G20 Belum Punya Perhatian Khusus Untuk Perempuan: Tugas Indonesia di KTT G20 2022

G20 sebagai kelompok negara yang merepresentasikan 85% ekonomi dunia belum punya perhatian khusus terhadap isu perempuan.

Literatur menunjukkan bahwa menutup kesenjangan gender dalam akses keuangan dapat secara positif mempengaruhi kesejahteraan. Penelitian oleh Women World Banking pada tahun 2021 menggambarkan bagaimana kesejahteraan ekonomi melingkupi berbagai aspek, termasuk pendapatan, kesenjangan infrastruktur di sektor keuangan, dan norma sosial, termasuk kesetaraan gender.

Akan tetapi, G20 sebagai kelompok negara yang merepresentasikan 85% ekonomi dunia belum punya perhatian khusus terhadap isu perempuan.

Misalnya, dari seluruh rangkaian pertemuan G20, hanya pada pertemuan di tahun 2014 di Brisbane, Australia yang melahirkan komitmen konkret mengenai keberpihakan pada perempuan meski hingga saat ini belum ada mekanisme pelaksanaannya.

Pada tahun 2022, Indonesia akan menjadi tuan rumah G20.

Dengan posisi tersebut, Indonesia dapat mengarahkan respons dunia terhadap COVID-19 dan memastikan negara-negara berkembang dapat mendorong isu perempuan.

Indonesia telah mengisyaratkan niatnya untuk mengadvokasi pertumbuhan ekonomi inklusif dengan menempatkan perempuan sebagai target, bersama dengan pemuda dan usaha mikro.

Solusi dari Indonesia untuk dunia

Menempatkan perempuan sebagai target adalah keputusan yang tepat.

Data menunjukkan, perempuan merupakan kelompok yang paling terdampak COVID-19. Diperkirakan COVID-19 akan mendorong tambahan 96 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem, 47 juta di antaranya adalah perempuan dan anak perempuan. Hal ini sudah terlihat pada penurunan peringkat kesenjangan gender tahun 2021, yang mengakibatkan kesenjangan partisipasi ekonomi semakin lebar pada pandemi.

Selain sebagai pokok masalah, peran perempuan juga bisa menjadi solusi.

Ada tiga kelompok perempuan yang sebenarnya bisa membantu mendorong pemulihan global.

Pertama, pengusaha mikro perempuan.

Tujuh dari 10 pekerja di seluruh dunia merupakan usaha mikro. Data yang dikumpulkan di 99 negara di seluruh dunia menemukan bahwa usaha mikro bersama-sama menyumbang 70 persen dari total lapangan kerja.

Data dari World Bank menunjukkan bahwa perempuan memiliki sekitar 23% UMKM. Proporsi ini tumbuh secara signifikan dari tahun ke tahun. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan sering dianggap kurang bernilai dibandingkan jika pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki. Hal ini kemungkinan besar menjelaskan mengapa usaha mikro yang dimiliki perempuan sering mengalami hambatan untuk berkembang menjadi usaha menengah atau besar.

Kedua, perempuan di sektor informal.

Lebih dari 62% pekerjaan di 99 negara berpusat di sektor informal. Persentase perempuan juga sangat besar di sektor ini. Di Asia Selatan, lebih dari 80% perempuan yang bekerja di luar sektor pertanian merupakan pekerja informal. Kondisi serupa juga dapat ditemui di Afrika sub-Sahara (74%), serta di Amerika Latin dan Karibia (54%). Pekerja di sektor informal seringkali mendapatkan hak-hak pekerja yang layak, seperti cuti, jaminan kesehatan maupun jaminan keselamatan kerja. Padahal, kontribusinya dalam perekonomian cukup besar.

Terakhir, perempuan yang tinggal di pedesaan.

Lebih dari tiga perempat orang miskin ekstrem di dunia tinggal di wilayah pedesaan.

Data menunjukkan bahwa anak perempuan dan perempuan usia produktif lebih cenderung tinggal di rumah tangga miskin, termasuk di pedesaan, dibandingkan anak laki-laki dan laki-laki dewasa. Rendahnya infrastruktur, seperti akses kepada lembaga keuangan, di pedesaan membuat kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam perekonomian menjadi lebih sulit.

Tantangan Indonesia adalah mengarusutamakan perempuan sebagai target kebijakan global di G20

Pengarusutamaan gender menjadi tantangan Indonesia dalam mengimplementasikan usulan solusinya di G20.

Ketika komunitas global terus bergerak menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sudah saatnya kebijakan global berfokus pada perempuan sebagai penerima manfaat utama dari berbagai kebijakan, khususnya kebijakan untuk pulih dari dampak COVID-19.

Sebagai tuan rumah G20, Indonesia berkesempatan untuk mendorong langkah nyata keberpihakan para pemimpin dunia pada perempuan. Misalnya, Indonesia dapat memperkuat komitmen di Brisbane dengan mengajak seluruh kelompok kerja G20, baik di sektor keuangan maupun non-keuangan, untuk menempatkan perempuan sebagai penerima manfaat utama dalam rangkaian kebijakan untuk pulih dari dampak COVID-19. Khususnya, perempuan yang bekerja sebagai pengusaha mikro, bekerja di sektor informal, atau tinggal di pedesaan.

Resya Kania, Post Graduate Researcher, School of Social Policy, University of Birmingham, University of Birmingham

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Resya Kania

Post Graduate Researcher, School of Social Policy, University of Birmingham, University of Birmingham
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!