Di-PHK Mendadak, Sulit Dapat Kerjaan: Nasib Para Buruh Garmen di Balik Industri Fast Fashion

Kerja pendek dan tiba-tiba di PHK adalah nasib buruk yang banyak dialami para buruh garmen yang bekerja di industri outfit kekinian

Di balik trend pakaian atau outfit kekinian, tersembunyi kekerasan dan pelecehan gender di dunia kerja yang dialami para buruh-buruh perempuan di pabrik garmen. Lihat saja apa yang dialami Elni.

Setelah bekerja selama 12 tahun 5 bulan, mendadak Elni Susanti dan ribuan perempuan yang bekerja di PT. Dada Indonesia diberhentikan sepihak dari tempat mereka bekerja. Yang lebih menyesakkan, pemilik perusahaan meninggalkan begitu saja hampir 8000 ribu pekerja yang rata-rata telah bekerja lebih dari 10 tahun di perusahaan itu.  

Beberapa bulan sebelum pabrik berhenti beroperasi, pembayaran gaji mulai seret. Gaji yang semula lancar dan sesuai dengan UMR, jadi sering dipotong. 

Akhir Oktober 2018, lebih dari 7000 buruh PT. Dada Indonesia kemudian memblokir jalan utama Jalan Raya Purwakarta-Cikampek. Kemacetan mengular. Buruh yang rata-rata perempuan berusia lebih dari 35 tahun tersebut marah. Merasa dikhianati. Pabrik garmen pemasok merk H&M dan Adidas tersebut tutup tiba-tiba. Pengelola pabrik kabur. 

“Sejak 2017 ke sini, kadang ada pemotongan dan menangguhkan gaji karyawan. Pembayarannya juga sering tidak tepat waktu. Padahal dari pemesan hal itu tidak boleh dilakukan,” terang Elni Jumat (5/8/2022) di Instagram live Suara Pekerja bertajuk “Di Balik Industri Fast Fashion Ada Fast Exploitation” yang diselenggarakan Konde.co.

Elni dan teman-temannya seperti perahu oleng, pasalnya rata-rata mereka tidak memiliki tabungan yang cukup. Upah yang mereka terima saat itu hanya cukup untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Kegelisahan makin membesar karena mereka mayoritas adalah tulang punggung keluarga, sementara untuk mencari kerja lagi bukanlah hal mudah.

Pekerja yang di-PHK mayoritas sudah berumur sehingga kesulitan mendapatkan pekerjaan lagi. Rasa sesak itu sangat dirasakan lima bulan pertama sejak pabrik berhenti beroperasi.

“Uang nggak punya kalau ada yang sakit atau anaknya sakit, BPJS tidak diterima lagi.

Beruntung ada dukungan dari serikat lain yang patungan untuk membantu meringankan beban kami,” imbuh Elni.

Karena pemutusan hubungan kerja ini dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maka para pekerja ini tak bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Yang bisa mereka lakukan adalah mencoba membuka usaha ataupun bekerja di sektor informal.

Ketika keputusan PHI keluar dan memenangkan pekerja, Elni dan teman-teman lagi-lagi harus menelan kecewa. Karena perusahaan sudah dipailitkan sehingga seluruh asetnya untuk menutup hutangnya.

Para pekerja hanya mendapatkan pembagian hasil lelang dari mesin yang ada. Saat itu, dari lelang mesin terkumpul uang sekitar Rp 3,9 miliar yang harus dibagi untuk hampir 8000 karyawan. Elni yang telah bekerja 12 tahun lebih hanya mendapatkan pembagian Rp 8 juta, setelah menunggu hampir 2 tahun lamanya.

“Ini bukti bahwa pemerintah kurang melindungi warganya, saat berkasus, kami disarankan ke PHI. Nyatanya PHI prosesnya panjang dan hasilnya tidak memihak pekerja. Ternyata buang-buang waktu. Kita hanya menang di atas kertas, tapi secara nominal kami tidak dapat apa-apa,” ujar Elni kecut.

Selama bekerja, ribuan buruh yang mayoritas perempuan ini sering mengalami kekerasan dan pelecehan. Ditowel, dipegang pantatnya atau perlakuan tak senonoh menjadi hal yang jamak dialami.

Eli juga menyebut kondisi kerja yang tak memihak perempuan serta kurangnya pemenuhan hak maternitas. Ia mencontohkan, tidak sedikit pekerja yang sedang hamil harus bekerja sambil berdiri.

Tak hanya itu kekerasan verbal juga menjadi keseharian buruh yang mengerjakan produk outfit merek global ini. Meski tak nyaman para buruh tak berani melapor karena takut dipecat ataupun kontraknya tidak diperpanjang.

Bekerja sebagai buruh pabrik garmen itu harus kuat mental. Kalau mesin rusak sehingga target tidak terpenuhi, meski ini bukan kesalahan pekerja tetapi tetap saja  disalahkan karena berdampak ke pekerja lain dalam satu kelompok.

“Dimarahi supervisor di depan ribuan pekerja lain, digoblok-goblokin menjadi hal yang biasa kami alami,” ujar Elni,

Dijelaskan, dalam bekerja mereka selalu dibebani target harian. Jumlah target itu bermacam-macam tergantung produk yang dikerjakan. Jika produk jaket, maka dalam setengah jam satu line yang terdiri dari beberapa orang penjahit harus mampu menyelesaikan 15 hingga 20 piece jaket, tergantung tebalnya lapisan. Sedangkan untuk produk kaos atau T Shirt yang lebih sederhana setiap line harus mampu menyelesaikan 60 piece dalam waktu setengah jam

Untuk memenuhi target itu, maka para pekerja sering kerja lembur. Tak jarang mereka bekerja selama 12 jam sehari. Elni mengakui, sebenarnya para pekerja tahu pihak buyer mensyaratkan kondisi kerja yang layak kepada para produsennya, namun berbagai kekerasan ini sengaja ditutupi seolah semua berjalan sesuai yang dimaui buyers.

Sementara jika ada pekerja yang mencoba menyoal kondisi ini, maka ia harus bersiap untuk “disingkirkan’. Kondisi inilah yang dialami Elni dan beberapa temannya yang membentuk serikat pekerja. Elni yang pertama masuk di bagian administrasi, lalu jadi operator, lalu naik menjadi leader. Namun saat menjadi pengurus serikat, ia dibuat tidak betah.

Saya, ujarnya, dilempar ke sana kemari dengan harapan segera keluar sendiri dari perusahaan.

Peran pemerintah minim

Syarif Arifin dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mengatakan apa yang dialami Elni dan ribuan buruh perempuan di sektor garmen ini tak lepas dari tidak tegasnya sikap pemerintah. Dijelaskan, industri pakaian jadi memang menjadi sektor andalan untuk menciptakan lapangan kerja sejak era Orde Baru.

“PT. Dada Indonesia ini saat itu diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto,” ujarnya.

Bersama Thailand dan Kamboja, Indonesia dipilih menjadi lokasi produksi pakaian jadi merek terkenal karena memiliki sumber daya yang luar biasa. Selain pasokan air bersih yang melimpah (air sangat dibutuhkan untuk industri garmen), Indonesia juga menawarkan tenaga kerja murah.

Industri garmen yang belakangan dikenal dengan industri outfit ini kian berkembang pada tahun 2000an seiring dengan perkembangan teknologi. Digitalisasi kemudian mendorong tren fast fashion yang didukung fintech dan teknologi digital. Banyak investor yang memanfaatkan pasar virtual untuk menjual produk mereka sekaligus memproduksi merek mereka.

Saat itu pemilik brand yang biasanya berasal dari Eropa atau Amerika Serikat menunjuk agen produksi yang berasal dari Korea Selatan, Singapura atau Taiwan. Untuk menekan ongkos produksi, para agen ini lantas membuka usaha di Indonesia, Thailand ataupun Kamboja sebagai lokasi pabrik mereka.

Di Indonesia, saat itu Jabodetabek menjadi pilihan. Namun sejak 2013, mulai tren untuk merelokasi produksi outfit ke Jawa Tengah atau Jawa Barat. Subang, Brebes, Boyolali dan Jepara menjadi tujuan.

Pada 2018 relokasi makin marak dan perusahaan makin sewenang-wenang. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tidak menunjukkan niatnya untuk turun tangan membela para pekerja. Tahun itu ada beberapa pabrik outfit yang menutup usahanya dan meninggalkan begitu saja buruhnya yang telah bekerja selama bertahun-tahun.

“Ini karena daya dukung Jabodetabek mulai turun, dan kenaikan upah yang mulai memberatkan,” terang Syarif.  .  

Syarif mengingatkan, relokasi ini hanyalah solusi sesaat. Ditegaskan Nya, dulu para agen memilih Jabodetabek sekarang ke Subang Boyolali, Brebes, Jepara karena sumber dayanya melimpah. Nanti kalau daya dukung berkurang dan ongkos produksi dinilai tidak lagi menguntungkan, maka bukan tidak mungkin kejadian yang sama akan kembali terulang. Jika daya dukung habis, cetusnya, maka akan ditinggalkan,

Dijelaskan perpindahan pabrik terbukti membuat situasi kian terpuruk. Penelitian LIPS mengungkap kekerasan di daerah baru, ternyata meningkat.

“Perbandingannya 43 persen di Jabodetabek jadi 57 persen di lokasi relokasi. Bentuknya beragam, ada eksploitasi seksual, ada permintaan untuk memberikan upeti kepada atasan,” ujarnya.

Untuk itu ia menegaskan pentingnya solidaritas, baik dari kelompok menengah maupun dari serikat buruh lainnya. Bahwa di balik gemerlap industri outfit ada yang dikorbankan di sana. Dari sisi pemerintah, jika pemerintah membuka keran investasi selebar-lebarnya harusnya seturut dengan itu juga harus diupayakan perlindungan bagi para pekerja.

Sependapat dengan Syarif, Elni juga menekankan pentingnya peran pemerintah untuk melindungi buruh perempuan.

“Jangan hanya dalam bentuk kata-kata tetapi dlam kerja nyata. Jangan hanya mengumbar investasi tetapi lupa memberikan perlindungan bagi nasib buruh,” pungkasnya.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular