Rafiqa Qurrata A’yun, Universitas Indonesia
Sejak Indonesia menjadi negara demokrasi yang melindungi kebebasan berpendapat, ironisnya, angka kasus penodaan agama justru meningkat drastis.
Artikel ini menjelaskan alasan mengapa kondisi tersebut terjadi, terutama setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada reformasi 1998.
Situasi terkini
Selama 32 tahun kekuasaan otoriter Soeharto, hanya ada sepuluh kasus penodaan agama yang diputus oleh pengadilan. Jumlah ini melonjak hingga lebih dari 130 kasus dalam kurun waktu 1998 hingga 2012.
Kecenderungan ini masih terus berlanjut. Pada 2017, perhatian publik tersita pada kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok yang merupakan keturunan etnis Cina dan beragama Kristen adalah calon kuat dalam pemilihan gubernur Jakarta. Ia kemudian dinyatakan bersalah oleh hakim dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena pernyataannya dianggap menodai agama Islam.
Buni Yani yang berkontribusi menyunting dan menyebarkan transkrip pernyataan Ahok, didakwa telah menyebarkan ujaran kebencian. Ia mendapat vonis 1,5 tahun penjara atas tindakannya memotong video pernyataan Ahok.
Setelah Ahok dan Buni Yani, kasus-kasus serupa terus bermunculan.
Kasus yang terbaru melibatkan Sukmawati Soekarnoputri, akademisi Ade Armando dan Rocky Gerung, serta politikus senior Amien Rais. Jumlah kasus penodaan agama sangat mungkin bertambah menjelang pemilihan presiden pada 2019 mendatang.
Beberapa peneliti menjelaskan kenaikan kasus tersebut disebabkan oleh menguatnya intoleransi dan radikalisme Islam.
Pendapat lainnya merefleksikan kasus-kasus tersebut sebagai bentuk sekularisasi yang belum sepenuhnya terwujud di Indonesia, sehingga agama masih menjadi bagian yang sangat penting dalam ruang publik.
Analisis tersebut tidak dapat diabaikan, akan tetapi penting menempatkan masalah ini dalam latar belakang politik yang lebih luas.
Saya meneliti kecenderungan yang tampak dari penggunaan aturan hukum mengenai penodaan agama sejak diterbitkan pada 1965 hingga saat ini. Dari riset tersebut, saya menyimpulkan bahwa maraknya kasus penodaan agama adalah hasil dari situasi politik Indonesia yang didominasi oleh predatorisme.
Pola historis
Era Soekarno
Aturan penodaan agama sejak awal diterbitkan memiliki tujuan politis. Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 dengan salah satu pasalnya kemudian diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aturan tersebut dilatarbelakangi kepentingan Soekarno untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Islam menyusul adanya “aksi sepihak” yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), sekutu utama Soekarno. Melalui aksi ini, PKI merebut dan menduduki lahan yang sebagian besar milik tuan tanah Muslim. Konflik agraria ini memicu ketegangan antara PKI dengan kelompok Islam.
Soekarno pun menerbitkan aturan penodaan agama untuk meredakan tensi dari kelompok Islam. Salah satu tujuan dari aturan itu adalah melarang “penafsiran yang menyimpang” serta membatasi organisasi kebatinan atau aliran kepercayaan yang banyak terafiliasi dengan PKI.
Era Soeharto
Pada awal pemerintahan Soeharto pada 1968, kasus penodaan agama pertama kalinya dibawa ke ruang pengadilan. Sastrawan H.B. Jassin dinyatakan bersalah karena menerbitkan cerita pendek yang mengritik Soekarno dan melecehkan Islam. Kasus ini berlanjut bukan karena Soeharto membela Soekarno, melainkan untuk mendapatkan simpati dari kalangan Muslim.
Hingga dua puluh tahun setelah kasus H.B. Jassin, tidak ada orang yang dipidana dengan undang-undang ini.
Pada awal 1990-an, isu penodaan agama kembali digunakan oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuatan politiknya. Ini adalah periode saat aliansi politik-ekonomi Soeharto mengalami friksi, terutama dari faksi militer. Konflik internal ini menyebabkan Soeharto mencari dukungan dari kelompok Muslim yang sebelumnya justru diperlakukan secara represif.
Strategi politik Soeharto itu dapat menjelaskan adanya lonjakan angka mencapai sepuluh kasus menjelang akhir kekuasaannya. Soeharto menggunakan kasus-kasus tersebut untuk meraih simpati kalangan Muslim konservatif sekaligus menekan lawan-lawan politiknya.
Kecenderungan ini tampak jelas dalam kasus penodaan agama yang terjadi di Situbondo, Jawa Timur, menjelang pemilihan umum 1997. Seorang pria berusia 28 tahun didakwa menghina Islam dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Sejumlah laporan menyebut ketidakpuasan publik atas vonis itu telah memancing kerusuhan yang menewaskan lima orang.
Analisis lain menyimpulkan kasus itu adalah bagian dari strategi Soeharto untuk menekan Nahdlatul Ulama (NU) di salah satu basis utamanya di Situbondo. NU adalah pendukung utama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu pesaing partai pemerintah Golongan Karya.
Predatorisme
Demokrasi di Indonesia telah menjadi arena praktik predatorisme, suatu kondisi yang mendorong para politikus menggunakan segala sarana untuk mengalahkan lawan-lawannya. Politik uang, kekerasan, serta sentimen etnis dan agama digunakan untuk mendapatkan dukungan publik.
Praktik ini merupakan warisan rezim politik Orde Baru. Kebijakan depolitisasi Orde Baru, termasuk dengan menghabisi kekuatan kiri sebagaimana ditunjukkan dari pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI, telah membuat masyarakat menjadi tidak terorganisasi secara politik. Hal ini berkontribusi pada absennya kekuatan politik terorganisasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kondisi tersebut mendorong aktor politik menggunakan pasal penodaan agama untuk mengamankan perolehan suara. Maka, bukan hal yang mengejutkan jika kasus-kasus penodaan agama marak terjadi.
Meningkatnya kesalehan
Seorang peneliti dari Australia Melissa Crouch menyatakan besarnya kekuasaan Soeharto dalam mengontrol ekspresi beragama sebagai alasan sedikitnya angka kasus penodaan agama di era tersebut. Akan tetapi, terlalu sederhana menyatakan bahwa lonjakan kasus terjadi karena Soeharto tak lagi berkuasa.
Kasus penodaan agama di Indonesia berkaitan dengan latar belakang meningkatnya kesalehan masyarakat. Namun pada saat yang sama, kalangan Muslim konservatif tidak bisa mengorganisasi kelompoknya sebagai suatu kekuatan politik yang koheren.
Politikus kemudian melihat hal tersebut sebagai suatu kesempatan untuk memobilisasi kalangan Muslim demi kepentingan mereka. Penggunaan aturan penodaan agama adalah salah satu strategi politikus untuk memobilisasi dukungan kelompok Muslim konservatif yang dilakukan dengan memantik sentimen keagamaan.
Contohnya, banyak politikus lokal menggagas penerbitan Peraturan Daerah Syariah yang merepresi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, sebagai bagian dari taktik mengamankan perolehan suara dari kelompok Muslim konservatif dalam pemilihan kepala daerah.
Kasus penodaan agama maupun ujaran kebencian tentang agama yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga menunjukkan bagaimana kepentingan politik mendominasi tujuan penegakan hukum. Sejumlah pihak yang dilaporkan juga menunjukkan adanya afiliasi politik dengan pihak-pihak yang berkompetisi dalam pemilihan presiden 2019 mendatang.
Fenomena “lapor-melapor” di antara kelompok yang bertarung dalam kontestasi politik pun telah mengemuka sejak menjelang pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 lalu.
Mustahil untuk dihapus
Saya menyimpulkan lonjakan kasus penodaan agama bukan disebabkan oleh meningkatnya intoleransi maupun radikalisme Islam di tengah masyarakat. Peningkatan ini juga bukan karena suatu fenomena khas dari negara non-sekuler.
Lebih dari itu, praktik predatorisme yang memberi ruang bagi politikus untuk memperoleh dukungan dengan memanfaatkan isu agama adalah faktor penting yang mendorong lonjakan kasus penodaan agama.
Undang-Undang Penodaan Agama menyediakan sarana bagi politikus untuk meraih kekuasaan dengan memanfaatkan sentimen agama dan kemarahan publik yang mempertegas polarisasi. Selama aturan ini hanya menguntungkan kepentingan elite politik, maka mustahil menghapus pasal penodaan agama di Indonesia.
Rafiqa Qurrata A’yun, Lecturer, Department of Criminal Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.