya, termasuk Papua dalam konteks Indonesia. Papua sering kali dibingkai sebagai alam liar yang perlu dijelajahi; masyarakat terbelakang yang perlu dibantu; atau ruang spiritualitas yang “murni” namun belum modern.
Baca Juga: ‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia
Ketika influencer dari luar Papua datang membawa kamera dan narasi kemanusiaan, tanpa sadar mereka mereproduksi posisi itu: Papua sebagai “yang lain” (the Other). Bukan sebagai subjek yang bicara tentang dirinya sendiri, tetapi sebagai objek yang ditampilkan untuk membangun citra dan empati si pencerita.
Bayangkan seseorang datang ke rumah kita, lalu memotret dapur kita yang sederhana dan mengunggahnya dengan caption: “Sangat terharu melihat rumah ini, mereka tidak punya banyak tapi tetap bahagia.” Padahal kita sendiri tidak merasa “miskin” atau “sedih”—kita hanya belum diajak bicara. Tapi dunia sudah punya narasi tentang kita.
Itulah representasi yang tidak adil. Seperti yang dikatakan Said, representasi bukan tentang kenyataan, tapi tentang kuasa: siapa yang berhak bicara atas nama siapa.
Dalam banyak percakapan soal kemanusiaan atau kegiatan sosial, suara dari luar sering lebih cepat didengar. Mungkin karena mereka lebih mudah mengakses media, cara bicaranya lebih sesuai dengan selera publik, atau karena posisi sosial mereka dianggap lebih layak dipercaya. Penampilan fisik juga bisa ikut menentukan, wajah yang dianggap “cantik” menurut standar masyarakat, sering kali membuatnya lebih mudah diterima dan didengarkan.
Sebaliknya, ketika suara lokal ikut bicara dan mengajukan kritik, sering kali justru dianggap terlalu keras, tidak penting, atau seolah-olah menolak niat baik. Namun, di titik ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: siapa yang dianggap paling layak mewakili Papua? Siapa yang berhak menentukan cara Papua dilihat dan diceritakan?
Baca Juga: Problem Perempuan Papua: Selalu Punya Hambatan Berkiprah di Ruang Publik
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan siapapun dari ruang solidaritas. Justru sebaliknya ini menjadi ajakan untuk memikirkan kembali bagaimana narasi tentang Papua dibentuk. Apakah sungguh melibatkan orang-orang Papua sendiri sebagai subjek yang berbicara, atau masih menjadikan kehadiran mereka sekadar latar dalam konten terlihat? Tapi tidak benar-benar dilibatkan dalam arah cerita yang dibangun.
Sering kali, meskipun wajah-wajah lokal hadir dalam konten bahkan ketika suara mereka terdengar. Arah narasi tetap disusun dari luar pengalaman hidup yang mereka jalani sehari-hari. Yang ditampilkan adalah potongan-potongan tertentu, dipilih untuk mendukung pesan atau kesan tertentu, yang kadang tidak memberi ruang bagi kerumitan realitas yang sebenarnya.
Dalam konteks seperti ini, kehadiran dalam gambar atau ajakan untuk berbicara tidak serta-merta berarti keterlibatan penuh dalam makna dan arah cerita. Di sinilah muncul kegelisahan yang wajar: sebuah dorongan untuk melihat representasi yang lebih adil, di mana orang-orang yang hidup di tempat itu tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga turut menentukan bagaimana kisah tentang mereka disampaikan.
Peminggiran Suara Perempuan
Bell Hooks, seorang sosiolog dan penulis feminis, menyebut bahwa ketika perempuan dari kelompok terpinggirkan, seperti perempuan kulit hitam, perempuan miskin, atau dalam konteks tulisan ini perempuan Papua, menyuarakan pendapat yang berbeda dari harapan umum, suara mereka sering kali dianggap terlalu keras, terlalu emosional, atau bahkan mengganggu. Padahal bagi Hooks, bicara balik (talking back) adalah tindakan politis. Perempuan tidak sekadar menyampaikan opini, tetapi sedang menantang struktur yang selama ini mengharapkan mereka untuk diam.
Dalam kerangka feminist media critique, suara perempuan dari pinggiran sering kali dibaca secara keliru. Ia tidak dilihat sebagai pengetahuan yang berharga, melainkan sebagai ancaman terhadap kenyamanan. Kritik dianggap sebagai kemarahan. Kejujuran dianggap kasar. Dan ketegasan dianggap menyerang. Padahal sering kali, itulah satu-satunya cara agar suara dari pinggiran bisa terdengar di ruang yang tak pernah benar-benar memberinya tempat.
Senada dengan Hooks, Gadis Arivia sebagai feminis Indonesia dalam buku Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006), secara mendalam membahas persoalan representasi dan suara perempuan dalam masyarakat Indonesia, yang sangat relevan dengan pertanyaan “Can the Subaltern Speak?” dari Gayatri Spivak.
Baca Juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua
Gadis mengkritisi bagaimana perempuan, terutama dari kelompok terpinggirkan, sering kali tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pengalaman dan perspektif mereka sendiri. Dalam konteks ini, suara perempuan Papua yang mengkritik narasi dominan tentang daerahnya dapat dipahami sebagai upaya untuk merebut kembali agen dan representasi diri.
