Riset Sindikasi: Belum Ada Kelayakan Kerja Bagi Perempuan Pekerja di Industri Kreatif

Cukup banyak pekerja media dan industri kreatif yang tidak tahu apakah tempat kerjanya memenuhi hak khusus pekerja perempuan, terutama terkait kehamilan dan melahirkan. Temuan ini terungkap dalam survei kondisi pekerja media dan industri kreatif di Indonesia yang dilakukan SINDIKASI. Survei juga menunjukkan gangguan kesehatan mental lebih kerap dialami pekerja perempuan di industri ini.

Kondisi memprihatinkan ini terjadi dalam kesehatan reproduksi perempuan seperti hak cuti haid. Temuan ini terungkap dalam survei kondisi pekerja media dan industri kreatif di Indonesia yang diadakan oleh Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). 

Hak-hak pekerja perempuan padahal sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 antara lain tentang hak cuti, istirahat melahirkan dan istirahat keguguran. Selain itu juga dalam Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 menjadi rujukan bagi perlindungan pekerja hamil dan menyusui. 

Ketidaktahuan tentang hak-hak ini menunjukkan lemahnya sosialisasi tentang hak-hak pekerja perempuan dan besarnya pelanggaran hukum yang melindungi hak pekerja perempuan oleh perusahaan. 

Temuan Riset

Riset SINDIKASI ini dilaunching pada ulangtahunnya 27 Agustus 2022. Riset menyebutkan, hak pekerja perempuan, terutama bagi pekerja kontrak dan tetap belum sepenuhnya berlaku dan diberitahukan secara gamblang kepada pekerja.

Misalnya hak cuti hamil, meskipun sebagian besar responden perempuan (71,7 persen) menjawab tempat kerjanya mengakomodasi, tetapi sebanyak 26,4 persen mengatakan tidak tahu dan 1,9 persen mengatakan tidak diberikan sama sekali. 

Begitu juga mengenai gaji selama cuti hamil, hanya 49,1 persen yang menyatakan tetap digaji selama cuti hamil, sedang 47,2 persen lainnya mengatakan tidak tahu dan 3,8 persen mengatakan tidak menerima gaji. Hak perawatan kesehatan saat hamil juga tidak diketahui oleh 47,2 persen responden, sementara 30,2 persen lainnya mengatakan tidak diberikan, dan hanya 22,6 persen responden yang diakomodasi oleh tempat kerja. 

Sementara untuk cuti haid, hanya 41,5 persen responden perempuan yang dapat mengambil cuti haid, sedang 37,7 persen lainnya tidak bisa, dan sebanyak 20,8 persen tidak tahu.

Ketidaktahuan ini menurut tim peneliti SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi), Citra Maudy, dapat dipahami. Bahwasanya banyak pekerja yang belum tahu tentang hak pekerja yang sifatnya normatif apalagi yang bersifat khusus seperti hak cuti haid, hak cuti melahirkan, dan hak cuti ayah. Terlebih dalam situasi ketika pekerjaan yang layak belum tersedia, persoalan pemenuhan hak bisa menjadi prioritas kesekian. 

“Jadi dalam hal mencari pekerjaan kadang salah satu hal yang paling penting adalah dapat dulu kerjaannya, masalah duitnya sesuai apa enggak, haknya dipenuhi apa enggak, dll, itu kadang orang mengabaikan itu karena bekerja lebih baik daripada tidak bekerja sama sekali kan,” ujar Citra saat dihubungi Konde, Senin (19/9). 

Namun ketidaktahuan itu bisa jadi bukan karena “kesalahan” atau semata-mata ketidaktahuan dari si pekerja, melainkan sosialisasi dari pemberi kerja juga tidak berjalan. 

“Ketika tanda tangan kontrak biasanya dijelaskan hak-hak apa saja yang diberikan oleh si pemberi kerja. Berarti itu nggak ada di awal karena memang kerjaannya casual kayak freelance gitu atau ya orang kadang asal cepat aja, ini kontraknya silakan dipelajari dan ditandatangani gitu. Dan kadang itu nggak tertulis di kontrak itu. Jadi kadang nggak ngerti tuh kalau ada cuti haid, dan lain-lain,” papar Citra. 

Lebih lanjut Citra menegaskan pelanggaran atas aturan yang ada dan normalisasi atas hal tersebut makin menjauhkan pekerja perempuan dari hak-haknya. 

“Banyak hak-hak yang sudah diatur tetapi masih dilanggar pun bikin kita yang [berpikir] oh artinya nggak bisa cuti ya kalau misalnya lagi haid atau hamil. Jadi kayak makin menjauhkan kita dari apa yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang,” ungkapnya. 

Hak-hak pekerja perempuan diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 antara lain tentang hak cuti, istirahat melahirkan dan istirahat keguguran. Selain itu Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 menjadi rujukan bagi perlindungan pekerja hamil dan menyusui. 

Sementara itu hak cuti ayah bagi pekerja dalam undang-undang ditetapkan selama 2 hari. Meski begitu hak cuti ayah untuk pekerja juga belum banyak diketahui. Cukup banyak responden laki-laki dalam survei ini (46 persen) yang tidak tahu apakah tempat kerjanya memberlakukan hak cuti ayah, dan tidak tahu apakah jika mengambil cuti ayah akan tetap menerima gaji (57,1 persen). 

Meskipun durasi cuti ayah sangat pendek, sebanyak 22,2 persen pekerja mengatakan tempat kerjanya tidak memberikan cuti ayah, atau tidak memberikan gaji bagi pekerja yang mengambil cuti ayah (9,5 persen). 

Ketidaktahuan tentang hak cuti ayah dinilai memprihatinkan karena lemahnya sosialisasi tentang hak pekerja laki-laki saat istrinya melahirkan atau gugur kandungan tanpa kehilangan upahnya. Jika Indonesia hanya memberikan dua hari saja untuk cuti ayah, Jepang memberikan hak cuti ayah hingga delapan minggu karena pengasuhan dan perawatan anak dianggap tanggung jawab bersama. 

Gangguan Kesehatan Mental Lebih Banyak Dialami Pekerja Perempuan  

Survei yang menyasar 190 pekerja yang tersebar di berbagai daerah ini juga menemukan lebih dari setengah (51,1 persen) pekerja yang disurvei mengaku mengalami gangguan kesehatan mental yang perlu bantuan profesional dalam setahun terakhir. Kondisi ini lebih kerap dialami oleh pekerja perempuan (57,1 persen) daripada laki-laki (46,2 persen). 

Namun dari 97 orang yang mengaku perlu bantuan profesional, hanya 38,1 persen yang mengakses layanan profesional. Sebagian besar memilih berusaha mengatasi sendiri (75,3 persen); rekreasi, mencari hiburan atau pengalihan (67 persen); atau bercerita pada teman/keluarga/kerabat (63,9 persen). Sementara sebagian besar dari mereka tidak mengakses layanan profesional karena tidak mampu membayar (40,7 persen), maupun berbagai alasan lainnya. 

Menanggapi temuan tentang pekerja perempuan yang lebih banyak mengalami gangguan kesehatan mental Citra berpendapat ada sejumlah kemungkinan yang melatari. Pertama hal ini justru menunjukkan bahwa awareness tentang kesehatan mental lebih banyak terpapar di pekerja perempuan. Namun menurutnya perlu penelitian lebih lanjut tentang hal ini. 

“Karena toxic masculinity, laki-laki tidak menganggap kesehatan mental sebagai sesuatu yang bermasalah karena mereka tidak pernah menganggap itu sebagai sesuatu yang serius padahal mereka sebenarnya selalu mengalami keluhan-keluhan yang sifatnya intens, tetapi itu ditangani dengan misalnya nongkrong sama teman-temannya sambil main game terus kayak itu udah selesai,” ujar Citra.

Sementara bisa jadi hal itu dilatari kultur yang tidak banyak memberi ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan perasaannya atau merefleksikannya. Hal yang sebaliknya terjadi pada perempuan. 

“Padahal sebenarnya ada hal yang lain yang mungkin buat mereka nggak sempat direfleksikan atau emang bukan budayanya untuk merefleksikan sesuatu. Jadi kayak ya akhirnya kesehatan mental nggak cukup dipahami dan disadari sama teman-teman yang laki-laki. Sementara budaya untuk refleksi, budaya untuk merasakan, dll, itu tuh sering dilakukan sama perempuan kayak misal curhat atau nangis, ekspresiflah intinya. Jadi awareness soal kesehatan mental bisa jadi lebih tinggi di perempuannya,” jelas Citra. 

Kemungkinan kedua bisa jadi baik pekerja perempuan maupun laki-laki memiliki awareness soal kesehatan mental, tetapi kondisi lingkungan kerja yang belum ramah terhadap perempuan akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan mental. 

“Bisa juga sebenarnya awareness sama, tapi kondisi lingkungan kerjanya masih belum cukup ramah terhadap perempuan. Balik lagi ke hak-hak tadi, dia melihat kayaknya kok lebih banyak perempuan yang hak-haknya sulit untuk didapatkan, banyak dilanggar, dll. Akhirnya dia ngerasa bare minimum untuk haknya emang nggak dipenuhi. Jadi ya akhirnya itu bikin Kesehatan mental dia nggak baik-baik saja,” paparnya. 

Selain itu menurut Citra pembagian kerja di dalam rumah tangga pada pasangan yang sama-sama bekerja juga bisa jadi aspek yang perlu dilihat. 

“Terus makin ke sini kan kesadaran untuk perempuan bekerja itu memang tinggi tapi kesadaran untuk membagi tugas di ranah domestiknya itu masih debatable. […] Semua dikerjain sama perempuan, itu juga jadi bahaya gitu,” kata Citra.

Sementara dukungan tempat kerja untuk kondisi kesehatan mental masih minim. Dari 130 pekerja tetap/kontrak yang disurvei hanya sebagian kecil (13,9 persen) yang tempat kerjanya membiayai layanan kesehatan mental. Di antara pekerja yang mengakses layanan profesional, sebagian besar menggunakan biaya sendiri (75,7 persen).

Meski UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan pemberi kerja untuk memberi perlindungan kesehatan mental pekerjanya, baru sebagian kecil pekerja tetap/kontrak (22,3 persen) yang mendapatkan cuti/keringanan karena mengalami kondisi kesehatan mental. Di antara pekerja yang mendapatkan cuti/keringanan (29 orang), masih ada yang mengatakan tidak menerima gaji pada cuti untuk kondisi kesehatan mental (6,9 persen).

(Artikel ini merupakan bagian dari peliputan stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dan ratifikasi Konvensi ILO 190 yang didukung oleh Program VOICE)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular