*Luluk Khusnia- www.Konde.co
Ada satu kalimat yang melekat di benak saya hingga saat ini soal bagaimana anak-anak yang selama ini menjadi korban pertengkaran oeangtua.
“Hidup berumah tangga pasti tidak bisa lepas dari yang namanya konflik”.
Saya mendengarnya berulang kali dan tidak hanya dari satu orang. Walaupun saya belum berumah tangga, tapi saya mengamini kalimat itu.
Beberapa kali saya menyaksikan bapak melakukan kekerasan verbal terhadap ibu saya. Mereka juga pernah bertengkar di hadapan saya. Meskipun tidak sering terjadi, tapi semua kejadian itu benar-benar membekas pada diri saya. Mungkin orang tua saya sudah melupakannya, tapi saya tidak bisa menghilangkan ingatan beserta emosi yang menyertainya saat itu.
Ternyata, di luar sana masih banyak anak yang mengalami hal serupa seperti yang saya alami, bahkan dengan intensitas yang lebih sering.
Beberapa teman saya menjadi korban ketidakharmonisan hubungan kedua orang tuanya, meskipun orang tuanya masih utuh dan tinggal dalam satu atap.
Sebagian besar dari teman-teman saya ini justru mengalami dampak buruk lantaran kerap menyaksikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya kepada ibunya, baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun psikis. Ada yang tidak berani menjalin hubungan dengan lawan jenis. Ada yang makin agresif dan cenderung memberontak. Ada pula yang makin merasa tidak percaya diri.
Mereka kehilangan figur bapak yang seharusnya menjadi panutan. Mereka mencari kasih sayang dan perhatian karena mereka tak mendapatkannya dari orang tua.
Salah seorang teman laki-laki saya misalnya. Ia bercerita bahwa ayahnya kerap berbuat kasar kepada ibunya dan selalu marah ketika diingatkan. Ia seolah-olah tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi ayahnya. Rasa takutnya kerap muncul ketika ayahnya menunjukkan kemarahan. Situasi ini membuat teman saya selalu mempunyai alasan untuk pergi dari rumah.
Namun, ia merasa berat untuk meninggalkan ibunya di rumah. Beberapa kali teman saya ini justru mengumpat si ayah karena tidak suka dengan perlakuan ayahnya. Ia juga mengatakan, jika suatu saat nanti ia berkeluarga, maka ia tidak ingin bersikap seperti ayahnya.
Kondisi-kondisi seperti inilah yang kemudian dikenal dengan istilah broken home. Namun, selama ini sebagian orang menganggap bahwa istilah broken home hanya digunakan untuk menggambarkan kondisi keluarga ketika orang tua bercerai.
Sebenarnya, istilah broken home juga digunakan untuk menggambarkan kondisi keluarga yang tidak harmonis, tidak memberikan kenyamanan bagi anggota keluarga terutama anak, kondisi di mana bapak memukuli dan melakukan kekerasan terhadap ibu, orang tua tidak mampu bersikap sesuai perannya, anak-anak kehilangan kasih sayang serta perhatian dari orang tua.
Lori, seorang psikolog klinis yang pernah menempuh pendidikan di University of Southern California, menjelaskan bahwa anak yang berasal dari keluarga broken home dapat mengalami berbagai dampak yang akan mempengaruhi pertumbuhannya. Secara emosional, anak bisa mengalami depresi berkepanjangan. Selain itu, anak juga akan mengalami keterlambatan dalam perkembangan akademiknya.
Dalam artikel berjudul Parental Divorce and Adolescents yang diterbitkan di Jurnal Psychology Today, seorang psikolog bernama Carl Pichardt juga menyebutkan bahwa pada keluarga broken home, beberapa anak melampiaskan perasaan tentang keluarganya yang tidak harmonis dengan bertingkah agresif dan melakukan bullying terhadap temannya.
Beberapa lainnya memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, sehingga sulit berinteraksi sosial. Mereka juga cenderung memiliki rasa tidak percaya, baik terhadap orang tua maupun calon pasangannya.
Di samping itu, psikolog Ayu Sutomo juga mengungkapkan bahwa anak broken home akan merasa tidak memiliki figur orang dewasa yang dapat diteladani. Ia akan berpikir bahwa tidak ada lagi yang bisa ia percayai untuk dijadikan pegangan hidup.
Dampak buruk lainnya yakni anak broken home berpotensi besar mengidap masalah psikologis, seperti skizofrenia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh London Institute of Psychiatri (2008). Anak akan sulit mengontrol pikiran, emosi, dan perilaku. Ia akan menarik diri dari kenyataan.
Ketika konflik tak segera usai, orang tua biasanya akan memilih jalan perceraian. Pada situasi tertentu, saya akan mengatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya jalan terbaik. Bagi perempuan misalnya, harus bercerai karena ingin keluar dari kekerasan yang dialaminya.
Anak tentu akan menelan pil pahit perceraian kedua orang tuanya. Jika biasanya ia tumbuh dalam asuhan orang tua, maka perceraian membuat anak harus tumbuh hanya dengan asuhan salah satu orang tua atau bahkan tidak dengan keduanya. Kehadiran orang tentu akan sangat membantu perkembangan anak. Namun tentu ini lebih baik dibandingkan anak harus menyaksikan kekerasan yang terus-menerus dialami ibunya.
Lantas, bagaimana apabila orang tua bercerai? Anak bisa saja mengalami gangguan dalam perkembangannya.
Menurut saya, yang memicu masalah bagi perkembangan anak bukanlah perceraian, melainkan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi sebelum perceraian tersebut, sekaligus kekerasan yang ia sering ia lihat.
Jika memang perceraian, maka Orang tua masih perlu memikirkan langkah ke depan pascaperceraian, demi perkembangan si anak. Kemudian, orang tua perlu mengajak anak untuk membahas hak asuh. Setiap orang tua tentu menginginkan hak asuh penuh atas anaknya. Namun, orang tua yang akan bercerai sebaiknya memberikan kebebasan bagi anak untuk memilih tinggal dengan siapa setelah orang tuanya bercerai. Anak juga harus dibimbing dan diasuh oleh orang yang tidak melakukan kekerasan, karena ia berhak mendapatkan dunia yang tidak diwarnai kekerasan.
*Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang sedang menempuh semester akhir S1. Aktif dalam pers mahasiswa.