Film “Jentera” mengisahkan kisah-kisah tragis para perempuan pekerja seks. Seperti yang dialami Rana.
Rana tengah merayakan ulang tahunnya yang ke-25 tahun. Kedua sahabatnya, Mina dan Ruth (diperankan Erma Zarina dan Iyuth Pakpahan), memberikan kejutan kecil-kecilan di bar tempat mereka bekerja. Ketiganya adalah penari striptis, yang juga berprofesi sebagai pekerja seks.
Usai mengucapkan doa dan tiup lilin, Rana (diperankan Asmara Abigail) tiba-tiba mendapatkan pesan singkat dari ponselnya. Laki-laki bernama Hari, mucikari, memberitahu Rana bahwa Leo telah menunggunya. Rana tampak tak enak hati. Dia bergegas keluar bar.
Namun tak lama kemudian, Rana dicegat oleh Hari. Laki-laki itu kemudian menyeret Rana ke sebuah gang sempit dan memaksanya untuk mau menerima tawaran Leo —laki-laki ini mempertaruhkan Rana ke Leo karena kalah judi dan berhutang. Rana mengelak, kena pukulan.
Satu alasan Rana ngotot menolak permintaan Hari adalah karena Leo melakukan kekerasan fisik kepadanya ketika melakukan hubungan seksual. Leo pernah memukul punggung samping Rana hingga berdarah dan memar yang masih tampak bekasnya sampai sekarang.
Di sebuah scene setelah Rana diselamatkan dari pemukulan Hari oleh laki-laki bernama Awan, yang ternyata adalah ayah Rana dari masa lampau.
Awan yang melihat luka memar di punggung Rana, kemudian bertanya:
“Kenapa tak melaporkan ke polisi?”
“Polisi? Mana ada polisi yang mau ngebelain perek (pekerja seks–red), yang ada gue malah yang dimasukkin sel,” ucap Rana.
Awan memperjelas pertanyaannya, mengapa Rana memilih jalannya sekarang? Mengarah pada profesinya sebagai pekerja seks.
“Emang gue punya pilihan apa, dari dulu sampai sekarang tuh gue gak pernah punya pilihan apa-apa, semua yang gue punya cuman badan. Nih yang gue punya,” lanjut Rana.
Di film berjudul “Jentera” (2015) yang ditulis oleh Ndit Naratama dan Dmaz Brodjonegoro itu, Rana digambarkan sebagai sosok perempuan muda sebatang kara. Ibunya meninggal ketika dia masih kecil, sedang ayahnya menghilang tak tau di mana tepat di hari Ia dilahirkan. Untuk bisa bertahan hidup, Rana menjalani profesi sebagai pekerja seks.
“Nyokap gue mati dari gue kecil. Bokap gue, bokap kayak ta*. Kalau bokap gue ada, nyokap gue gak bakal mati ninggalin gue sendiri. Dan gue gak mungkin jadi perek (pekerja seks–red) kayak gini,” kata Rana dalam film pendek berdurasi sekitar 19 menit itu.
Pekerja Seks Nihil Perlindungan, Bersatu Lawan Diskriminasi
Berada di posisi Rana tak pernah mudah. Di lingkungan patriarkis, seorang perempuan sudah mengalami banyak stereotip dan diskriminasi berbasis gender. Apalagi, jika dia juga menghadapi masalah kelas yang terbatas akses ke ekonomi hingga menyebabkan dia tak punya banyak pilihan menjalani hidup layak.
Terlebih perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks, juga masih lekat dengan stigma-stigma yang merendahkan. Pekerja seks masih dianggap sebagai pekerjaan ‘hina’ atau ‘murahan’.
Kita tak bisa menutup mata, pekerja seks juga berpotensi jadi korban kekerasan termasuk seksual, yang secara sistem justru dilumpuhkan untuk sulit mengadu dan melapor. Nihil jaminan perlindungan dan pengadilan yang berpihak pada mereka.
Konde pernah menuliskan kisah seorang pekerja seks bernama Ester, bukan nama sebenarnya, yang berjuang melawan kekerasan dan pelecehan yang dialaminya saat bekerja. Ester pernah mengalami berbagai diskriminasi saat dia bekerja di lokalisasi: tak sedikit yang menganggap pekerja seks itu adalah profesi “hina” sehingga mereka merasa berhak untuk memperlakukan seenaknya. Bahkan, menghakimi.
“Saya memang bekerja sebagai pekerja seks, menjual jasa. Tetapi bukan berarti kalian bisa sembarangan memegang payudara saya di tempat umum. Jika mau mendapatkan pelayanan, bayar nanti ada tempatnya,” kata Ester saat berbincang dalam diskusi Merayakan Feminisme bertajuk ‘Keberagaman dalam Kehidupan’ oleh Kalyanamitra, Sabtu (30/10/2021) lalu.
Sebagaimana sosok Rana dalam film ‘Jentera’ yang mengkritik sistem hukum dan aparat penegak hukum yang masih bias dan diskriminatif, Ester pun pernah mengalaminya. Oknum aparatur negara yang semestinya jadi pelindung masyarakat, justru pernah menjadi pelaku kekerasan dan pelecehan dengan perbuatan tak senonoh terhadap Ester dan teman-teman seprofesinya.
Ironisnya, kekerasan yang para pekerja seks itu alami adalah dari aparatur negara dengan dalih “penertiban”.
“Tak jarang, kami harus memberikan pelayanan kepada mereka tanpa bayar,” ujarnya kesal.
Namun, semua perlakuan tak menyenangkan ini tak mampu membuatnya mundur. Dengan caranya sendiri, perempuan yang pernah menjadi korban perdagangan manusia ini aktif mengadvokasi kawan-kawan seprofesinya, dengan harapan tidak ada lagi perempuan lain yang mengalami hal yang sama dengan apa yang dialaminya.
Ernawati, aktivis perempuan pernah menuliskan soal pekerja seks dari hasil wawancara dengan para perempuan pekerja seks. Ernawati menulis, selama ini banyak stigma yang dilekatkan pada pekerja seks: sebagai perempuan yang tak punya akal dan malas mencari pekerjaan lain, orang yang hanya bisa menjual cinta atau sebagai orang yang harus kembali ke jalan yang benar. Padahal mereka adalah orang-orang yang berusaha tetap hidup di tengah situasi sulit yang mendiskriminasi mereka
Masyarakat umum memandang pekerja seks dan waria atau transpuan sebagai kategori yang sama yaitu rendah dan tercela. Nasib keduanya kerap bersinggungan.
Dua kelompok minoritas ini juga selalu dipandang dengan jijik oleh sebagian masyarakat dan kerap menjadi bahan olok-olok, baik karena pekerjaan mereka atau penampilan. Minim sekali masyarakat yang mengingat mereka sebagai sosok manusia yang memiliki akal budi.
Pekerja seks mengalami diskriminasi berlipat sebagai perempuan. Status pekerja mereka tidak diakui sehingga tidak masuk dalam perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perempuan pekerja seks juga didiskriminasi karena pekerjaan sebagai pekerja seks itu sendiri.
Kondisi itu juga mirip dengan transpuan. Mereka hidup dalam bayang-bayang stigma moral. Mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan dan menerima perlakuan diskriminatif. Bahkan, mereka kerap disematkan kewajiban untuk dibina agar kembali ke ‘jalan yang benar’.
Bekerja sebagai pekerja seks dan menjalani kehidupan sebagai transpuan bukan hal yang mudah dan nyaman. Kekerasan yang mereka alami tidak terlaporkan. Selama ini banyak laporan human right yang belum memasukkan data kekerasan yang terjadi pada perempuan pekerja seks.
Profesi sebagai pekerja seks selama ini menjadi pilihan dengan berbagai latar belakang. Sebagian karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Ada pula yang terjebak karena mendapat iming-iming tawaran pekerjaan, dan banyak lagi sebab lain.
Transaksi Ekonomi Rugikan Perempuan Pekerja Seks
Perdebatan soal posisi pekerja seks tak kalah kencangnya, seperti adanya pertanyaan: apakah prostitusi atau menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang layak untuk perempuan? Perdebatan soal ini terus terjadi hingga hari ini, walau dua perdebatan ini tidak saling mempertentangkan, namun saling menguatkan.
Ada sejumlah aktivis yang mengatakan bahwa prostitusi bukan merupakan pekerjaan yang layak untuk perempuan, karena dalam pekerjaan ini ada eksploitase terhadap tubuh perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual, dan human trafficking.
Namun aktivis lain menyatakan bahwa prostitusi sebagai bagian dari pilihan perempuan karena ini merupakan dari pekerjaan. Bekerja sebagai pekerja seks adalah pilihan perempuan ketika kondisi ekonomi tak juga menyelesaikan nasib mereka.
Namun kedua pandangan ini sepakat bahwa dalam prostitusi yang harus dilawan adalah stigma yang hanya ditujukan pada perempuan. Selama ini hanya perempuan pekerja sekslah yang dihukum dalam rantai prostitusi, dianggap pendosa, dianggap maksiat dan menyalahi norma. Sedangkan laki-laki pelanggan atau pembeli seks lepas dari ini semua, tanpa stigma dan tindak pidana. Juga mucikari, preman, yang selama bekerja dengan tubuh pekerja seks, selalu lepas semua dari jeratan ini
Hal ini diungkapkan Slamet Riyadi dari Organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/ PKBI Kota Semarang yang menyatakan ini dalam diskusi Waroeng HAM: Apakah Prostitusi Pekerjaan yang Layak? pada 11 September 2021 yang diselenggarakan PKBI Jawa tengah dan LBH APIK Semarang, melalui daring.
PKBI Semarang pernah melakukan penelitian, dalam sehari terdapat 90 pembeli seks atau laki-laki pelanggan atau 2700 orang perbulan dengan jumlah transaksi ekonomi sekitar Rp. 1 milyar perbulannya. Namun sayangnya, uang ini hanya sedikit yang didapatkan oleh perempuan pekerja seks, karena uang lainnya lari ke tangan mucikari dan oknum yang lainnya seperti preman, rentainer, mucikari, juga pajak yang diterima pemerintah, dll
“Transaksi ekonominya terjadi ketika pemilik rumah mendapatkan uang sewa dari penyewa rumah, pemerintah mendapatkan pajak dari pemilik rumah. Sedangkan transaksi ekonomi atau manifest di sekitar pekerja seks adalah rentetan jaringan panjang seperti ada preman, rentainer, judi togel, pengedar narkoba, aparat keamanan, pengurus resos, pembeli seks, germo, tukiman.”
Sebagai warga negara, pekerja seks berhak mendapat perlindungan hukum dan pelayanan kesehatan serta jaminan sosial lainnya. Untuk beralih profesi pun tergantung pada keputusan tiap individu. Beberapa alasan membuat pekerja seks ragu untuk beralih profesi, bisa karena tidak memiliki ijasah dengan level pendidikan tinggi, tanpa keahlian dan modal, kemudahan dalam memperoleh penghasilan, keterikatan pada induk semang dan tentu saja, perasaan keterasingan dan penolakan dari masyarakat.
(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari “VOICE”)