Kustiah- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Nurana Indah Paramita menjadi salah satu perempuan Indonesia yang memberikan bukti nyata, bahwa di tangannya sebuah karya mampu mengubah kehidupan banyak orang.
Perempuan yang mengubah gelap.
Melalui temuannya bersama tim turbin arus laut, ia sudah mengubah jalan gelap masyarakat pulau menjadi jalan terang.
Siapa sangka tugas akhir kuliah bisa mendatangkan uang banyak? Bahkan bisa menjadi sebuah proyek besar yang diincar negara lain. Itu pula yang tak dipikirkan Nurana Indah Paramita, 32 tahun ketika itu.
Mengubah Gelap
Mita, sapaannya, awalnya hanya fokus terhadap proyek tim yang saat itu sedang membuat tugas akhir dengan membuat turbin arus laut. Tim yang terdiri dari 13 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan berbagai jurusan ini mengkolaborasikan masing-masing ilmunya. Termasuk Mita yang saat itu baru semester III dengan jurusan oseonografi atau kelautan. Lainnya, ada yang jurusan teknik mesin, elektro dan jurusan lainnya.
Untuk mengerjakan proyek pun Mita dan timnya mesti mengajukan proposal ke Dinas Pendidikan dan Teknologi (Dikti). Dari proposal itu Mita mendapatkan bantuan dana sebesar Rp5 juta.
“Lumayan, untuk fotokopi, ngeprint. Daripada tidak dapat sama sekali, segitu lumayan membantu,” katanya.
Sebenarnya menurut Mita, turbin yang menggunakan arus laut bukan temuan baru. Beberapa negara di Eropa dan Amerika pernah membuat teknologi ini, hanya saja karena mereka memiliki nuklir, arus laut tak lagi menjadi priorotas untuk menggerakkan pembangkit listrik dan kebutuhan lainnya.
Berbeda dengan Indonesia. Sebagai negara maritim yang memiliki ribuan pulau Indonesia memiliki potensi besar menggunakan arus laut. Apalagi di sini tak bisa menggunakan nuklir, maka arus laut menjadi salah satu energi besar yang bisa dimanfaatkan. Sayang, penggunaan teknologi ini belum familiar dan belum ditangkap pemerintah sebagai energi alternatif.
“Kita itu punya sumber daya alam yang melimpah. Kreativitas dan kemauan dari pemerintah yang belum ketemu,” ujarnya kepada penulis di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mita dan timnya beruntung mengerjakan proyek besar yang masih berstatus mahasiwa. Karena, dengan statusnya mereka bisa berkonsultasi dengan dosen. Jika tidak, mungkin proyeknya tak akan berjalan mulus karena harus membayar konsultan. Dosen pembimbing pun berasal dari jurusan yang berbeda, sesuai dengan anggota tim yang mengerjakan bidangnya.
Proyek yang dimulai pada 2005 ini akhirnya selesai pada 2007. Pada masa inilah Mita dan tim memutuskan membuat CV karena sudah merasa memiliki produk yang bisa diaplikasikan di lapangan.
Membangun Perusahaan Energi
Dan pada 2009 berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Nama yang dipilih T-Files dan tim menunjuk Mita sebagai direkturnya karena dianggap masih mudah dan berstatus mahasiswa. Sementara anggota tim lainnya sudah semester akhir dan beberapa sudah lulus.
Pada 2012 temuan Mita langsung dilirik negara Jepang. Mereka berminat bekerjasama dengan PT. T-Files dalam waktu panjang. Tawaran kerjasama membuat Mita dan tim tergiur sekaligus senang. Hampir saja ia memutuskan untuk mengambil tawaran itu.
“Beberapa kali kami bertemu untuk membicarakan proyek ini. Dan hampir deal,” katanya.
Sayang, Mita juga telanjur dekat dengan Dahlan Iskan, yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN dan M Hatta Rajasa, yang selain menjabat sebagai Menko Perekonomian juga menjadi ketua umum alumni ITB. Kedua orang ini menurut Mita merupakan mentor yang baik bagi timnya. Jadi, karena saran kedua orang inilah Mita akhirnya memutuskan membatalkan proyek kerjasama dengan Jepang.
“Kami sering ‘dirayu’ dan dinasehati oleh kedua mentor kami ini. Jika di negeri ini masih membutuhkan mengapa kami harus ke Jepang?” kata Mita mengenang nasihat Dahlan Iskan dan Hatta.
Usai pembatalan kerjasama PT. T-Files akhirnya mengerjakan proyek PLT AL di beberapa daerah bekerjasama dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Lalu berlanjut kerjasama dengan beberapa BUMN di antaranya dikerjakan di Bali, Lombok, dan di beberapa kepulauan.
Selain dengan BUMN, T -Files juga bekerja sama dengan CSR bank pelat merah. Dari proyeknya ini banyak petani rumput laut, nelayan, dan masyarakat di kepulauaan menikmati penerangan yang dibuat T-Files. Dulu, pulau-pulau yang ekonominya di bawah rata-rata kini bisa hidup lebih layak. Karena, sekarang berbagai usaha bisa berjalan lancara dengan dukungan listrik.
Namun, kesuksesan T-Files tak lantas membuat tim makin solid. Karena, beberapa anggota yang sudah lulus kuliah memutuskan untuk bekerja di perusahaan bonafit. Yang awalnya berjumlah 13 orang berkurang menjadi 8 dan akhirnya hanya tinggal bertiga.
“Mungkin gaji yang diterima tak sebesar yang T-Files berikan. Tapi kami hargai pilihan teman-teman. Karena mereka juga tetap masih men-support T-Files,” ujar Mita yang mengaku sampai saat ini masih berkomunikasi dengan mantan tim T-Files.
Jumlah rata-rata dana proyek T-Files menurut Mita masih di kisaran di bawah ratusan juta. Namun, meskipun terbilang kecil proyeknya terus berkelanjutan.
“Karena kami ini P3K-nya ( Pertolongan Pertama Pada Korban) kepulauaan jadi semua orientasinya tak melulu profit meskipun itu juga kami perlukan,” katanya (Bersambung)