Dipecat Saat Sakit, Penyandang Disabilitas Mental Gugat Pemerintah

Seorang aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian Keuangan, DH dipecat karena alasan mangkir kerja. Pengacara DH menyatakan, DH sedang dalam kondisi khusus menderita skizofrenia paranoid yang mengharuskan dirinya kala itu tak bisa berangkat kerja. Disabel seperti DH seharusnya mendapatkan perhatian khusus pemerintah, bukan malah dipecat

“Cacat prosedur, cacat hukum dan diskriminatif”

Itulah penilaian majelis hakim  Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Pusat (PTTUN) terkait pemecatan terhadap DH, seorang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Direktorat Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) karena dinilai mangkir alias indispliner.

Padahal nyatanya DH adalah seorang disabilitas mental yakni penyintas schizophrenia paranoid yang sebenarnya membutuhkan dukungan dan perhatian khusus.

Atas dasar pertimbangan inilah, majelis hakim mengabulkan seluruh permohonan DH. Dalam sidang putusan yang dihelat pada Kamis (2/6/2022) ini Majelis Hakim PTTUN juga menyatakan Surat Keputusan (SK) pemecatan yang dikeluarkan Kemenkeu dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) batal demi hukum dan memerintahkan Kemenkeu dan BPASN untuk mencabut surat keputusan tersebut.

Dalam keputusannya Majelis Hakim PTTUN memerintahkan Kemenkeu dan BPASN merehabilitasi hak DH sebagai ASN di lingkungan Kemenkeu.

Keputusan ini diambil, setelah majelis hakim mendengarkan keterangan saksi ahli maupun pemeriksaan silang terhadap bukti-bukti dan keterangan saksi. DH yang didampingi penasehat hukum dari LBH Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menghadirkan dua saksi fakta, tiga ahli dan sejumlah dokumen lainnya.

Pelaksanaan keputusan ini masih menunggu sikap pihak Kemenkeu yang memiliki waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi. Jika Kemenkeu menerima putusan ini, maka akan dilakukan pemeriksaan oleh dokter yang ditunjuk untuk menyatakan apakah DH bisa kembali bekerja.

“Setelah ada keputusan dari dokter, maka Kemenkeu wajib mempekerjakan DH mengembalikannya ke posisi di lingkungan kerja sebagai ASN,” jelas kuasa hukum DH, Charlie Albahiji saat dihubungi Konde, Selasa (7/6/2022).

Charlie mengatakan putusan ini tak hanya menjadi kemenangan DH, tapi juga penyandang disabilitas terkait hak-hak mereka yang dijamin Undang-Undang Perlindungan Disabilitas. Menurut Pasal 11 Undang-undang 8/2016 tentang Penyandang Disabiltas, setiap penyandang disabilitas tidak bisa diberhentikan dari pekerjaannya karena alasan disabilitasnya.

Dalam kasus DH, ketidak-hadiran yang menjadi alasan pemecatan, terjadi karena saat itu  skizofrenia paranoid yang dideritanya kambuh. Charlie menilai, jika dibiarkan pemecatan dengan alasan di atas bisa menjadi preseden buruk yang mengancam disabilitas mental lain.

Selama ini, disabilitas terutama disabilitas mental memang rentan mengalami stigma atau bahkan mengalami sanksi di lingkungan kerja.

Pemecatan DH adalah sebuah contoh buruk dari sebuah lembaga pemerintah yang seharusnya memberikan contoh baik terkait perlakuan kepada disabilitas. Lembaga pemerintah seharusnya menjadi yang terdepan dalam penyediaan akomodasi yang layak dan perlindungan bagi penyandang disabilitas di tempat kerja.

Setelah meratifikasi konvensi disabilitas dan kemudian disusul dengan disahkannya UU Perlindungan Disabilitas, sebenarnya ada paradigma baru dalam perlakukan terhadap kelompok disabilitas di tempat kerja. UU Disabilitas mengamanatkan negara untuk melakukan intervensi di lingkungan kerja. Ada hal-hal yang harus dilakukan yang memungkinkan perubahan kondisi kerja yang memungkinkan disabilitas yang awalnya tidak bisa bekerja menjadi bisa bekerja.

Bagi disabilitas mental, hal ini antara lain bisa diwujudkan dengan mengurangi beban kerja, atau menyediakan pendamping ahli (dokter/psikiater) serta menyediakan obat yang dibutuhkan. Dan, ketika perusahaan atau pemberi kerja menyediakan fasilitas itu maka mereka bisa menikmati hasil kerja pekerjanya.

“Sudah terbukti, DH dan mungkin para disabilitas mental bisa bekerja dengan baik selama hal yang menghambat kerja mereka ditiadakan. Ini terbukti ketika DH belajar di Australia. Dengan penanganan yang tepat ia bisa menyelesaikan studinya tepat waktu dengan nilai yang bagus,” tegas Charlie yang juga tercatat sebagai pengacara publik dari LBH Jakarta.

ASN berprestasi

Charlie memaparkan DH mulai bekerja di Kemenkeu pada 2010 dan termasuk pekerja yang berprestasi. Pada 2014 ia mendapat beasiswa dari Australia Awards Scholarship. Saat menuntut ilmu di Australia itulah DH pertama kali didiagnosa skizofrenia paranoid.

Dari pihak universitas ia mendapat surat diagnose dan direkomendasikan untuk mendapatkan special consideration (perhatian khusus) agar bisa menyelesaikan pendidikan di bidang teknologi informasi. Berkat penanganan yang tepat, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dan kembali ke tanah air pada 2016 dengan menyandang gelar master.

Sekembalinya ke tanah air, kondisi DH terus membaik dan stabil sehingga menyelesaikan semua tugas-tugasnya dengan baik. Namun belakangan, ia mulai menyetop konsumsi obat dan konseling. Selain karena merasa kondisinya membaik juga untuk menghindari stigma sebagai penyandang disabilitas mental

Sikap ini membuat kondisi DH memburuk, sehingga ia sering tidak masuk kerja yang berakhir dengan pemecatan terhadap dirinya. Kesehatan mental DH mulai terganggu pada 2018 dan memuncak pada 2020. Ia sempat pergi ke sejumlah kota Sumatera atas tugas dari ‘tim’ (tidak nyata) tanpa melapor atau absen ke kantornya.

DH juga sempat putus kontak dengan keluarganya selama beberapa waktu dan baru kembali ke rumah pada Maret 2021.

Meski saat itu sudah diberlakukan work from home, ketidakhadiran DH tetap dipermasalahkan sehingga Kemenkeu menerbitkan SK pemberhentian DH. Surat tersebut diterima keluarga pada Februari 2021. Disusul dengan surat pemanggilan 1 dan II.

Oleh pihak keluarga, DH kemudian didorong untuk menjalani pengobatan dan /terapi. Setelah keadaan membaik, DH melaporkan kondisinya ke Kemenkeu. Namun, ia justru diminta mengajukan banding ke BPASN. Ia juga diminta mengembalikan uang ratusan juta rupiah karena dinilai tidak memenuhi kewajiban ikatan dinas saat mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia.

DH pun kemudian mengajukan banding ke BPASN dan meminta pertimbangan khusus. Namun, BPASN menolak dengan alasan waktu banding sudah kadaluarsa karena lewat dari batas waktu yang ditetapkan yakni 14 hari kerja sejak SK pemecatan diterbitkan.  

Tidak terima dengan keputusan ini DH lantas menggugat Menkeu dan BPASN ke PTTUN pada November 2021. Kemenkeu dinilai telah bersikap diskriminatif. Berdasarkan Undang-undang, setelah DH memberitahukan kondisinya, pihak Kemenkeu seharusnya mengevaluasi SK Pemberhentian dan memeriksa kondisi DH.

Lingkungan kerja di sekitar DH juga dinilai kurang memberikan dukungan. Tidak ada langkah serius yang dilakukan meski sejumlah rekan kerja sering menemukan ‘keanehan’ yang dilakukan DH, seperti datang ke kantor pada malam hari, datang dengan kondisi pakaian lusuh atau teriak-teriak tanpa penyebab yang jelas.

Ada satu hal yang juga menjadi catatan Charlie saat berlangsungnya sidang, di mana DH sebagai penggugat yang menyandang disabilitas harus membuktikan sendiri kondisinya. Semua ini menunjukkan bahwa Negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan dan memenuhi hak-hak kelompok disabilitas sebagai warga negara.  

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari VOICE”)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular