Ramengvrl Mendobrak Patriarki Lewat Lagu “I Am Me”

Saya seakan menemukan kesenangan baru di saat pandemi seperti ini, yaitu dengan mendengarkan musik sembari mengeksplor lagu hip-hop yang selama ini liriknya tidak pernah saya ambil pusing, namun ternyata punya makna tersendiri yang mendalam. Seperti pada lagu hip-hop “I Am Me” milik Ramengvrl yang banyak berbicara soal identitas perempuan dan bagaimana mendobrak tabu

Ramengvrl adalah seorang female rapper yang sebagian besar tema lagunya dianggap jujur, to the pointuncensored dan berani.

Lewat lirik lagu yang berjudul “I Am Me”, Ramengvrl berusaha menunjukkan sikap dan statement yang dimilikinya terhadap situasi yang kerap dihadapi, dimana kehidupan bermasyarakat kita masih sangat menjunjung budaya patriarki dan sangat membatasi ekspresi atas gender dimana seseorang dengan jenis kelamin laki-laki dituntut untuk selalu menunjukkan maskulinitasnya dan sebaliknya bagi perempuan dengan feminitasnya.

I Am Me VS Realitas Sosial

Begini kira-kira liriknya:

Bitch, I am me (oo-wee-oo)
Bitch, I am, bitch, I am me (weee)
Bitch, I do me (bling, bling, bling!)
Bitch, I do, bitch, I do me (what?)

Oh, you don’t like how I’m talkin’? (yeah)
Oh, you don’t like how I’m ballin’? (yeah)
Watch me go hood like Robin (yeah)
Watch me go dumb like culkin’ (yeah)

Bitch, I am me (oo-wee-oo)
Bitch, I am, bitch, I am me (weee)
Bitch, I do me (bling, bling, bling!)
Bitch, I do, bitch, I do me (what?)

Oh, you don’t like how I’m talkin’? (yeah)
Oh, you don’t like how I’m ballin’? (yeah)
Watch me go hood like Robin (yeah)
Watch me go dumb like, dumb like

Ever since I was six, people tryna have control of me
Now I’m five feet with a networth, they suck a D
Oops, I said that a lot, maybe too frequently
But it’s the truth maaannn…
I have…

Makin saya ulang lagu “I Am Me”, malah semakin menunjukkan bahwa masyarakat kita memang selama ini selalu mengidentifikasi penampilan laki-laki mesti dilihat dari aspek kekuatan fisiknya, yaitu memiliki tubuh atletis berotot, tubuh yang kuat, terampil, tak memakai make up, gesit, berambut pendek, dan tidak mengenakan perhiasan. Sedangkan, penggambaran perempuan adalah pada tampilannya seperti harus cantik, berambut panjang, memakai make up, langsing, dan kulit putih halus.

Hal ini pun tidak hanya terjadi di kehidupan sosial saja, melainkan juga di ranah media mainstream seperti televisi yang sampai hari ini masih membatasi hadirnya ekspresi gender yang “berbeda” dalam programnya.

Di awal tahun 2016 misalnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang lembaga penyiaran untuk menampilkan laki-laki yang berperilaku seperti perempuan karena dianggap tidak sesuai norma yang berlaku di Indonesia. Ini juga terjadi di pertengahan 2019 lalu saat KPI menegur acara Brownies akibat menampilkan adegan laki-laki yang memakai busana dan riasan layaknya perempuan.

Artinya, disini Ramengvrl mencari safe place dalam menyuarakan kegelisahannya, mengatakan bahwa sebenarnya ada sekat pemisah yang sangat jelas antara seksualitas yang sifatnya biologis dan gender yang bersifat historis/ kultural/ sosial.

Sehingga, seharusnya tidak perlu batasan yang dilekatkan bagi perempuan dan laki-laki mengenai mana sifat-sifat maskulin dan feminin, karena gender merupakan rekayasa sosial-kultural ini yang terus berkembang yang dipengaruhi oleh lingkungannya.

Mendobrak Konstruksi Lewat Lagu “I Am Me”

Selain musik menjadi safe place dalam menyuarakan pendapat dengan cara yang asik, namun, dalam relasinya dengan industri musik Indonesia, lagu-lagu dengan tema perselingkuhan, cinta segitiga, atau poligami terus diciptakan dan nyaris seluruhnya menjadikan perempuan sebagai korban atau sosok yang diduakan, disakiti, dan ditinggalkan.

Tema-tema yang menyakiti tadi menunjukkan bahwa perempuan belum mendapat tempat terhormat dalam dunia musik yang notabene merupakan produk media yang tidak bebas nilai dari budaya patriarki. 

Hal ini berbanding terbalik dengan lagu “I Am Me” milik  Ramengvrl, di mana ia menyatakan sikap untuk terus melawan stereotype yang sudah ada sejak dulu dan jangan takut untuk menjadi “beda”.

Tidak masalah, apabila keberanian dan agresivitas yang merupakan sifat maskulin milik laki-laki ternyata juga bisa ada pada diri perempuan. Intinya, tidak perlu memenuhi ekspetasi masyarakat, cukup be yourself.

Sebaliknya, laki-laki juga dapat menjadi lemah, salah, memiliki kekurangan, yang merupakan karakter feminin dan selalu dilekatkan pada perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kontruksi gender seberapa rumitnya, tetap dapat diubah dan dipertukarkan.

Lagi-lagi, Ramengvrl pun seakan memposisikan diri perempuan sebagai subyek yang aktif yang memiliki kendali penuh atas apa yang akan ia kenakan. Ia dalam hal ini ingin menunjukkan otonomi dirinya yang secara aktif dapat memilih untuk menjadi diri sendiri dan ini bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan jika seorang perempuan menyukai pakaian maupun berdandan, bergaul, bersikap layaknya laki-laki tanpa mempedulikan pandangan orang lain. Ini terbukti dari lirik jelas pada penggalan liriknya:

I do just what I wanna do, end of story

Gue Cuma lakukan apa yang gue mau mengakhiri cerita ini

Don’t ever try to change me, coz bitch I Am Me (Oo wee!)

Jangan pernah merubah gue,karena gue adalah gue

Dapat dilihat bahwa Ramengvrl telah menerobos mindset masyarakat yang ada bahkan semakin diperkuat dengan kehadiran media, di mana seringkali dikaitkan dengan norma patriarki yang mendudukkan laki-laki sebagai subyek yang superior dan harus berperilaku dan berpenampilan maskulin.

Sedangkan, hal berseberangan terjadi di lagu “I Am Me”, di mana Ramengvrl seakan membenarkan jika ada laki-laki yang menyukai sisi feminin dan tidak menonjolkan sisi maskulinitasnya. Baginya dengan mempunyai suatu cara berpikir seperti perempuan tidak secara langsung merampas identitasnya sebagai seorang laki-laki.

Sesuai dengan insting semiotika saya, spirit Ramengvrl memang terlihat dari awal hingga akhir lagu, ini dibuktikan dalam lirik “I do what I want, I say what I wantyang diulang sebanyak empat kali, artinya Ramengvrl berusaha menggambarkan keinginan untuk dalam melakukan redefinisi konsep mengenai maskulinitas yang kerap kali diidentikkan tampilan fisik atau segala hal yang dilakukan oleh individu tersebut dalam satu putaran lagu.

Durasi 3 setengah menit dari Ramengvrl yang digambarkan lewat lirik dan nada membawa pada kesimpulan bahwa perempuan memiliki pilihan, dapat mengambil keputusan. Sebaliknya, laki-laki pun tidak selalu harus menjadi pihak yang memilih dan menjadi pengambil keputusan, tidak harus selalu punya badan kekar, atau jiwa yang pemberani untuk selalu melindungi. Perempuan haruslah diposisikan sejajar dengan laki-laki. Tidak perlu takut pada omongan tetangga, karena kita memang pada dasarnya merupakan individu bebas dalam merepresentasikan diri.

Bisa dikatakan, sejauh ini Ramengvrl telah sukses membawa musik menjadi lebih kaya akan makna dengan mengelaborasi sebagai alat pengembangan diri yang bersifat konstruktif, dibandingkan fungsi musik kebanyakan yang hanya sebagai alat hiburan semata

(Foto: Youtube)

Arlina Satiti Mugi Laras

Seorang mahasiswi (hampir) semester akhir di jurusan Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik di FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!