Oleh sebab itu, mengacu pada pemikiran Gadis Arivia, penting untuk memberikan ruang bagi perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbicara dan didengarkan, serta mengakui kompleksitas identitas dan pengalaman mereka dalam wacana publik.
Bagi saya, suara perempuan muda Papua yang mengkritik aksi konten kreator mukbang (makan besar yang interaktif sebagai hiburan) di daerahnya bukan sekadar opini pribadi. Ia menyentuh sesuatu yang lebih dalam dan struktural. Tentang bagaimana Papua, sekali lagi, dikonsumsi secara visual, kultural, dan simbolik oleh orang luar. Tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat lokal.
Mengapa orang Papua begitu sering diposisikan untuk tetap ramah, menerima, dan diam agar tetap disukai? Mengapa saat suara kritis muncul, apalagi dari seorang perempuan muda, ia justru dianggap terlalu vokal, tidak tahu berterima kasih, atau bahkan tidak tahu cara bersyukur?
Baca Juga: Direndahkan dan Dianggap Buruk: Yang Dialami Perempuan Papua
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada persoalan yang lebih luas: bagaimana memastikan bahwa representasi tentang Papua dan tentang siapa pun yang berada di pinggiran struktur sosial, tidak berhenti pada visual dan empati. Tetapi benar-benar membuka ruang partisipasi yang bermakna.
Dalam situasi di mana suara kritis sering kali ditanggapi dengan kecurigaan, dan keberanian untuk berbicara dianggap sebagai ketidaktahuan akan tata krama sosial, penting untuk mengingat bahwa kritik bukanlah penolakan terhadap niat baik. Ia adalah bagian dari percakapan yang sehat dalam masyarakat yang ingin bertumbuh. Masyarakat yang tidak hanya memberi tempat untuk tindakan, tetapi juga untuk pertanyaan.
Bukan soal siapa yang berbicara lebih dulu atau lebih keras. Tetapi bagaimana ruang bicara itu dibentuk: apakah ia terbuka bagi yang selama ini didiamkan. Sebab hal itu justru kembali mengulang pola lama, di mana yang paling dekat dengan pengalaman, justru paling sedikit didengar.
Kritik Lokal dan Ruang Solidaritas yang Setara
Kritik bukanlah bentuk kebencian, melainkan sebuah panggilan etis untuk membangun solidaritas yang setara. Solidaritas yang ideal seharusnya tidak mendikte siapa yang boleh bicara, atau bagaimana suara disampaikan. Sebaliknya, ia memberi ruang untuk bertanya, untuk meragukan, dan untuk membangun bersama secara lebih bermartabat.
Dalam konteks ini, kritik dari perempuan muda Papua tidak semestinya dibaca sebagai penolakan terhadap kebaikan. Tetapi sebagai harapan agar bentuk-bentuk keterlibatan ke depan tidak hanya berorientasi pada membantu. Mestinya juga pada keberjalanan bersama sebagai sesama yang setara.
Isu tentang Papua dan kesenjangan kesejahteraan di Papua memang perlu terus disuarakan—oleh siapa pun, baik dari dalam maupun luar Papua. Namun, solidaritas itu akan bermakna jika tumbuh dari ruang dialog yang setara. Bukan dari relasi yang timpang antara “yang menolong” dan “yang ditolong”.
Ruang-ruang keberpihakan perlu dibangun di atas ketulusan yang peka terhadap konteks sosial, politik, dan budaya yang nyata. Bukan sekadar pada apa yang tampak di permukaan.
Kita tentu tak bisa menaruh ekspektasi besar pada konten yang lahir dari interaksi singkat selama beberapa hari. Namun ketika pola yang sama berulang: konten eksplorasi kuliner, mukbang, dan narasi “Papua yang lapar”. Maka perlu ada jeda untuk bertanya: benarkah ini solidaritas, atau sekadar pengulangan dari cara lama dalam melihat Papua sebagai wilayah eksotik yang tertinggal?
Baca Juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua
Alih-alih mengukuhkan stereotip lama, para pembuat konten bisa memilih untuk membangun narasi yang lebih adil dan edukatif. Platform digital bisa menjadi ruang belajar bersama, bukan hanya panggung satu arah. Termasuk belajar untuk tidak menjadikan satu kali makan siang sebagai simbol kepedulian yang selesai setelah kamera dimatikan.
Kritik dari orang Papua, terutama perempuan muda, sering kali tidak dinilai dari isinya, tapi langsung dicurigai, diasosiasikan dengan separatis. Ini mencerminkan cara pikir yang sempit dan menutup ruang dialog.
Padahal berpikir kritis bukan berarti melawan, dan bertanya bukan berarti menolak. Bila kita ingin membangun solidaritas yang sejajar. Maka dengarkanlah suara Papua tanpa prasangka. Karena setiap orang, termasuk dari tanah yang sering dibungkam, berhak bicara tentang dirinya sendiri.
Mendengarkan tanpa prasangka adalah langkah awal dari solidaritas yang sejati. Bukan sebagai bentuk belas kasihan, tetapi sebagai pengakuan atas kesetaraan manusia.
(Editor: Nurul Nur Azizah)
(Sumber Gambar: Pinterest)