Pelecehan Seksual di Industri Film, Apa Saja Penyebabnya?

Mian Tiara bukan satu-satunya korban yang pernah mendapatkan pelecehan seksual di industri film. Pelecehan lain sudah banyak terjadi di film. Korban kebanyakan adalah kru baru di produksi film atau volunteer di festival film, dan pelakunya rata-rata adalah senior mereka di film. Ada pola relasi yang dibangun oleh senior atau pimpinan di film untuk menguasai korban yang rata-rata masih merupakan pendatang baru di film

Mian Tiara, perempuan penyanyi dan pemain film ini pernah menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan artis laki-laki seniornya di film. Tiba-tiba artis senior ini memegang pahanya dan tak mau mengakui perbuatannya. Pelecehan itu sangat berat dirasakan Mian Tiara.

Selama ini kasus kekerasan seksual di film memang sudah banyak sekali terjadi, namun jarang yang sudah berani mengekspose karena pelecehan seksual masih tabu untuk dibicarakan di film, dan jika diekpose pun malah akan mempermalukan korban

“Jika mau bicara soal pelecehan misalnya, ada saja orang yang tanya, aduh berat banget sih ngobrolinnya, dan belum ada solusinya. Ini pemikiran yang salah sih, karena jika kita tidak mengakui ini sebagai masalah, maka masalah ini tidak akan selesai, ini yang kemudian banyak terjadi di film.”

Di industri film, pelecehan yang terjadi dan menimpa banyak perempuan juga dipaparkan pengamat film, Adrian Jonathan Pasaribu. Adrian mengatakan, pelecehan ini biasanya banyak menimpa perempuan-perempuan muda yang sedang belajar di film, misalnya mereka menjadi relawan atau volunteer pada pemutaran film, festival film, workshop-workshop. Dan pelakunya adalah pimpinan mereka atau senior mereka.

“Banyak cerita bahwa pelecehan ini sering menimpa orang baru yang kemudian menjadi volunteer atau relawan, mereka rata-rata mau belajar di film. Namun disana lalu bertemu panitya, pimpinan, kurator yang posisinya di atas mereka. Rata-rata disinilah terjadi pelecehan. Misalnya, kamu mau gak jadi moderator sutradara ini? tapi kamu mesti temenin gue malam ini,” kata Adrian mencontohkan pelecehan yang pernah terjadi di festival-festival film

“Jadi yang sering terjadi ketika ada relasi kuasa dan yang terjadi hampir semua korbannya adalah perempuan. Biasanya volunteer yang diterima ini juga karena panitya menganggap volunteer-nya cantik, padahal ini kultur patriakis, sangat diskriminatif. Selalu ada iming-iming untuk ajakan kencan, lalu mereka akan diberikan akses lebih. Dan rata-rata akses ini yang punya adalah pimipinan mereka yang kedudukannya di atas korban.”

Disinilah terjadinya permainan kuasa. Jadi siapa yang berkuasa, dia akan mengendalikan. Dan korban juga kadang merasakan ketakutan untuk melawan karena posisinya di bawah, mereka sedang bekerja dan diawasi. Padahal semua orang punya hak untuk hidup nyaman dan aman di tempat kerja. Mian Tiara dan Adrian Jonathan mengatakan ini dalam talkshow daring yang diadakan Never Okay Project (NOP) pada 4 Juli 2020.

Adrian bercerita, dulu perfilman Indonesia tak sebebas sekarang, orang orang harus mendaftar dulu dan harus memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi bagian dari sebuah produksi dan penyelenggaraan festival film. Saat ini kondisinya lebih baik, yaitu semua orang bisa menjadi filmmaker, namun justru ada banyak kekerasan seksual yang terjadi disana

“Buat saya ini menakutkan , jadi seperti mengaburkan pekerjaan dan aktivitas di film. Saya banyak mendengar cerita ini dari para perempuan,” kata Adrian Jonathan

Hal ini ternyata tak hanya menimpa relawan atau volunteer, tapi juga filmmaker yang ditawari bisa masuk dalam daftar kompetisi sebuah festival film, namun mereka harus mau diajak kencan terlebih dulu.

Mian Tiara juga menyebutkan soal relasi kuasa ini di film, misalnya ia melihat ini bisa terjadi ketika aktris dan aktor film sedang melakukan proses produksi dan sedang membangun proses chemistry agar emosinya dapat diantara 2 aktor, ini bisa terjadi pelecehan. Bisa pelecehan fisik, juga bisa psikis atau verbal yang mengobyektifikasi perempuan

Mian Tiara punya pengalaman menjadi korban pelecehan seksual. Ia menyebut bahwa pelaku mempunyai pola tertentu untuk melakukan pelecehan. Biasanya polanya adalah korban adalah anak baru dan pelaku adalah senior atau orang lama di film dan mereka sebagai anak baru menjadi bingung mau berbuat apa? Apakah diam, apakah saya harus mengikuti kebiasaaan ini ataukah menolak? Selalu saja polanya seperti itu

“Yang saya alami juga seperti itu, ketika sedang shooting, ada yang ingin melancarkan usaha tertentu. Yang aku alami, lalu saya mencerna dan selalu ada yang mau masuk atau pola-pola untuk melakukan pelecehan.”

Pelecehan dan kekerasan seksual di film memang sudah lama terjadi. Vregina Diaz Magdalena dari Never Okay Project pernah mengamati para perempuan korban yang tiba-tiba saja digenggam tangannya, disentuh atau dilirik secara nafsu. Vregina Diaz pun pernah mengalaminya ketika ia sedang magang menjadi kru sebuah produksi film.

“Saya pernah magang, hari itu saya harus bertemu investor bersama penulis. Disitu tiba-tiba investor ini dengan gampangnya menggoda aku. Saya bingung, kalau saya protes nanti projectnya tidak bisa jalan. Dia melancarkan godaan-godaan yang membuat saya dan teman saya risih, dan ternyata pelecehan ini sudah terjadi sejak masa proses pra-produksi,” kata Vregina Diaz Magdalena

Korban di Industri Film Mengadu Kemana?

Bersama 8 teman lainnya di komunitas perfilman, Adrian Jonathan Pasaribu bersama Lisabona Rahman, Agus Mediarta, Albertus Wida Wiratama, Amerta Kusuma, Arie Kartikasari, Lintang Gitomartoyo, Maza Radita, dan Vauriz Bestika, kemudian membuat kampanye #SinematikGakHarusToxic yang diluncurkan pada 8 Maret 2019, ini adalah sebuah kampanye yang dilakukan untuk stop pelecehan kekerasan seksual di film. Hal ini dilakukan Adrian dan 8 teman film lainnya setelah terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu senior di komunitas perfilman. Dan setelah diinvestigasi, ternyata korbannya banyak.

“Tiba-tiba ada yang mengajak saya ngobrol pada Desember 2018 dan pelakunya saya kenal. Dan korban ini sudah menyimpan fakta pelecehan ini lama, sejak April 2018 dan ia tidak tahu mau bercerita pada siapa, karena pelakunya senior dan ia tidak tahu harus bagaimana. Maka ia bertanya pada saya karena saya kenal. Ketika saya investigasi, ternyata korban lainnya juga ada dan korban juga sudah mengalaminya lama namun bingung harus mengadu kemana.”

“Maka kemudian kami membuat kampanye #SinematikGakHarusToxic, karena di film, ngobrolin hal seperti ini merupakan sesuatu yang baru yang belum pernah dibicarakan, situasinya sangat baru dan belum ada kebiasaan untuk saling bercerita,” kata Adrian Jonathan Pasaribu

Mian Tiara mengatakan karena yang terjadi di film, jiika ada korban yang berani untuk bercerita, malah dianggap berlebihan, atau anak baru yang dianggap gampang mengeluh dan merasa sensitif. Jadi para korban sering merasakan sendiri dan memendam bertahun-tahun.

Mian Tiara mengatakan, karena di film, isu stop pelecehan dan kekerasan seksual ini masih merupakan pengetahuan baru, maka yang harus dicari adalah ruang aman.

“Dan siapa saja sebenarnya bisa menjadi ruang aman. Yaitu orang-orang di sekitar kita yang bisa kita percaya dan membantu menyelesaikan persoalan. Mereka adalah teman yang mau menemani, menyelesaikan dan tidak menyalahkan korban. Misalnya jangan malah menjudge, loe sih berduaan sama dia, loa sih pakai baju seksi.” kata Mian Tiara

Biasanya para korban ini tidak bisa bicara karena sering ada gap di film, korban harus kuat dulu baru bisa bicara. Jadi memang belum ada kepastian bagaimana menyelesaikannya.

“Ini juga terjadi karena sudah dianggap biasa kalau di film karena becandanya juga sering melakukan body shaming, stereotyping, ini sudah menjadi kebiasaan lama. Maka dibutuhkan edukasi stop pelecehan seksual di film.”

Saat ini memang sudah ada beberapa rumah produksi yang memahami hal ini dan sudah memberikan jaminan keamanan dalam bekerja dan memasukkan klausul hukum yang memberikan keamanan dan kenyamanan pada pekerja. Hal ini dilakukan oleh produser dan pemilik rumah produksi Miles, Mira Lesmana yang akan memberhentikan kru filmnya ketika melakukan kekerasan seksual

Produser film Nia Dinata, mengamati bahwa pelecehan seksual ini sebenarnya lebih banyak terjadi di komunitas film. Di rumah produksinya, Kalyanashira, Nia Dinata sudah lama memberlakukan persyaratan ini yaitu tidak memperbolehkan ada kekerasan dan pelecehan seksual dalam produksi filmnya.

“Aku mempekerjakan banyak orang termasuk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), jadi ketika ada pelecehan seksual, 30 menit kemudian ada yang melapor, harus ada yang menyelesaikan segera. Nah, pemimpin produksi film seharusnya melakukan ini karena biasanya jika di film pendek yang dibuat komunitas biasanya relasinya sangat cair dan pemimpin filmnya kurang paham soal kekerasan seksual. Maka ini yang harus dibangun, harus ada pemimpin film yang menjadi leader,” kata Nia Dinata

Apa sanksi bagi pelaku di industri film?

Sejauh ini yang ada baru sanksi sosial. Adrian Jonathan menyebutkan untuk kasus senior film yang melalukan kekerasan seksual misalnya, komunitas-komunitas film tidak lagi mengundang pelaku sebagai pembicara atau mentor.

“Ketika mendengar kasus kekerasan seksual yang dilakukan senior di film misalnya, saya langsung mendatangi teman-teman di lingkungan pelaku untuk berhati-hati. Kemudian kami juga mengirim surat ke Dirjen kebudayaan dimana pelaku sedang mengerjakan pekerjaan Dirjen Kebudayaan, untuk memberitahu bahwa pelaku sedang berkasus dan ada dampaknya bagi korban. Sejak itu kementerian membuat SOP semacam ikrar menjaga kegiatan pemerintah stop dari kekerasan seksual dan ini menjadi bagian dari pengawasan program,” kata Adrian Jonathan

“Tapi setidaknya ada yang berubah. Maka ini memang harus satu-satu diubah.”

Sekarang yang harus dilakukan adalah memberitahukan agar ada peraturan stop kekerasan dan pelecehan ini di industri film dan komunitas film.

Never Okay Project mempunyai survey soal pelecehan seksual yang dibutuhkan komunitas, lalu NOP juga bisa memberikan support group untuk stop kekerasan seksual, misalnya memberikan informasi untuk korban harus kemana ketika mengalami pelecehan seksual. Dan NOP juga sedang menyusun panduan stop kekerasan seksual yang bisa digunakan di produksi dan komunitas film nantinya

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

 

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular