Cerita Ria, Tiko dan Erni: Perjuangan Transpuan Mengurus Jaminan Sosial

Marginalisasi transpuan yang terpisah dengan keluarga membuat mereka tak bisa melakukan klaim atas dana kematian dari BPJS.

Sebut saja Ria. Ia sehari-hari bekerja sebagai seorang perias. Ia biasa menerima order jasa rias pengantin bersama teman-temannya di daerah Ciracas, Jakarta Timur. Ria juga aktif dalam kegiatan dan acara-acara gereja. 

Temannya, Rosa menceritakan perjumpaannya dengan Ria pada kisaran 2018 ketika ia mengikuti acara di sebuah balai pertemuan di daerah Jakarta Utara.

“Dia yang mengatur barisan kawan-kawan waria. Dia rajin, datang paling awal,” tutur Rosa yang mendampingi Ria dan Tiko dari mulai mereka sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal.

Sejak pandemi melanda, aktivitas Ria dalam acara-acara gereja menjadi terhenti karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat. Terlebih ketika ia sakit, Ria tidak lagi bisa beraktivitas. Untuk makan sehari-hari Ria pun mengandalkan uluran tangan dari kawan-kawannya. Hingga akhirnya Ria meninggal pada Kamis, 27 Oktober 2022.

Kondisi yang sama juga dialami Tiko. Hari-hari Tiko diisi dengan berjualan ikan hias. Ia membuka lapak ikan hias di Jalan Kartini Raya, Jakarta Pusat. Lapaknya pernah kena gusur, tapi Tiko tetap berjualan ikan hias karena itulah tumpuan hidupnya. Dari usahanya itu Tiko dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Meskipun setelah itu ia tidak lagi berjualan setiap hari karena ada saat-saat ketika sepi pembeli. Apalagi ketika Tiko sakit, ia tidak lagi bisa bekerja. Sampai akhirnya Tiko menemui ajalnya pada Minggu, 30 Oktober 2022.

Cerita lain berasal dari mak Erni. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok yang lincah. Ia biasa menari india di Komunitas Seruni di daerah Sleman, Yogyakarta. Sehari-hari ia mencari nafkah dengan mengamen. Saat pandemi melanda, mak Erni ada indikasi terkena tuberkulosis (TB). Mak Erni jadi jarang mengamen. Ia lebih banyak membantu pekerjaan dapur di komunitas.

Pasca Covid-19 varian Delta melandai, Rully Malay, penanggung jawab shelter Waria Crisis Center (WCC) lalu mengevakuasi mak Erni ke WCC. Hingga satu hari di bulan Juli 2022 mak Erni dijemput keluarganya dengan alasan hendak pengobatan. Namun selang beberapa waktu kemudian, Rully mendapat kabar kalau mak Erni terlantar di daerah Bekasi. Tak lama setelah itu mak Erni sudah berada di Yogyakarta dan Rully tidak bertemu seorangpun yang mengantar atau menyerahkan mak Erni pada dirinya.

Kondisi mak Erni pun memburuk, ia harus bedrest. Rully mengurusi semua kebutuhan mak Erni, termasuk membersihkan diaper bekas buang air besar. 

“Kondisinya 20 hari terakhir itu benar-benar bedrest, saya harus buang pampers ke kamar mandi. Ketika bedrest itu benar-benar sulit, saya biasanya jam 9 tepat sudah ada di kantor, jadinya belum bisa,” papar Rully saat dihubungi Konde.co melalui telepon pada Kamis (17/11/22).

Jadwal kegiatan Rully yang setiap pagi memasak untuk teman-teman komunitas mulai jam 5 dan tiba di kantor jam 9 untuk bekerja pun kemudian disesuaikan. Ia menggeser jam meeting yang biasa dilakukan di pagi hari menjadi selepas jam makan siang.

Ketika kondisi mak Erni menurun Rully pun membawa mak Erni ke RSUP Dr. Sardjito. Mak Erni dirawat di sana hingga akhirnya mengembuskan nafas terakhir pada Sabtu, 29 Oktober 2022.

Mak Erni dimakamkan di TPU Seyegan, Sleman diantar oleh kawan-kawannya dari komunitas transpuan. Tak ada keluarga yang menghadiri pemakamannya.

“(Keluarga, red) gak hadir. Saya juga sudah menyampaikan pemberitahuan tapi tidak ada yang merespons,” ujar Rully.  

Proses birokrasi dan pengurusan administrasi untuk pemakaman mak Erni lebih sederhana dibandingkan proses yang dialami kawan-kawan transpuan sebelumnya. “Karena sudah berkali-kali ada permasalahan sih jadinya kali ini prosesnya jadi jauh lebih mudah,” terang Rully.

Meski begitu nama Erni tak bisa ditulis di batu nisan.

“Tidak boleh ditulis (namanya, red), hanya sebagai Mr. X saja. Itu salah satu persyaratan untuk pemakaman di dinas sosial karena itu tidak berbayar, jadi dibayarin pemerintah. Jadi nanti kalau sudah penuh diganti lagi sama orang lain,” paparnya.

Rully menuturkan ekspektasi komunitas transpuan ketika mengikutsertakan kawan-kawan transpuan—terutama mereka yang tidak mempunyai komunikasi yang baik dengan keluarganya—sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah agar ada upaya pendekatan kemanusiaan sehingga transpuan bisa mendapatkan proses pemakaman yang selayaknya dan perlakuan yang lebih manusiawi.

Selain itu dengan kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan mereka berharap bisa memperoleh manfaat ketika nanti mereka sudah tidak ada. Kalaupun misalnya dari klaim yang diperoleh masih ada sisa dana setelah digunakan untuk semua pembiayaan yang dikeluarkan Waria Crisis Center sebagai pengelola, dana tersebut akan didedikasikan untuk kerja-kerja kemanusiaan di WCC atau jika masih ada keluarganya bisa diberikan kepada mereka.

Hal senada diungkapkan Rosa. Ia menuturkan ketika ada seorang transpuan yang sakit atau meninggal biasanya komunitas berinisiatif untuk patungan atau kolekan (mengumpulkan uang) membantu kawan yang sakit tersebut. Namun bisa dibilang jumlah yang terkumpul tidak seberapa dibandingkan kebutuhan untuk pemakaman misalnya. Mengingat setiap proses mulai dari memandikan jenazah, mengafani, jasa ambulans, hingga menggali kubur membutuhkan biaya.

“Kalau ada komunitas meninggal kita sibuk mencari sumbangan, kolekan dari teman-teman. Seberapa banyak sih kolekan-kolekan itu? Untuk biaya pemakaman aja nggak cukup,” katanya.

Dengan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, komunitas transpuan sangat berharap kebutuhan dan biaya pemakaman mereka dapat di-cover. Terpenting adalah mereka dapat dimakamkan secara layak dan diperlakukan secara manusiawi.

Proses Klaim BPJS Ketenagakerjaan Tak Ramah Kelompok Rentan

Rabu siang, 9 November 2022. Restoran di Jalan Veteran, Jakarta Pusat itu tampak penuh, semua meja terisi. Di sebuah meja di sisi kanan ruangan Hartoyo dari Perkumpulan Suara Kita dan beberapa transpuan berbincang dengan jajaran kepala dan staf BPJS Ketenagakerjaan Kantor Pusat dan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Salemba. Pertemuan siang itu membahas klaim BPJS Ketenagakerjaan bagi para transpuan.

Beberapa hari sebelumnya, Hartoyo mengurus klaim BPJS Ketenagakerjaan tiga kawannya yang meninggal akhir Oktober kemarin. Ria, Tiko, dan Erni. 

Hartoyo bercerita pada Konde.co, mereka bertiga beserta sekitar 130 transgender lain memang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sejak Juni 2022, namun ternyata mereka punya kendala atas proses klaim yang rumit di BPJS. 

Perkumpulan Suara Kita bersama komunitas transpuan mengadakan program perlindungan sosial bagi komunitas transpuan melalui kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Program ini digagas seiring dengan berjalannya program akses administrasi kependudukan bagi para transpuan.

Sebelumnya sebagian besar transpuan tidak memiliki identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka kebanyakan terbuang dari keluarganya. Situasi ini membuat mereka hidup dalam kemiskinan. Akses atas administrasi kependudukan memungkinkan transpuan mengakses layanan publik yang selama ini tidak mereka peroleh. Salah satunya layanan jaminan perlindungan sosial.

Hartoyo dan kawan-kawannya berharap dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan mereka mendapat kepastian perlindungan saat sakit dan meninggal karena BPJS Ketenagakerjaan menyediakan klaim atas kecelakaan kerja dan kematian.

Ia memiliki mimpi, setiap transpuan di Indonesia dapat diperlakukan lebih bermartabat sebagai manusia ketika sakit maupun meninggal. Terlebih transpuan Lansia dan miskin tanpa keluarga.

Program perlindungan sosial ini menyasar semua transpuan. Khusus bagi transpuan yang berusia 50 hingga 65 tahun dan miskin, iuran bulanan BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan melalui penggalangan dana publik. 

Untuk memudahkan proses dan penggunaan dana klaim, setiap peserta penerima manfaat program membuat surat wasiat yang ditandai oleh notaris. Surat wasiat ini berisi tiga hal yaitu: sumber dana iuran bulanan peserta BPJS Ketenagakerjaan, pihak yang diberikan amanah untuk proses klaim, dan pengelolaan dan penggunaan dana klaim.

Ternyata proses klaim yang diupayakan Hartoyo tidak semulus yang ia bayangkan. Klaim kematian BPJS Ketenagakerjaan masih terfokus pada pihak yang memiliki hubungan saudara kandung. Walau BPJS Ketenagakerjaan mengakui adanya wasiat, tetapi klaim diprioritaskan pada pihak keluarga. Jika tidak ada keluarga, pihak yang mengajukan klaim perlu menyertakan dokumen pembuktian dari pihak terkait.

Aturan ini menurut Hartoyo mengabaikan realitas dan pengalaman yang dihadapi para transpuan. Hartoyo menjelaskan, “Mereka akan lebih memprioritaskan klaim itu kepada ahli waris dalam hal ini saudara kandung. Jadi memang hukum kita ini normatif banget. Jadi kayak nggak berkonteks pada sosiologisnya gitu ya.”

Sementara ada banyak situasi di masyarakat yang bisa membuat seseorang tidak terhubung dengan keluarganya. Seperti dikatakan Hartoyo, “Setiap orang tidak lahir dalam situasi keluarga yang normatif, itu yang paling penting. Ia bisa korban kekerasan seksual, anak dari korban perkosaan, anak yang dilahirkan dari orang tua ODGJ, anak yang dibuang, banyak sekali gitu dan itu realitas. Dia bisa nggak tahu silsilah keluarganya, seperti anak yang di panti asuhan atau yang diadopsi oleh orang. Jangan dipikir bahwa itu cuma kasus, enggak, ribuan aku yakin. Anak yang punya problem dengan sejarah hidup keluarganya, belum lagi yang berkonflik, yang dia nggak mau berinteraksi dengan keluarganya. Waria ini satu kelompok yang punya problem itu. Mungkin ada keluarganya tapi identitasnya yang membuat dia dibuang.”

Hal ini dibenarkan Rosa, pendamping transpuan yang sehari-hari aktif di Yayasan Srikandi Sejati, organisasi yang bekerja untuk isu penanganan HIV/AIDS.

“Ketika ada transpuan sakit, kita menanyakan keluarganya, tapi dia mengaku tidak punya keluarga. Mana mungkin sih, pasti ada. Tapi kebanyakan komunitas waria menutup diri karena ada yang mereka dibuang, yang mereka tidak diakui oleh keluarganya karena identitas gendernya sebagai waria. Karena ibaratnya bikin malu keluarga. Saat dia sakit ya larinya ke komunitas waria, kebanyakan begitu,” ujarnya.

Pertemuan Untuk Mencari Solusi?

Realitas hidup yang dialami para transpuan semacam inilah yang membuat syarat adanya pembuktian bahwa mereka tidak punya saudara atau keluarga menjadi hal yang cukup sulit. 

Hartoyo menjelaskan setidaknya ada dua alasan, pertama terkait kendala teknis bahwa mencari saudara atau keluarga transpuan yang bersangkutan bukan perkara mudah bahkan menjadi tantangan tersendiri. Kedua, fakta bahwa sebagian besar transpuan tidak diakui oleh keluarganya sendiri.

Situasi ini menunjukkan hukum dalam hal ini aturan BPJS Ketenagakerjaan belum mampu mengenali pengalaman kelompok-kelompok minoritas seperti transpuan. Selain juga memperlihatkan masih ada bias pada para pengambil kebijakan yang cenderung menggunakan ukurannya dalam menyusun kebijakan.

“Negara harusnya bisa menjawab kebutuhan warga dalam hal ini peserta BPJS, kayak gitu. Kondisi masyarakat nggak seideal yang dibayangkan. Inikan bias pengambil kebijakan termasuk dalam hal ini BPJS,” ujar Hartoyo.

Mengalami kendala dalam proses klaim kematian oleh BPJS Ketenagakerjaan Cabang Salemba tak membuat Hartoyo patah arang. Ia menceritakan permasalahan ini kepada Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh yang kemudian meneruskan kasus tersebut ke BPJS kantor pusat. Selanjutnya digelar pertemuan pada Rabu (9/11) siang oleh BPJS Ketenagakerjaan Cabang Salemba atas dorongan BPJS Ketenagakerjaan Pusat.

Ada beberapa hal yang dibahas dalam pertemuan siang itu. Terkait pembuktian bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai keluarga atau orang tua atau saudara ditempuh melalui surat keterangan RT, RW, kelurahan tempat yang bersangkutan tinggal. Selanjutnya BPJS Ketenagakerjaan akan melakukan survei ke lokasi tempat tinggal yang bersangkutan untuk memastikan bahwa yang bersangkutan memang tinggal sendiri.

Seperti dijelaskan Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Salemba, M. Izaddin, “Kalau dia sendiri, cukup dibuktikan lewat kelurahan, RT, RW. Itu sudah cukup kuat untuk memproses klaimnya.”

Namun jika kartu keluarga (KK) yang bersangkutan masih tercantum anggota keluarga yang lain, maka harus ada pelepasan hak oleh keluarga. Pelepasan hak ini tidak diperlukan jika surat wasiat yang bersangkutan sudah dikuatkan dengan penetapan pengadilan. 

“Tapi kalau di KK-nya masih ada keluarga lengkap, kita minta pelepasan haknya sesuai dengan surat wasiat,” ujar Izaddin.

Sementara terkait surat wasiat, ada tiga opsi terkait keabsahannya. Pertama, surat wasiat dibuat notaris, menghadap notaris dan didaftarkan ke kementerian hukum dan HAM. Kedua, surat wasiat dibuat dengan menghadap notaris. Ketiga, surat wasiat dibuat notaris, ditandatangani yang bersangkutan dan dikirim ke notaris untuk disahkan.

Hartoyo mengungkapkan opsi pertama dan kedua tidak realistis bagi komunitas transpuan. Untuk mendaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM yang berlokasi di Jakarta membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit sementara transpuan tersebar di berbagai daerah. Opsi kedua juga sulit dilakukan karena menghadap notaris juga membutuhkan biaya transportasi dan lokasi kantor notaris tidak selalu ada di setiap kecamatan.

Opsi ketiga menjadi pilihan yang paling memungkinkan untuk dilakukan komunitas transpuan. “Itu yang kami pilih karena itu yang paling realistis dengan situasi kami,” ujar Hartoyo.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch yang turut hadir dalam pertemuan pada Rabu (9/11) mengatakan transgender adalah kelompok masyarakat yang termarginalkan dari keluarga. Hal ini harus diakui sebagai fakta sosial yang harus menjadi perhatian BPJS Ketenagakerjaan. 

Untuk itu Timboel juga mendorong agar BPJS Ketenagakerjaan menggunakan dasar hukum secara lebih luas. Misalnya dengan teori perikatan dan dasar hukum bahwa wasiat merupakan sebuah perjanjian.

Dari segi hukum, teori perikatan muncul karena dua hal yaitu karena regulasi dan atau karena perjanjian. Wasiat sama halnya semacam perjanjian antara seseorang yang memberikan wasiat dengan orang yang diberi wasiat. Artinya ketika regulasi itu dibandingkan dengan perjanjian yang berbentuk wasiat, dalam kondisi fakta sosial seperti yang dialami komunitas transgender, maka wasiat menjadi sesuatu yang lebih diutamakan.

Pada transgender yang memiliki Kartu Keluarga/ KK sendiri, maka tidak perlu lagi dicari orang tua atau saudara kandungnya. Walaupun secara agama, sosial dan hukum hadirnya seorang manusia pasti ada peran bapak dan ibunya tetapi ketika dia diadministrasikan sebagai satu orang sendiri di KK, maka tidak perlu lagi dicari bapak, ibu, kakak atau adiknya.

Apalagi setelah ada wasiat dan dinotariskan dengan legitimasi negara maka ahli waris yang tercatat dalam surat wasiat tersebut harus diutamakan. Sehingga BPJS Ketenagakerjaan hendaknya membayarkan hak-hak peserta BPJS yang sudah meninggal sesuai wasiat, misalnya untuk diberikan kepada organisasi transgender, panti asuhan atau yang lainnya.

“Jadi dengan adanya kasus seperti ini, wasiat dan sebagainya itu memang harus diakomodir sebagai bagian yang bisa diberikan sesuai dengan isi wasiat,” tegas Timboel.

Untuk memastikan hal ini menjadi kesepakatan yang berlaku sama di setiap kantor cabang, menurut Timboel BPJS Ketenagakerjaan Pusat harus mengadopsi ketentuan ini untuk diserahkan ke daerah dalam bentuk surat edaran sehingga ada kesepahaman hukum dari seluruh cabang.

“Jadi ini harus ‘dilegalisir’ dalam bentuk surat edaran yang memang menjadi hukum positif mengikat bagi para kepala cabang. Surat edaran itukan mengikat ke dalam untuk dipatuhi sehingga tidak ada lagi masalah karena perbedaan perlakuan dan sebagainya,” kata Timboel.

Soal ini akan ditindaklanjuti melalui surat edaran oleh BPJS Ketenagakerjaan Pusat seperti disampaikan dokter Suci Rahmad, Asisten Deputi Bidang Kebijakan Program JKK/JKM BPJS Ketenagakerjaan Pusat dalam pertemuan di Jalan Veteran tersebut.

Dari pembahasan sekitar satu jam tersebut, klaim BPJS Ketenagakerjaan atas nama Ria, Tiko dan Erni dilanjutkan prosesnya. Izaddin mengatakan pihaknya tinggal menunggu bukti pendukung.

Namun belum ada kepastian kapan proses klaim akan selesai. Hartoyo mengatakan akan menagih janji beberapa minggu ke depan.

“Kita tunggu hasilnya, jangan sampai lebih dari satu bulan. Aku akan scan dokumen ini semua dan kirim ke mereka,” tandasnya.

Aturan yang Tak Ramah Kelompok Rentan

Dalam perkembangan selanjutnya, Perkumpulan Suara Kita hanya menangani proses klaim kematian BPJS Ketenagakerjaan atas nama dua transpuan yakni Ria dan Erni. Sedang klaim atas nama Tiko diurus oleh kakaknya mengingat keluarganya masih ada. 

Namun surat wasiat yang telah dibuat oleh yang bersangkutan di awal proses pendaftaran ternyata tidak bisa digunakan. BPJS Ketenagakerjaan Cabang Salemba beralasan wasiat yang dibuat tersebut belum ada pengesahannya oleh pengadilan.

“Syarat klaim kalau tidak ada ahli waris yang sah, surat wasiat bisa digunakan apabila sudah ditetapkan oleh pengadilan,” ujar Izaddin saat dihubungi Konde.co via telepon pada Kamis (1/12/22). 

Ia menjelaskan wasiat yang dibuat oleh kedua almarhum tersebut baru tercatat di notaris sehingga BPJS Ketenagakerjaan belum dapat memprosesnya.

“Ini surat wasiatnya bawah tangan, one marking ya, hanya tercatat di notaris, belum tercatat di pengadilan. Jadi kami sama sekali tidak menghilangkan hak. Silakan diproses, sambil menunggu ada ahli waris ataupun ada penetapan dari pengadilan siapa yang berhak mendapatkan hak klaim itu,” terang Izaddin.

Hartoyo mengaku sangat kecewa dengan tidak diakuinya surat wasiat notaris yang sudah dibuat sebelumnya bersama peserta saat pendaftaran. Ia menyoroti ketiadaan aturan atau sistem yang dibuat pada saat pendaftaran yang mengatur tentang pihak yang diberikan tanggung jawab oleh peserta untuk proses klaim. Menurutnya hal ini sudah biasa dipakai dalam sistem asuransi swasta. 

“Sebenarnya cara ini sudah sangat lazim dibuat dalam sistem asuransi swasta. Semua jelas, siapa pemegang polis, siapa yang dilindungi, dan siapa yang diamanahkan untuk melakukan klaim,” papar Hartoyo. 

Dengan aturan yang tak ramah terhadap kelompok rentan semacam ini Hartoyo menduga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh transpuan. 

“Dengan aturan yang ada sekarang, siapapun yang tidak lagi terhubung dengan saudara kandung, akan sulit mengakses semua klaim BPJS Tenaga Kerja sebesar 42 juta kalau surat wasiat tidak pernah diakui oleh aturan BPJS TK,” katanya. 

Ketentuan soal tata cara pembayaran manfaat jaminan kematian diatur dalam PP No. 44 tahun 2015. Pasal 40 ayat (2) huruf b. 5 menyebutkan, “Bila tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada perusahaan atau pihak lain yang mengurus pemakaman, sedangkan santunan sekaligus dan santunan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dan huruf b diserahkan ke Dana Jaminan Sosial.”

Tak banyak opsi yang tersedia bagi para transpuan yang sudah tidak terhubung dengan keluarganya tersebut. Tim Perkumpulan Suara Kita pun menyerahkan dokumen administrasi untuk proses klaim kematian dua transpuan peserta BPJS Tenaga Kerja di kantor Cabang Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis (1/12/22). 

Selanjutnya pada Selasa (6/12/22) BPJS Ketenagakerjaan mencairkan uang klaim biaya pemakaman untuk 2 orang peserta penerima bantuan iuran BPJS TK atas nama Ria dan Erni. 

“Setiap peserta mendapatkan uang klaim pemakaman 10 juta. Jadi total yang kami terima 20 juta. Satu almarhum yang memiliki keluarga masih belum diproses karena harus melengkapi surat ahli waris yang juga tak kalah rumitnya,” terang Hartoyo.

Sementara sisa uang klaim sebesar 32 juta dari dua peserta belum dapat dicairkan karena BPJS Ketenagakerjaan tidak mengakui surat wasiat tanpa penetapan pengadilan. BPJS TK tetap mensyaratkan keluarga kandung sebagai pihak yang berhak mengurus sisa klaim tersebut. 

Hartoyo mengaku pihaknya terus mengupayakan agar klaim jaminan kematian buat transpuan bisa dicairkan seluruhnya.

“Beragam upaya sedang kami tempuh untuk advokasi persoalan ini. Baik melalui dialog dengan direktur dan tim BPJS TK, Anggota DPR RI Komisi 9, Dewan Pengawas BPJS, BPJS Watch, Komnas HAM, termasuk juga media,” katanya. 

Ia berharap ada perubahan aturan BPJS Ketenagakerjaan nantinya. Sehingga hak klaim bagi komunitas transpuan atau warga miskin lainnya yang meninggal dapat dipermudah dan akhirnya membantu perubahan kehidupan yang lebih baik bagi komunitasnya.

“Iya yang penting kita akan terus kerja dan bantu kawan-kawan. Ini juga bukan hanya soal perubahan kebijakan. Tapi juga mendidik komunitas transpuan untuk memikirkan jaminan sosial, masa tua. Ada banyak aspek di dalamnya,” pungkasnya.

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari VOICE”)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular