*Irmia Fitriyah- www.Konde.co
Menikah karena saling mencintai adalah pilihan. Tidak menikahkahpun juga adalah sebuah pilihan. Pada masa kini, memutuskan untuk menikah selalu dianggap kelaziman dan menjadi norma penting bagi pernikahan. Meski saat ini masih terjadi praktik pernikahan karena perjodohan, tetapi hal ini bernilai rendah.
Tak bisa dipungkiri bahwa cinta dan pernikahan memiliki relasi yang kuat, banyak orang menikah karena saling mencintai. Mereka memilih pasangannya sendiri atas preferensi mereka sendiri, mengembangkan hubungan perlahan demi perlahan, dan pernikahan tidak dilakukan untuk pencapaian status sosial belaka.
Namun, di sisi lain Gilbert (2010: 135) menemukan bahwa perceraian yang dulu pernah menjadi hal yang sangat langka di masyarakat barat mulai meningkat pada pertengahan abad ke-19 –hampir bersamaan saat orang-orang mulai memilih pasangan mereka sendiri atas alasan cinta semata. Sementara itu di Indonesia, Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen (Republika Online, diakses 08 Februari 2012).
Itulah fakta menarik tentang pernikahan: perceraian adalah konsekuensi yang tidak disengaja (unintended consequence), tetapi mengapa banyak orang tetap ingin menikah?.
Mereka seakan tak terpengaruh atas fakta tentang perceraian, bahkan ketika seseorang bisa jadi telah bercerai.
Bagi masyarakat secara umum, pernikahan selalu menjadi pilihan yang lebih baik, walaupun regulasi yang mengatur tentang pernikahan di negeri ini cenderung tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan lewat sejumlah pasalnya yang diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Label perawan tua yang lekat dengan stereotipe perempuan yang tidak kunjung menikah, selalu dilekatkan – label sebagai perawan judes, galak, pemarah, terus dilekatkan pada perempuan. Maka para orangtua kemudian mendesak anak perempuannya untuk cepat menikah, agar anaknya tidak mendapatkan label sebagai perawan tua.
Tidak seperti laki-laki, menyandang beban tidak menikah pada kaum perempuan cenderung lebih berat, karena biasanya dikaitkan pada persoalan tentang keturunan. Jadi keturunan adalah tanggungjawab perempuan. Nilai-nilai patriarki inilah yang terus dibebankan pada perempuan.
Jam biologis pun menjadi istilah yang akrab di dunia kaum perempuan, karena penyederhanaan atas struktur fisiologis perempuan –bahwa perempuan memiliki rahim, maka melahirkan menjadi keniscayaan atas nilai keperempuanan.
Perempuan yang tidak segera melahirkan berarti dianggap bahwa ia bermasalah. Perempuan yang tak segera menikah atau memilih tidak menikah pun dianggap perempuan bermasalah, karena lewat pernikahan lah akan lahir keturunan sah/ legal, yang dipercaya banyak orang akan membawa kebahagiaan. Inilah romantisme pernikahan –kebahagiaan yang sering dibangga-banggakan banyak orang.
Romantisme –kebahagiaan pernikahan– membuat segala sesuatu tentang pernikahan tampak indah, terlebih oleh dukungan industri wedding organizer yang menimbulkan citra gemilau dan keagungan pernikahan lewat dekorasi pesta dan desain-desain gaunnya. Benarkah begitu?
Padahal banyak sekali kekerasan yang terjadi pada perempuan, yang mengoyak keyakinan terhadap perempuan tentang institusi perkawinan itu sendiri. Padahal banyak rasa sakit yang menimpa para perempuan.
Jadi, dari sini sudah jelas bahwa tidak menikah seharusnya menjadi satu pilihan baru, karena dengan tidak menikah maka mengurangi jumlah korban perempuan.
Orangtua, jangan lagi meminta anak perempuan untuk segera menikah atau meminta dibuatkan cucu sebagaimana perkataan yang kerap terdengar, karena menikah dan tidak menikah adalah pilihan bebas yang tidak boleh membebani perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Irmia Fitriyah, penulis dan aktivis perempuan