Stigma Menyerang Artis dan Fanbase: Dianggap Tidak Capable dan Kurang Kritis

Saat menapaki dunia film, produser dan sutradara film Nia Dinata diremehkan kemampuannya. Stigma bodoh dan tidak capable juga ditujukan pada para BTS Army yang mayoritas perempuan, hanya karena mereka suka musik yang nge-pop. Stigma negatif mengincar perempuan

Sejak lulus kuliah dan mulai memasuki dunia kerja pada 1993, produser dan sutradara film Nia Dinata dihadapkan pada dunia kerja yang sangat diskriminatif pada perempuan.

Dunia film dan dunia iklan televisi saat itu didominasi oleh laki-laki. Sutradara atau orang yang memiliki peran tertinggi dalam produksi iklan di Indonesia selalu dimonopoli laki-laki kulit putih yang didatangkan dari luar negeri seperti Selandia Baru, Australia atau Amerika Serikat (AS)

“Mereka diimpor untuk membuat iklan di Indonesia. Orang Indonesia hanya bisa jadi asisten sutradara, itupun juga laki-laki,” terang Nia Dinata yang berbicara di acara Kenduri Perdamaian “Seni untuk Keberagaman” yang digelar The Asian Muslim Action Network/ AMAN Indonesia dan Konde.co dengan didukung oleh UN Women secara daring pada Rabu (18/5/2022).

Kondisi ini, menurut Nia berlangsung hingga tahun 2000an. Nia ingin membongkar kondisi ini. Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda, yang masih sangat jarang dilakukan perempuan saat itu yaitu menjadi sutradara dan lebih dari itu berkiprah lebih aktif di industri film nasional yang saat itu bisa dikatakan sedang mati suri.

Sebagai pendatang baru, Nia pun bermaksud memperkenalkan diri, sekaligus menimba ilmu dari para senior yang berpengalaman. Namun tanggapan yang diterimanya sungguh di luar dugaan. Posisinya sebagai perempuan yang saat itu sedang hamil, dipertanyakan. Kemampuannya sebagai sutradara diremehkan. Sepertinya sebagai perempuan dan hamil, ia dipandang sebelah mata.

“Ketika perempuan ingin berbuat sesuatu dan mendobrak apa yang sudah ada, selalu saja ada stigma ataupun pandangan yang meremehkan. Stigma perempuan apalagi yang sedang hamil nggak bakal bisa bekerja maksimal sering diterimanya. Alasannya membuat film panjang adalah pekerjaan tak mudah, butuh biaya yang tidak sedikit, belum lagi nanti harus mengupayakan distribusinya.”

“Saya semacam diremehkan, karena membuat film panjang itu kerja besar dan memakan banyak uang sehingga saya disarankan untuk memulai dengan proyek yang kecil-kecil lebih dulu,” imbuhnya.

Perlakuan ini memang sempat menggoyahkan kepercayaan diri Nia Dinata, namun tetap tidak mampu membuatnya mundur. Nia yang saat itu sedang menyiapkan film Ca Bau Kan pun coba membangun  support system. Dia akhirnya menemukan perempuan-perempuan yang memiliki semangat yang sama untuk berbuat sesuatu di film Indonesia.

Support system yang walaupun kecil ini kebetulan berisi perempuan-perempuan yang peduli pada kesetaraan ini yang membuat Nia berhasil mewujudkan proyek perdananya yakni film Ca Bau Kan. Meski untuk itu butuh waktu 3 tahun, yakni dari 1999 hingga 2001.

Nia kemudian dikenal sebagai sutradara perempuan yang menghasilkan film yang menyoroti perlakuan tak adil yang dialami perempuan dari sudut pandang perempuan dan sudut pandang keberagaman. Sebut saja filmnya yang berjudul “Berbagi Suami” yang menyorot kecenderungan poligami atau “Arisan” yang mengangkat kisah LGBT yang terbuka dengan identitasnya.  

Kini setelah 23 tahun, Nia selalu mencoba untuk membuat film dari sudut pandang perempuan. Meski dalam perjalanan itu, Nia kerap mendapatkan hujatan atau pun hate speech. Hujatan itu salah satunya adalah saat memproduksi Arisan 2.  

Juga untuk film terbarunya “A world Without’ yang mengangkat kisah, tentang kekerasan yang dilakukan kepala sekolah terhadap muridnya yang tinggal di asrama. Meski setting waktunya pada 2030, hujatan tetap saja diterima. Menghadapi hujatan ini, Nia memilih diam, tapi dia juga tidak menutup diri atau memblok yang menghujatnya,

“Lebih baik saya diam, jika mereka diberi panggung yang berpanjang-panjang justru itu yang mereka mau,” cetusnya sembari menambahkan bahwa ini bukan berarti dirinya tidak melawan.

Kita, lanjutnya, harus terus berjuang dan tidak putus asa untuk terus menciptakan ruang aman untuk bersama yang bebas dari diskriminasi bagi siapapun.

BTS Army dinilai Tidak Capable

Stigma bahwa perempuan tak capable juga dialami para perempuan yang bergabung dalam BTS Army atau para para fan boy band asal Korea, BTS. Fanbase BTS yang mayoritas adalah perempuan mendapat stigma bahwa mereka bodoh, tidak kritis, genit dan hanya suka happy-happy saja,

Padahal, dalam kenyataannya BTS Army yang datang dari beragam latar belakang usia dan daerah ini sudah lama terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan gerakan memperjuangkan inklusivitas. Akhir tahun 2021 misalnya, bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional, BTS Army turut aktif mengampanyekan keberagaman khususnya keragaman akses untuk kelompok disabilitas. .

Karlina OC, periset BTS Army mengatakan, hal ini tidak lepas dari kondisi budaya populer di mana masih ada masyarakat yang punya pandangan negatif pada penggemar dunia hiburan terutama perempuan. Para penggemar hiburan sering dianggap kurang punya kepedulian sosial, dianggap abai dan dianggap tidak punya nilai kritis. Kepakaran mereka akan isu-isu yang sedang berkembang dipertanyakan. Stigma itu bahkan juga datang dari sesama aktivis.

“Seperti saat kami terlibat dalam demonstrasi menolak Omnibus Law dengan tag “Reformasi Dikorupsi pada 2020. Ada pertanyaan, apakah kami BTS Army yang mayoritas perempuan paham ketika mereka melakukan demonstrasi,” ujar perempuan yang punya latar belakang cukup serius yakni sebagai peneliti ini.

Khusus untuk BTS Army, tak hanya pemahaman isu dan kepakaran yang disoal, tetapi juga rasa nasionalismenya karena ngefans ke band asing, Untuk menepis pandangan negatif ini, kini BTS sedang menyusun semacam buku panduan untuk meningkatkan pemahaman anggotanya dalam berorganisasi dan gerakan aktivisme.

Karlina berharap buku panduan bakal menepis anggapan negatif yang selama ini

ditujukan ke BTS Army. Ia menegaskan menyukai hiburan atau seni bukan berarti mengabaikan kondisi sosial di sekitarnya. Seni menurutnya justru menjadi gerbang bagi tumbuhnya rasa simpati.

Seni, katanya, mempertemukan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Lewat seni juga bisa ditumbuhkan rasa saling menghormati perbedaan itu.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!