*Almira Ananta- www.Konde.co
Di sepanjang jalan yang saya lalui, saat bulan Agustus seperti ini, jalan-jalan selalu dipenuhi dengan kemeriahan. Di Indonesia, kemeriahan ini bertepatan dengan kemerdekaan Indonesia. Ketika saya menyusuri beberapa jalan di Jawa, dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah, seminggu lalu bendera merah putih berkibar di jalan.
Pemandangan yang sama juga saya lihat di beberapa negara lain ketika hari kemerdekaan tiba. Di Singapura dan Malaysia, setiap rumah memasang bendera. Toko-toko di Singapura dipenuhi dengan diskon hingga 70%.
Yang melegakan adalah, saya tak pernah kehilangan kemeriahan di tempat saya tinggal di Jakarta. Lomba makan kerupuk, meniup balon, memecahkan air dalam plastik, gerak jalan, volley dan bermain bola menggunakan sarung dan sepeda hias. Pemandangan ini selalu datang setiap Agustus.
Yang lainnya, ada bazar dan banyaknya jualan makanan. Semuanya akan berakhir dengan panggung, dimana ada partisipasi warga dalam pementasan tersebut.
Namun, ada saja yang membuat saya agak prihatin. Dengan kemeriahan ini, dengan semua perlombaan yang dilakukan, mengapa banyak perempuan terutama para ibu, masih memegang peran domestik?.
Dalam kepanityaan kecil misalnya, para ibu masih memegang seksi konsumsi. Selain itu, mereka juga malah sibuk menggelar bazar dan lupa bahwa para ibu harus berpartisipasi dalam kegiatan dan lomba yang lain.
Hal ini yang membuat banyak ibu tak mau tampil. Bukan tak mau tampil sebenarnya, namun lingkungan sudah memposisikan ibu untuk mengambil peran-peran domestik. Ketua dan wakil ketua peringatan 17 Agustus misalnya, selalu dipegang laki-laki. Baru kemudian ibu atau perempuan memegang peran sebagai sekretaris dan seksi konsumsi.
Hal ini saya alami terus menerus ketika saya kecil. PKK, seksi konsumsi kemudian membuat peran perempuan tak kelihatan di ruang publik.
Dalam sejumlah kepanityaan yang saya ikuti misalnya, para perempuan kemudian sibuk dengan dapur dan konsumsi. Sering meninggalkan rapat dan lebih sibuk menyipakan makanan. Padahal perempuan seharusnya menjadi subyek penting sebagai pengambil keputusan diantara laki-laki atau bapak-bapak yang lain. Namun yang terjadi tidak demikian.
Seingat saya, dulu banyak pihak yang mengkritik soal keberadaan PKK karena organisasi ini mendomestifikasi perempuan. Namun, tak hanya menjadi kepanjangan PKK jaman dahulu, kepanityaan seperti hari kemerdekaan atau kepanityaan lain selalu menempatkan perempuan dalam peran-peran domestiknya.
Secara iseng, saya pernah menanyakan ini dalam sebuah rapat warga di tempat saya tinggal. Ada seorang bapak yang menjawab bahwa,” Memang itu sudah pembagian tugas. Bapak di depan, ibu di belakang.”
Namun bukankah jika ini diartikan sebagai sebuah pembagian tugas, perempuan bisa saja dibalik: mereka berada di depan dan laki-laki di belakang?
Kalau jawabannya bahwa: itu tidak pantas, ya repot jadinya.
Dan pertanyaan berikutnya: apakah para perempuan dan ibu-ibu sudah pernah ditanya, apakah mereka sudah nyaman berada di posisi belakang? Apakah pertanyaan ini pernah ditanyakan pada para perempuan dan ibu? Jika tidak, memang ada yang salah dalam konstruksi berpikir di sekeliling kita.
Cara berpikir yang dikotomis ini tentu saja tidak tiba-tiba lahir secara alamiah, namun ini merupakan konstruksi yang kemudian dibesarkan, langgeng dan terus-menerus terjadi.
Perempuan seharusnya berjuang atas ini, melawan dikotomi yang merugikan mereka. Sehingga Agustus, seperti bulan-bulan sekarang ini tidak hanya dihiasi dengan perlombaan, hiasan dan panggung, namun juga dengan debat soal bagaimana menempatkan perempuan sebagai subyek penting dalam sebuah organisasi, kepanityaan. Sehingga tak ada lagi dikotomi dan pembatasan atas peran perempuan.
Perubahan, tentu dilakukan dari tempat terkecil, dimana kita tinggal.
(Foto/Ilustrasi: serubareng.net)
*Almira Ananta– Blogger dan Traveller