Mungkin mengakhiri hidup adalah pilihan terbaik? Setidaknya itulah yang pernah terlintas di pikiran Umar (22), seorang positif HIV yang terdiskriminasi.
Bukan status positif yang membuatnya hancur, namun ia dikucilkan dan dipecat dari tempat kerjanya, hanya karena ia positif HIV.
Kisah ini bermula pada 2019. Setelah berusaha menerima keadaan dan secara rutin melakukan pengobatan, Umar akhirnya bisa beraktivitas dan bekerja seperti biasa. Tak lupa membawa ARV, supaya virus dalam tubuhnya tetap bisa terkendali. Namun, seorang teman mencurigai, obat apa yang selalu diminum Umar? Setelah mengetahui bahwa obat tersebut adalah untuk penyintas HIV, Umar dilaporkan pada atasannya. Hal ini berdampak pada perintah atasannya agar Umar ‘beristirahat’ di rumah.
Umar menjelaskan bahwa ia sehat dan mampu bekerja seperti biasa, ia juga meyakinkan dengan penuh bahwa virusnya tidak dapat menular dengan mudah. Sayangnya, Umar tetap diminta untuk beristirahat dan tidak datang ke kantor, ia juga diminta surat keterangan sehat dari dokter.
Setelah memberikan surat tersebut, Umar tetap tidak diminta kembali bekerja. Dengan berat hati Ia akhirnya meninggalkan tempatnya mendapat pundi-pundi rupiah.
Umar bukanlah satu-satunya. Di luar sana, masih banyak penderita HIV yang harus kehilangan pekerjaan karena status positifnya itu. Hal ini tidak terlepas dari adanya stigma negatif yang melekat di masyarakat. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) tahun 2021, di Indonesia, hanya 27.3% responden yang menyatakan bahwa orang yang terinfeksi HIV boleh bekerja dalam pekerjaan berhubungan langsung dengan orang lain.
Alasan yang disampaikan oleh mereka yang menyatakan, ODHA tidak seharusnya bekerja dengan orang yang sehat pun beragam. Mulai dari resiko tertular HIV/AIDS, orang dengan HIV/AIDS dapat menyebarkan penyakit lain selain HIV, orang dengan HIV/AIDS tidak dapat produktif, hingga orang dengan HIV/AIDS tidak seharusnya bergaul dengan orang tanpa HIV/AIDS.
Diskriminasi yang ada tidak terlepas dari rendahnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat terkait HIV. Masih dalam survei yang sama, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat akan penularan HIV/AIDS ini masih terbilang cukup rendah. Ketika diberi pertanyaan-pertanyaan mengenai cara penularan HIV, hanya 11% responden asal Indonesia yang dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar. Artinya pemahaman masyarakat Indonesia terkait dengan penularan HIV/AIDS masih sangat rendah.
Dalam data di atas, masih terlihat bahwa masih terdapat anggapan bahwa berpelukan, bersalaman, berciuman, bahkan menggunakan kamar mandi yang sama dapat menularkan HIV. Padahal, penularan HIV hanya dapat terjadi melalui seks tanpa proteksi dan penggunaan jarum suntik secara bersamaan.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Badan Perburuhan Dunia, ILO, masih terdapat stigma bahwa penderita HIV tidak bisa produktif dalam bekerja. Padahal ODHA bisa tetap seproduktif orang yang sehat jika mereka rutin mengkonsumsi ARV. Ciri fisik seperti bertubuh kurus dan lainnya yang selama ini melekat dengan para ODHA pun tidak terlihat. Mereka akan tampak seperti orang sehat pada umumnya.
ODHA yang bertubuh kurus biasanya dikarenakan mereka baru mengonsumsi ARV setelah kondisinya down, sehingga menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Namun jika sedari awal mereka sudah mengkonsumsi ARV, mereka dapat hidup layaknya orang sehat lainnya. Tak ada bedanya antara kondisi fisik pengidap HIV/AIDS dengan mereka yang sehat. Mereka bahkan bisa bekerja di sektor-sektor umum secara normal. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana.
Stigma dan diskriminasi akan penyintas HIV menghambat ruang mereka untuk bisa berdaya dan produktif. Dalam beberapa kasus, penyintas HIV memerlukan pekerjaan untuk bisa bertahan hidup atau menghidupi keluarganya. Pengidap HIV berpotensi menarik diri dari lingkungan sosial yang menolaknya atas stigma dan diskriminasi yang diterimanya, termasuk yang dialami dalam dunia kerja.
Stigma yang berkepanjangan bahkan dalam dunia kerja juga dapat menghambat upaya promosi pencegahan HIV/AIDS. International Labour Organization (ILO) juga memiliki prinsip bahwa “tidak diperbolehkan adanya tindak diskriminasi terhadap buruh/pekerja berdasarkan status HIV/AIDS atau dianggap sebagai orang terinfeksi HIV. Diskriminasi dan stigmatisasi justru menghalangi upaya promosi pencegahan HIV/AIDS” (Maharani, 2014).
Adanya stigmatisasi justru berpotensi membuat penderita menyembunyikan statusnya dan enggan memeriksakan diri. Narasi ‘HIV/AIDS’ pun menjadi semakin dihindari, termasuk apa yang terjadi dalam dunia kerja.
Untuk bisa melindungi hak penyintas HIV/AIDS untuk berdaya, diperlukan adanya keseriusan untuk memberi ruang bekerja bagi mereka. Edukasi mengenai HIV dan hal-hal menyertainya perlu diperluas dan diperdalam pada masyarakat, agar ketakutan-ketakutan atas stigma negatif yang ada dapat dipahami masyarakat dengan baik.
Promosi penanggulangan dan pencegahan HIV juga dapat dilaksanakan tanpa hambatan yang berarti.
Referensi:
Data Survei The ILO Global HIV Discrimination in the World of Work Survey 2021
Maharani, R. (2014). Stigma dan Diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Komunitas, 2(5), 225-232.
Sarikusuma, H., & Hasanah, N. (2012). Konsep diri orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang menerima label negatif dan diskriminasi dari lingkungan sosial: Self-concept of people with HIV and AIDS (ODHA) who experience negative labelling and discrimination from their social environment. Psikologia: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 7(1), 29-40.