Ada berbagai macam posisi perempuan dalam sebuah artikel atau tayangan di media. Yang pertama, perempuan diposisikan sebagai penulis atau jurnalis. Yang kedua, perempuan diposisikan sebagai pekerja. Yang ketiga, diposisikan sebagai narasumber, dan yang keempat perempuan diposisikan sebagai pembaca atau penonton
Tim Konde.co
Selain soal posisi, konfigurasi soal perempuan adalah pada: lingkungan, identitas dan tubuhnya
Dalam artikel-artikel hiburan, ada berbagai tulisan di media cetak yang menulis tentang berbagai acara di seputar fashion, lifestyle, infotainment, dll.
Media cetak menuliskan artikel-artikel tentang baju mode terkini, kehidupan selebritis, tulisan tentang film, sinetron, makanan/ kuliner, musik dan informasi tentang perjalanan wisata
Di televisi, tayangan ini kemudian banyak memunculkan soal lifestyle, musik, film, wisata, kuliner dan berbagai tayangan infotainment dan entertainment seperti reality show.
Sejumlah tayangan di televisi kemudian juga mengkonstruksikan tubuh perempuan sebagai bagian dari narasi yang ditampilkan.
Dalam artikel di Remotivi, Luviana menuliskan tentang identitas perempuan, salah satunya tentang stereotipe perempuan yang melekat dalam berbagai tayangan di televisi terutama hiburan dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita.
Gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan.
Jika seorang artis perempuan tidak berpasangan, maka ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan oleh infotainment di televisi kita, seperti dicecar dengan pertanyaan tentang identitas dan statusnya:
“Punya pacar?, putus pacar? menikah? cerai? Balikan? lagi dekat sama itu? beli mobil baru? beli rumah baru?.”
Hal-hal personal seolah dikaitkan dengan peruntungan ekonomi demi tingginya rating/ share dan klik di media.
Lalu, gambaran lainnya adalah pada soal tubuhnya. Status cantik yang melekat dalam industri media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan: tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan cantik lainnya.
Perempuan dikonstruksikan sebagai orang yang kadang tak berhak atas tubuhnya sendiri.
Konfigurasi stereotyping juga terjadi di tayangan hiburan seperti sinetron, misalnya Perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang digambarkan kerjanya hanya lalu lalang saja karena tiap hari hanya disuruh ngerumpi saja oleh majikan perempuannya. PRT seperti ini digambarkan tak pernah kelihatan apa pekerjaannya.
Atau sesekali lihatlah Film Televisi (FTV) yang hingga tahun 2020 ini setiap malam tayang di SCTV, kamu akan lihat tayangan dengan cerita yang mirip-mirip hampir tiap hari, yaitu tentang dua perempuan yang memperebutkan satu laki-laki.
Remotivi melalui Rapotivi pernah menulis bahwa sinetron merupakan tayangan yang banyak diadukan masyarakat dalam rentang waktu Januari- Maret 2016. Remotivi juga mencatat tentang kemunduran sinetron di Indonesia saat ini dibandingkan di tahun 1990an karena di zaman sekarang, sinetron dilihat sebagai tambang emas pundi-pundi pemasukan uang televisi tanpa melihat kualitas isi cerita
Apakah benar berbagai situasi ini yang terjadi? Bagaimana kondisi ini disikapi oleh jurnalis? Bagaimana jurnalis menghadapi problem sebagai jurnalis hiburan, sekaligus sebagai pekerja yang dituntut harus bertanya hal-hal personal pada narasumber? Dan harus siap jika diprotes oleh pembaca kritis jika menuliskan hal yang personal?
Konde.co mengadakan diskusi “Jurnalis Perempuan Bicara” yang akan dilaksanakan pada Kamis, 24 September 2020, jam 18.00 WIB melalui kanal Instagram @Konde.co dengan pembicara Gisela Swaragita (jurnalis lifestyle The Jakarta Post) dan moderator Fadiyah (jurnalis Konde.co)
Diskusi ini akan mengupas tentang posisi perempuan dalam fashion, lifestyle dan infotainment di media
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)