Perempuan selalu dilekatkan dengan gosip, padahal laki-laki banyak yang melakukannya.
Contohnya ini: suami teman saya sering pulang malam, bahkan kadang pulang dinihari. Selepas kantor, suami teman saya ini sering ngopi bareng teman-temannya, ngobrol berjam-jam. Tapi kenapa perempuan yang selepas kantor langsung pulang dan hanya ketemu teman-temannya ketika makan siang, selalu diidentikkan sebagai orang yang suka bergosip?
“Perempuan khan suka ngerumpi.”
“Suka bergosip, dasar emak-emak.”
Kalimat ini pasti sudah sering kita dengar. Entah darimana asalnya, fenomena bergunjing selalu saja distigmakan pada perempuan, Jika ada perempuan berkumpul dan bicara tentang topik keseharian, seolah dianggap bergosip dan melakukan hal-hal yang negatif.
Padahal berbicara dan berkomunikasi adalah aktivitas keseharian manusia. Tanpa komunikasi, manusia tidak dapat melakukan aktivasi kegiatan. Jadi komunikasi itu sudah dilakukan sejak manusia zaman dulu sampai manusia masuk di revolusi industri 5.0, maka komunikasi adalah aktivitas biasa yang dilakukan semua manusia sejak dulu
Tapi kenapa perempuan selalu disebut sebagai tukang ngerumpi, Bigos alias biang gosip? Benarkah yang dibicarakan perempuan itu selalu negatif dan yang dilakukan laki-laki sambil ngopi sampai pagi itu selalu positif?
Yang harus kamu tahu, jika perempuan bicara, itu karena perempuan memiliki sejarah diam yang panjang, perempuan dituntut untuk menurut apa kata budaya patriarki, ia tidak boleh memiliki inisistif untuk mengungkapkan pendapat sejak zaman dahulu. Selama ini perempuan selalu dituntut untuk diam, maka segala masalah mengendap dalam diri perempuan satu persatu persoalan disimpan dalam hati perempuan
Hingga pada akhirnya ia meluap dalam bentuk bicara, sharing pada orang lain. Ingat ya, saya menyebutnya sebagai sharing, jadi ini bukan gosip, karena yang dibicarakan perempuan adalah hal-hal yang selama ini mengendap dari dalam dirinya.
Perempuan memang suka bercerita pada orang-orang yang dianggapnya nyaman selama berjam-jam. Tapi ini kan tak hanya terjadi pada perempuan, karena laki-lakipun melakukannya, ini bisa terlihat dari hampir setiap hari selepas kerja, kedai kopi selalu dipenuhi laki-laki. Jika dihitung, menurut saya lebih banyak laki-laki yang punya waktu untuk ngobrol.
Dan tahukah kamu, sejatinya orang yang mengelola komunikasi pertama di dalam rumah adalah ibu atau perempuan. Tapi kenapa banyak orang yang selalu melihat perempuan dari sisi negatifnya?. Bukan orang yang senang berbicara, padahal ia adalah kunci komunikasi selama ini, tapi malah sebagai tukang gosip yang dilekatkan pada perempuan.
Lihat saja, perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jadi perempuan selalu dituntut untuk berbicara dengan antusias pada anak-anaknya. Jadi perempuan yang lantang menyuarakan suaranya tentu saja bukan karena ia senang bergosip, justru karena suara perempuan harus banyak didengarkan sebagai orang yang selama ini diharuskan untuk banyak bertanggungjawab di rumah
Jika bergosip selalu dilekatkan pada perempuan, kita bisa melihat metode observasi partisipan yang pernah saya lakukan. Saya pernah mendekati ibu-ibu kampung di tempat saya tinggal, mereka bercakap-cakap mengeluhkan persoalan dikarenakan berbagai faktor, seperti anaknya yang sedang punya persoalan, atau tumbuh kembang anak yang dibicarakan, lalu mereka bercerita tentang lonjakan harga bahan makanan naik ketika mendekati musim lebaran.
Banyak perempuan bercerita untuk melegakan hatinya, para perempuan merasa lega ketika sudah mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan lainnya. Apakah perempuan yang bercerita dan melakukan sharing pengalaman ini menurutmu bergosip?. Tentu saja tidak.
Para feminis bahkan melihat berbicara atau bergosip merupakan tindakan untuk mengekplorasi kehidupan, ketika bercerita pada orang lain itulah perempuan kemudian menemukan penguatan pemikiran yang kemudian akan mempengaruhi apa yang mereka lakukan.
Feminis, Sheila Rowbotham mengatakan bahwa selama ini gosip dan bercerita yang diiringi dengan para perempuan yang tertawa selalu dianggap inferioritas dari para laki-laki. Padahal dengan bercerita, perempuan sedang membagikan pengalamannya untuk menguatkan pemikirannya.
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)