Perempuan Marjinal Kota: Kemiskinan Seperti Nyawa yang Tak Pernah Lepas dari Kehidupan Mereka

Pagi setelah selesai berjualan pecel, sorenya Paryati berjualan nasi uduk. Sedangkan Eny Rochayati memilih jualan lontong sayur. Warsinah kesana-kemari mencarikan sekolah gratis untuk anak kembarnya. Kondisi ini berseliweran tiap hari di kampung-kampung miskin di Jakarta. Kemiskinan seperti nyawa yang tak pernah lepas dari kehidupan mereka

#BreakTheBias menjadi salah satu tema Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022. Konde.co menuliskan liputan khusus tentang “Perempuan Miskin: Kami bukan orang yang Malas dan tak mau kerja.” Liputan khusus dari 8-10 Maret 2022 ini merupakan upaya dalam mendobrak bias yang selama ini dilekatkan pada masyarakat miskin sebagai orang yang: malas, tak mau bersyukur, tak mau kerja.

Kisah Paryati

Pagi-pagi sekali, Paryati sudah menyiapkan dagangannya. Sayuran sudah dipanaskan, sambal kacang ia taruh di dekat sayuran. Paryati berjualan di rumahnya di  gang sempit di kawasan padat penduduk, Gang Marlina, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.

Di rumah dua lantai berukuran 3×4 meter persegi itu, Paryati tinggal bersama suami dan tiga anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Paryati dan suaminya jualan makanan. Pagi jual pecel, malam nasi uduk.

“Kalau pagi jualan nasi pecel, kalau malam jualan nasi uduk,” ujarnya ketika ditemui Konde.co Minggu (6/3/2022) siang di rumahnya.

Dari berjualan ini, Paryati yang kini berusia 50 tahun, bisa mendapatkan pendapatan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari. Pembeli dagangan mereka adalah warga sekitar dan para buruh pabrik yang berada di kawasan ini.

Untuk mendapatkan uang Rp 200 ribu, Paryati harus bekerja hampir sepanjang hari. Ia bekerja sejak pagi buta menyiapkan nasi pecel dagangannya. Lantas pada sore hingga malam hari, ia membantu suami berjualan nasi uduk di lapak semi permanen yang dibangun di pinggir jalan utama yang membelah kampung padat penduduk itu.

Praktis, Yati hanya bisa istirahat beberapa jam setiap harinya. Di luar itu, ia juga tidak boleh sakit, karena kalau sakit, ia tidak bisa berjualan, dan itu artinya dia tidak akan memiliki pendapatan.

Awalnya, Paryati berjualan untuk menopang roda ekonomi keluarganya. Saat itu, gaji suaminya sebagai petugas security di sebuah bank tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarganya yang terdiri lima kepala ini. Tapi, jualan makanan itu lantas menjadi satu-satunya sumber penghasilan, setelah suaminya di-PHK 10 tahun lalu. Bank tempatnya bekerja melakukan perampingan tenaga kerja, katanya untuk regenerasi. Suami Paryati tidak terpilih, akhirnya nganggur.

Paryati kini tak hanya menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya, tak mau ambil pusing, ia kemudian masuk  di Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, organisasi yang mengurus persoalan kelompok miskin kota di Jakarta, karena ia lihat organisasi ini akan membantu masyarakat miskin seperti dirinya. Ia lalu aktif mendorong agar lebih banyak perempuan di sekitarnya, Paryati tak mau para perempuan nantinya hidup susah seperti dirinya. Ia juga turut mendampingi perempuan di sekitarnya yang mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk berani keluar dari kondisi yang membelenggu mereka. Hidup yang keras sebagai perempuan urban dan serba tak mudah, menjadikan Paryati merasa harus membantu yang lain

“Ketika ekonomi sedang tak baik, perempuan sering menjadi pihak yang paling menjadi korban. Mereka menjadi sasaran pelampiasan emosi akibat tekanan yang dialami suaminya,” ujarnya.

Kisah Warsinah

Lain lagi kisah yang dialami Warsinah,  ibu yang memiliki anak kembar. Ia pernah menghadapi situasi sulit saat anaknya masuk sekolah di tahun 2004 lalu.

Hampir semua sekolah dasar di Jakarta mensyaratkan ijazah taman kanak-kanak (TK), sementara biaya masuk TK cukup besar yakni Rp 500 ribu per bulan. Jumlah ini sangat memberatkan baginya, karena saat itu pendapatan suaminya hanya sebesar Upah Minimum Regional/ UMR. Sementara ia tidak mungkin bekerja, karena untuk mengurus rumah tangga dan kedua anaknya sudah cukup menyita waktu.

Sehingga ia sangat terbantu ketika Eny Rochayati aktivis JRMK Jakarta membangun TK informal dengan pungutan biaya hanya Rp 2 ribu per kehadiran. Eny yang menjadi aktivis JRMK sejak 2003, aktif mengajak perempuan Marlina untuk berorganisasi.

Jadilah Warsinah terbantu dengan bantuan-bantuan seperti ini. Ia merasa hidup di kota besar tak sendirian, ia punya teman yang membantunya

Kisah Eny Rochayati

Eny kini juga menjadi kepala keluarga, setelah suaminya meninggal empat bulan lalu. Ia kini menggantungkan hidupnya dengan berjualan lontong sayur. Beruntung dua anaknya telah bekerja sehingga beban yang harus ditanggung tidak lagi seberat dulu.     

Itu adalah sekelumit kisah yang dialami para perempuan urban yang tinggal di kampung Marlina, Muara Baru, Jakarta Utara. Masalah mereka adalah potret yang dihadapi perempuan marjinal di kota-kota besar.

Kemiskinan tak memberi banyak harapan kepada masyarakat urban, khususnya perempuan, untuk mengubah  kehidupan mereka menjadi lebih baik. Meski telah membanting tulang di hampir sepanjang waktu yang dimiliki, tetapi tak pernah mudah bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK)  punya data-data soal ini.

Pendapatan yang pas-pasan dan minimnya akses ke perbankan ataupun birokrasi membatasi kesempatan mereka untuk berkembang. Kesempatan bagi warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi juga kecil. Sebagian besar warga hanya tamat SMA. Mereka yang lulus perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari.

Kesempatan bekerja di sektor formal juga tidak mudah didapat, sehingga sebagian besar dari mereka mencari nafkah di sektor informal seperti menjadi tukang becak, pemulung, atau berdagang kecil-kecilan seperti yang dilakukan Paryati ataupun Eny.

Masalah kesempatan kerja sebenarnya bukan satu-satunya masalah yang dihadapi warga. Mereka juga menghadapi ancaman penggusuran atas tempat tinggal mereka. Pasalnya, menurut RDTR kawasan itu masuk zona merah atau peruntukannya untuk perkantoran/tempat usaha bukan untuk pemukiman, sehingga sewaktu-waktu bisa diusir

“Sehingga kami bisa sewaktu-waktu digusur, jika memang ada pengusaha yang berminat menjadikan kawasan ini sebagai tempat usaha,” ujar Eny getir.

Lewat koperasi properti yang mereka bentuk, mereka mencoba menata lingkungannya menjadi tempat tinggal yang lebih nyaman. Mereka bahkan berani mengajukan pinjaman hingga Rp 600 juta untuk menata lingkungannya.

Mereka juga menjalin kerjasama dengan Perempuan Kendeng untuk menyediakan kebutuhan pokok khususnya beras dengan harga yang lebih murah.

Masa Berat Pandemi

Masa-masa yang sangat berat dirasakan warga miskin kota, khususnya di Jakarta, saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020 lalu. Temuan Biro Pusat Statistik/ BPS mencatat, pandemi Covid-19 telah membuat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta bertambah.

Pada 2021 jumlah penduduk miskin di Jakarta bertambah menjadi ada 502 ribu orang atau 4,72% dari total penduduk Jakarta. Ini merupakan angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Sebelumnya, tingkat kemiskinan tertinggi di Jakarta terjadi pascakrisis finansial pada 2000 (4,96%).

Meningkatnya penduduk miskin di Jakarta karena daya beli masyarakat turun akibat banyaknya penduduk yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jakarta mencapai 8,51% pada Februari 2021. Dari jumlah itu, ada 119.824 orang yang menganggur karena terdampak pagebluk.

Paryati mengisahkan, bagaimana saat itu warga seolah harus bertahan tanpa punya harapan hidup. Tak punya kepastian pekerjaan, apalagi jaminan kesejahteraan dan kesehatan.

Kondisi buruk dialami warga dari pekerja informal lain yang tak bisa berjualan karena covid yang menyebabkan sepinya pembeli, kondisi kerja yang tak menentu membuat mereka minim kerja yang bisa mereka lakukan. Akibatnya sulit memenuhi kebutuhan ekonomi setiap bulannya. Mereka rata-rata tinggal di rumah petak sempit di Jabodetabek.

Mereka adalah warga yang tinggal di perkampungan miskin, para pekerja/buruh terutama buruh pabrik dan termasuk informal seperti pedagang, pengamen, tukang pijat, Pekerja Rumah Tangga (PRT), sopir, pekerja rumahan, para penyandang disabilitas, waria, perempuan miskin. Kondisi dan situasi buruk yang tak menentu yang dialami oleh kelompok marjinal, kehilangan pekerjaan, kehilangan atau menurunnya penghasilan menimpa banyak sekali warga kelompok marjinal di seluruh Indonesia.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada Mei 2020 dan PPKM darurat pada 3-20 Juli 2021 membuat aktivitas masyarakat sangat terbatas. Warga yang sebagian besar bekerja di sector informal tak bisa leluasa berusaha atau bahkan harus menghentikan usahanya.

Ini juga yang dialami Paryati dan Eny yang harus berhenti berjualan karena pembeli jauh berkurang setelah banyak pelanggan mereka yang bekerja sebagai buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal, mereka juga tidak memiliki tabungan yang cukup.

Anak sulung Paryati juga menjadi salah satu yang harus kehilangan pekerjaan karena tak mampu membayar biaya tes PCR yang disyaratkan perusahaan tempatnya bekerja.

“Saya tak bisa leluasa berjualan. Pembeli juga jauh berkurang. Selama beberapa bulan kami harus bergantung pada bantuan, baik dari pemerintah maupun pihak lain. Beruntung sebelumnya saya aktif di JRMK yang selama ini mendampingi warga miskin sehingga banyak dibantu,” terang Paryati.

Sementara, suami Eny saat itu masih bekerja sehingga ia masih memiliki sumber pendapatan. Tapi tak semua seberuntung Paryati dan Eny dalam mengakses bantuan. Karena sebagian besar warga bekerja di sector informal maka mereka tidak bisa mengakses bantuan.

Lingkungan yang sangat padat juga menimbulkan masalah tersendiri. Imbauan untuk isolasi mandiri sulit dilakukan di sini. Karena sebagian besar warga tinggal di rumah petak yang hanya memiliki 1 kamar dan 1 kamar mandi.

“Sehingga saat ada warga yang diketahui positif, maka dia akan dikucilkan karena khawatir akan menulari warga lainnya,” terang Eny.

Eny menambahkan, masa sangat sulit dirasakan saat pandemi Covid-19 memuncak pada bulan Juni-Juli 2021 lalu. Setiap hari ada 2-3 orang yang meninggal akibat Covid-19. Sehingga diperkirakan ada lebih 50 orang yang meninggal saat itu.

“Fasilitas kesehatan penuh, orang yang sakit harus tes dulu agar bisa dirawat. Sementara fasilitas yang ada diutamakan untuk pasien Covid-19,” imbuhnya.

Dari cerita yang dipaparkan Paryati, Eny dan Paryati ini, terlihat bagaimana kebijakan pemerintah baik dalam kondisi normal maupun saat pandemi tidak berpihak pada kelompok miskin dan marjinal. Pemerintah terkesan membiarkan warga untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.  

Hingga saat ini, kelompok marjinal khususnya di Jakarta masih ditinggalkan. Pembangunan yang lebih memihak para pemilik modal dan pembangunan infrastruktur ternyata makin meminggirkan kelompok yang sudah terpinggirkan ini. Padahal kelompok ini sangat perlu dibantu karena merekalah yang sangat merasakan dampak jika terjadi keadaan darurat, seperti pandemic Covid-19 pada tahun 2020/2021 lalu. 

Solikatun, Supono, Yulia Masruroh 1 Dr. Ahmad Zuber dalam Jurnal Sosiologi Universitas Sebelas Maret 2014 pernah menuliskan, maraknya kegiatan dan perencanaan pembangunan yang belum mampu mensejahterakan. Pembangunan di berbagai sektor juga belum dapat menampung dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan semakin maraknya pembangunan semakin menambah deret kemiskinan di negeri ini. Ketidak sesuaian antara tujuan pembangunan dengan realita yang terjadi di lapangan dapat menimbulkan berbagai masalah.

Jadi kemiskinan ini terjadi bukan karena perempuan yang malas, tak bersyukur atau bodoh, namun karena ruang pembangunan yang tak menyisakan penyelesaian persoalan bagi mereka

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular