Memperjuangkan Ruang Laktasi di Tempat Kita Bekerja

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Apakah di kantor tempat anda bekerja sudah menyediakan ruang laktasi? Sesungguhnya ruang laktasi merupakan hak bagi pekerja yang sedang menyusui untuk mendapatkannya, dan kantor tempat kita bekerja mempunyai kewajiban untuk menyediakannya.

Bisa anda bayangkan jika tidak ada ruang laktasi, dimanakah perempuan akan menyusui bayinya atau memerah ASI? Kebanyakan perempuan yang ditempatnya bekerja tidak menyediakan ruang laktasi, mereka harus menyusui atau memerah Air Susu Ibu (ASI) di toilet atau di gudang. Padahal ruang laktasi seharusnya higyenis dan menyediakan kulkas untuk menyimpan ASI yang telah diperah.

Tidak hanya itu, ketiadaan ruang laktasi kemudian juga akan mempengaruhi produktifitas ibu yang sedang bekerja karena banyak waktu yang terbuang sia-sia untuk mencari tempat yang bisa digunakan untuk memerah ASI.

Peraturan Menteri Kesehatan/ Permenkes Nomor 15 Tahun 2013 sebelumnya telah menyebutkan tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Di dalamnya juga telah mengatur dukungan program ASI ekslusif di tempat kerja dan tempat sarana umum. Dukungan tersebut harus disediakan yaitu penyediaan fasilitas menyusui dan memerah ASI, pemberian kesempatan kepada Ibu yang bekerja untuk memberikan ASI, pembuatan peraturan internal yang mendukung program pemberian ASI ekslusif dan penyediaan tenaga terlatih pemberian ASI. Maka di setiap kantor, ruang laktasi harus disediakan.

Karena bagaimanapun juga ASI ekslusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain, ungkap Faradhiba Tenrilemba, Sekjen Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).

“Setiap Ibu mau menyusui karena didorong oleh naluri dan kodrat. Keberhasilan Ibu dalam memberikan ASI tergantung dorongan dari orang-orang terdekat. Ibu perlu dukungan dari pemerintah, lingkungan tempat kerja, tenaga dan fasilitas kesehatan, dan keluarga khususnya suami”, ungkap Faradhiba Tenrilemba.

Hal itu merupakan rangkuman dari hasil diskusi “Kerja Sehat Pekerja Perempuan lewat Ruang Laktasi Layak” yang diadakan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dalam rangkaian acara Work Balance Festival di Jakarta, Sabtu 27 Januari 2018.

Ketua Serikat Pekerja Bisnis Indonesia, Ratna Ariyanti menyatakan bahwa saat ini belum banyak perusahaan media yang memiliki ruang laktasi bagi pekerjanya. Padahal mereka bisa memanfaatkan ruang-ruang kosong untuk memerah ASI. Menurutnya pembuatan fasilitas ruang laktasi tidaklah mustahil, hal tersebut dapat terwujud apabila ada kepedulian bersama dan pemahaman mengenai perspektif gender.

Untuk perempuan wartawan, banyak wartawan yang berstatus sebagai reporter kemudian kesulitan dalam menyusui, karena liputan yang tidak mengenal waktu dan tempat. Kadang ketika harus memerah ASI, tidak ada tempat yang memadai atau yang bisa digunakan karena posisi mereka yang selalu berpindah tempat. Maka sejumlah wartawan kemudian mengusulkan, agar wartawan yang berada di lapangan, ketika masih memerah ASI, harus bekerja dulu di dalam kantor minimal hingga bayinya berumur 6 bulan. Karena bayi hingga 6 bulan wajib mendapatkan ASI ibunya.

Kepala HR Jones Lang LaSalle Indonesia Paula Prawita, menjelaskan tentang kebijakan Diversity and Inclusion yang dijalankan perusahaannya. Di perusahaan tersebut perempuan menjadi profit maker karena dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih baik daripada laki-laki. Untuk mempertahannkan produktifitas dan keberadaannya di dalam perusahaan, maka dibuatlah kebijakan Diversity and Inclusion. Kebijakan tersebut memberikan kenyamanan bagi pekerja perempuan karena memberikan tambahan cuti melahirkan, jam kerja yang fleksibel dan adanya ruang laktasi. Dampak dari kebijakan tersebut adalah produktifitas pekerja terjaga dan juga siklus pergantian pekerja berkurang.

Desain Ruang Laktasi Layak

Lalu bagaimana ruang laktasi yang ideal di sebuah tempat kerja? Anas Ramananda yang merupakan designer Interior yang juga anggota Serikat Pekerja SINDIKASI kemudian memperkenalkan desain ruang laktasi. Desain ini didasari oleh banyaknya perusahaan yang tidak memiliki ruang laktasi dengan alasan keterbatasan tempat dan biaya yang mahal.

Idealnya ruang laktasi berukuran minimal 3×4, namun karena seringnya ada keterbatasan tempat, maka Anas Ramananda membuat desain ruang laktasi dengan ukuran 2×3. Didalamnya sama dengan ruang laktasi lainnya, yaitu harus terdapat tempat duduk, lemari penyimpanan, papan informasi, dispenser, lemari pendingin, tempat sampah, pintu yang bisa dikunci dari dalam, stop kontak dan AC, yang berbeda adalah tidak adanya wastafel. Menghilangkan wastafel dalam desain ruang laktasi bertujuan untuk meminimalisasi luas ruang dan menjadi solusi dari keterbatasan jangkauan saluran air di sebuah gedung.

Alternatifnya, Ruang Laktasi bisa dibuat dekat dengan toilet sehingga sumber air bersih mudah dijangkau, atau bisa juga dengan meletakkan air bersih yang ditampung dalam sebuah wadah di dalam ruang laktasi tersebut.

Lalu untuk masalah biaya, Anas memberi alternatif untuk menggunakan gypsum sebagai bahan material dinding karena lebih murah dan mudah dibuat jika dibandingkan dengan menggunakan batu bata ataupun hebel. Sederhana bukan? Mari kita memperjuangkan ruang laktasi untuk perempuan dan anak, selain legal secara hukum, adanya ruang laktasi memberikan tanda penghargaan kita terhadap semua anak di Indonesia.

*Aprelia Amanda, Mahasiswa IISIP Jakarta dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!