Tak mudah melepas anggota keluarga untuk pergi menjadi buruh migran ke luar negeri. Selain belum tahu situasi bekerja disana, banyak buruh migran yang rentan terkena trafficking. Tak punya uang dan harus melunasi hutang menjadi alasan banyak orang memutuskan menjadi buruh migran. Cerita yang saya tulis ini berdasarkan sebagian fakta di masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat yang ingin pergi menjadi buruh migran ke luar negeri
Muhamad Rasid- www.Konde.co
“Kak, biarkan aku pergi ke saudi, jadi TKW disana,”kata istriku.
Malam sudah larut, kami sedang duduk berbincang. Walaupun sudah mengatakannya selama puluhan kali, namun aku tahu ini adalah hal tersulit yang akan ia lakukan.
Istriku akan pergi ke Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau buruh migran disana.
Kemanusiaanku sebagai laki-laki juga teriris, aku tak bisa membela istriku yang akan pergi jauh, bekerja untuk menghidupi kami. Ia tahu aku sangat terpukul. Alasan itulah mengapa ia tak mau menatapku.
Dalam situasi terdesak seperti ini, aku lebih memilih sibuk dengan gadget yang aku pegang. Seolah olah tak mendengar ucapan istriku tersebut. Padahal setiap kalimat yang ia ucapkan menyayat hati.
Kemiskinan memang telah membuat hidup kami serba susah. Apa saja sulit. Sawah tak banyak menghasilkan. Kekeringan panjang tahun lalu membuat saya tak pernah semangat untuk ke sawah. Kering, semua warnanya menjadi coklat tak pernah terkena air. Padahal biasanya sudah mulai panen padi dan sawah berwarna-warni, hijau agak sedikit menguning. Pada saat itulah, penduduk disini sangat semangat jika pergi ke sawah, karena kami seperti punya harapan baru di musim itu.
Para perempuan di dusunku, Dusun Telaga Lebur Desa Sekotong Tengah Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat, sudah sekitar 15 orang meninggalkan kampung halaman kami. Bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi, sebagian lagi ke Malaysia.
Tak punya harapan untuk hidup di desa kami. Itulah yang terjadi. Banyak yang tergiur oleh biaya gratis, dapat uang belanja 5 juta, gaji besar serta tergiur dengan berbagai bujuk rayu para calo buruh migran. Namun apa mau dikata. Ini adalah keputusan sulit yang harus diambil perempuan. Sedangkan sebagai laki-laki, aku seolah tak terbedaya. Kepalaku terasa sakit, seperti sedang kalah dalam berjuang.
Terbayang bagaimana nasib anak-anakku yang masih kecil. Haruskah ia di rawat oleh neneknya yang sudah tua? Banyak ketakutan yang aku alami, bahkan menjaga anak sendiripun tak mampu aku lakukan karena semua selalu dibereskan oleh istriku. Dan kini, persoalan ekonomi keluargaku juga akan dibereskan oleh istriku. Laki-laki macam apa aku ini?
Sambil menghisap sebatang rokok dan memainkan gadget, aku masih juga belum menyahut ucapan istriku.
Pikiranku menerawang, mengikuti asap rokok yang mengepul ke langit-langit kamar.
“Bagaimana kak, apakah kakak setuju jika saya pergi?,” tanya istriku lagi.
“Saya ingin punya tempat tinggal yang layak kak, hutang-hutang kita juga bisa lunas.Kalau hanya mengandalkan hasil usaha tani saja, dengan keadaan kita seperti sekarang. Kapan kita bisa merubah keadaan,”sambungnya lagi.
Hening.
Anak anak pun telah terlelap dengan mimpi mereka masing masing. Usia mereka masih terlalu kecil untuk tahu apa yang terjadi pada ayah dan ibunya.
Hanya bunyi jangkrik dan rinai hujan di luar,dan titik titik air yang jatuh dari genteng yang bocor,menjadi musik alam yang syahdu dan tragis. Betapa perihnya menahan luka cinta yang terkoyak oleh keadaan.
Aku membayangkan,bagaimana jika aku menyetujui istriku pergi.
Apa kata orang-orang di sekelilingku.
Apa kata mertuaku.
Lalu, dimana harga diriku sebagai lelaki, yang dibebankan tugas untuk menjadi tulang punggung keluarga
Ku hela napas panjang, “beri aku waktu untuk berpikir ya ,barang beberapa waktu,” jawabku.
Malam semakin sunyi, dan kamipun terlelap, seiring rasa kantuk yang mulai mendera.
Tak kuat menanggung gundah mendengar permintaan istriku. Langkahku beranjak menuju rumah sahabatku, ia merupakan salah seorang aparat desa di dusun kami. Dan juga seorang Ketua Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Desa (KPPAD). Saya ingin mendengar pendapatnya tentang keinginan istriku tersebut.
“Kita harus melihat dan mengkaji dulu persoalannya,” demikian kata sahabatku,Sanudin.
“Saya melihat kalau istrimu ingin pergi Jadi buruh migran, tentu ada alasan-alasannya.Dan saya tidak bisa memberikan jalan keluar, jika belum mendengar alasan mengapa istrimu ingin jadi buruh migran,”sambungnya.
Setelah sekian waktu bercakap-cakap, menikmati segelas kopi, ia duduk di depanku.
“Jika istrimu ingin juga pergi demi merubah nasib keluargamu. Saya sarankan agar istrimu berangkat melalui jalur resmi. Urus surat-surat kelengkapannya di dinas yang menangani tenaga kerja. Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” tutup sahabatku.
Sahabatku mengingatkan soal bahaya trafficking atau perdagangan orang, penipuan yang terjadi selama proses disana dan hal-hal yang membuatku makin takut melepas istriku
Akupun pamit, berat rasanya menguruskan surat-surat istriku untuk segera pergi ke Arab Saudi
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Muhamad Rasid, sehari-hari aktif di Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) Lombok, Nusa Tenggara Barat